Jumat, 04 November 2011

PANDANGAN THOMAS AQUINAS TENTANG PENCIPTAAN DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

PANDANGAN THOMAS AQUINAS TENTANG PENCIPTAAN DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Alfonsus Sam | Theology Department-STKIP St. Paulus

Abstract:
Kampanye menyelamatkan bumi merupakan kampanye raksasa yang diperankan oleh umat manusia dalam banyak cara. Kampanye tersebut tentu bukan hanya merupakan suatu retorika belaka tanpa visi yang jelas melainkan sebagai sebuah kampanye yang mesti dikonkritkan berupa tindakan melestarikan lingkungan hidup. Hal ini tentu berpangkal dari sebuah pola pikir yang rasional dan bijak. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk menyelami gagasan creatio ex nihilo, gagasan penciptaan menurut Thomas Aquinas dan menggunakannya sebagai inspirasi bagi upaya pelestarian lingkungan hidup.

Key-words: gagasan penciptaan, manusia, lingkungan hidup

1. PENGANTAR
E.F. Schumacher[1] pengarang buku “kecil itu indah” mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup dewasa ini pertama-tama bukan disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan juga karena manusia kekurangan pengetahuan dan informasi tentang pentingnya lingkungan hidup melainkan disebabkan oleh gaya hidup dunia modern yang berakar dalam cara pandang tertentu terhadap lingkungan hidup. Senada dengan hal tersebut, Lyne White, Jr,[2] mengemukakan bahwa akar krisis lingkungan hidup ialah pandangan antropologi Yahudi-Kristen yang berakar dari kisah penciptaan dalam kejadian 1:26-28. Menurutnya, pandangan dalam tradisi ini menekankan dominasi manusia atas lingkungan hidup. Manusia memiliki kekuasaan yang mutlak atas alam.
Bagi orang yang kurang jeli membaca maksud penulis kitab kejadian melukiskan kisah penciptaan seperti itu, mungkin akan mengamani pendapat White dan Schumacher di atas. Mungkin terlalu ekstrim berpendapat seperti itu karena masih ditemukan banyak ajaran dalam tradisi Yahudi-Kristen yang memberikan penghormatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, pendapat yang bernada kritikan dari kedua ahli tersebut di atas pantas juga untuk diilhami, secara khusus dalam menjawabi pertanyaan: apa yang harus saya lakukan terhadap lingkungan hidup agar dia tetap lestari dan menjadi tempat yang aman bagi kehidupan?
Melalui kajian ini, penulis mengajak pembaca untuk menyelami gagasan penciptaan Thomas Aquinas, filsuf dan teolog Kristen yang memberi pemahaman yang konprehensif tentang penciptaan menurut ajaran Kristiani yakni gagasan creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan). Hemat penulis, kajian-kajian bernafaskan filsafat seperti ini akan mampu mengubah cara pandang masyarakat manusia terhadap lingkungan hidup. Pada gilirannya, manusia yang adalah juga adalah imago Dei, akan menjalankan perannya di bumi sebagai wakil Sang Pencipta dan semua masyarakat manusia dalam keberadaannya akan mengajak satu sama lain untuk bergiat menjalankan kampanye menyelamatkan bumi agar bumi tetap lestari sesuai dengan kehendak sang pencipta.





2. PANDANGAN THOMAS AQUINAS TENTANG PENCIPTAAN
2.1   Mengenal Thomas Aquinas[3]
Thomas Aquinas, filsuf dan juga Teolog Kristen, dilahirkan di Rocca Secca, sebuah kota kecil di antara kota Roma dan Napoli Italia, antara akhir tahun 1224 dan awal 1225. Thomas lahir sebagai putera bungsu pasangan Landolfo Aquino, seorang bangsawan Lambordia dan Donna Thedora, puteri bangsawan Normania.
Pendidikan Dasar dijalankannya di sebuah Biara Benediktin di Monte Cassino. Di sana ia mengikuti latihan rihani yag keras, hidup dengan aturan yang ketat, mempelajari elemen-elemen kesalehan seperti refleksi, kontemplasi dan praktek hidup bathiniah, serta mempelajari tata bahasa dan menulis. Pada tahun 1239, ia melanjutkan studinya di Universitas kekaiseran Napoli. Di sanalah Thomas mempelajari filsafat alam dan berkenalan dengan karya-karya Aristoteles.
Tahun 1243, Thomas memutuskan masuk ordo Dominikan dan secara resmi menerima serta mengikuti cara hidup St. Dominikus. Walaupun hal itu tidak direstui keluarganya, namun Thomas tetap teguh pada keputusannya untuk menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan. Alhasil, tahun 1252 ia ditabiskan menjadi imam. Di biara inilah Thomas bertemu dengan Albertus Magnus dan menjadi muridnya.
Thomas Aquinas terkenal sebagai mahasiswa yang pandai dan tekun. Tanggal 12 Agustus 1257, Thomas dikukuhkan menjadi magister Teologi dari universitasnya dan menjadi guru teologi pada universitasnya itu. Selanjutnya perjalanan hidupnya dipusatkan untuk mengabdi sebagai guru/dosen teologi di beberapa universitas di Roma, Paris dan Napoli Italia. Banyak waktunya juga dihabiskan untuk menulis buku-buku yang berkaitan dengan Teologi dan filsafat.
Tahun 1274, Paus Gregorius X mengundangnya untuk menghadiri konsili di Lion, tetapi ia meninggal dalam perjalanan di biara Cistercian di Fossanova pada tanggal 7 maret 1974.
Selama hidupnya, Thomas Aquinas menulis banyak karya, baik yang berhubungan dengan kehidupan religius maupun yang berhubungan dengan kepentingan kehidupan intelektual pada masanya. Keseluruhan karyanya dapat dikelompokan atas dua bagian besar yakni karya-karya filosofis dan karya-karya teologis. Karya-karya filosofis dibedakan dalam tiga bagian yakni bagian pertama berupa komentar terhadap karya-karya Aristoteles, bagian kedua, komentar atas karya Liber de Causis dan bagian ketiga berupa Opuscula yang terdiri dari 20 buku. Sementara karya-karya Teologis dibagi dalam tujuh kelompok yakni karya teologi sistematik, Disputationes Academicas(terdiri dari 8 buku), opuscula (ada 12 buku), karya-karya apologetis (ada 4 buku), gagasan sebagai seorang ahli (ada 6 buku), asketisme dan kehidupan religius (ada 10 buku), dan beberapa karya eksegetis.
Thomas Aquinas memang seorang pribadi intelektual yang amat unik karena berhasil mengawinkan kesucian spiritual (iman) dengan kepedulian dan kesabaran tak terbatas terhadap intelek (akal budi). Ia adalah filsuf dan sekaligus teolog kristen yang sangat masyur. Sebagai filsuf abad pertengahan, ia terkenal dengan interpretasinya terhadap karya-karya Aristoteles, mengkaji dan memaknainya secara baru. Sebagai seorang teolog, ia juga dikenal sebagai teolog terbesar dalam gerjea katolik berkat sumbangannya yang tak ternilai bagi perkembangan iman dan ajaran gereja katolik.




2.2  Pandangan Thomas Aquinas tentang Penciptaan

Pandangan yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas berpijak dari ajaran Kitab Suci Kristen mengenai kisah penciptaan. Thomas mencoba memberi pendasaran filsafat pada kisah penciptaan tersebut. Menurutnya, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Tuhan tidak hanya mengadakan alam semesta, tetapi juga menyebabkannya berada terus. Keberadaan dan kelangsungan dunia/alam semesta tergantung penuh pada Tuhan.[4] Segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian / berpartisipasi dalam adanya Allah. Partisipasi tersebut bukan secara kuantitatif melainkan secara dependensi, artinya bukan seolah-olah setiap makhluk mewakili sebagian kecil dari tabiat ilahi, melainkan semua ciptaan menurut adanya tergantung mutlak dan berperan serta dalam diri sang Pencipta.[5] Itulah sebabnya, manusia ditetapkan Tuhan sebagai wakil Allah yang bertugas untuk menghadirkan kebijaksaan Allah di dunia.
Lebih lanjut, mengikuti alur pemikiran para Bapa Gereja Thomas menegaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan ( ex nihilo), suatu penciptaan dari yang tidak ada/ Creatio ex nihilo. Gagasan creatio ex nihilo ini menegaskan dua hal penting berikut. Pertama, dunia tidak diciptakan dari semacam bahan dasar yang telah tersedia, entah bahan itu Allah sendiri (melawan Panteisme) atau juga prinsip kedua selain Allah (melawan dualisme), tetapi ciptaan-ciptaan menurut adanya tergantung pada Allah. Kedua, penciptaan tidak tergantung pada satu saat saja tetapi merupakan perbuatan Allah secara terus menerus (Creatio Continua/Conservatio). Dengan perbuatan penciptaan itu, Allah terus-menerus menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara.[6] Tugas manusia sebagai wakil Allah justru nampak pada pada bagaimana manusia melestarikan alam ciptaan Allah itu. Manusia mesti menjadi conservator yang terus menerus bertugas melestarikan alam agar tetap tampil sebagai kosmos yang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

2.3 Thomas Aquinas tentang Manusia
Thomas Aquinas menekankan bahwa manusia adalah suatu kesatuan yang terdiri dari jiwa dan badan. Dengan tesis dasar anima forma corporis, dan mengacu pada ajaran Hylemorfisme, Thomas menegaskan bahwa, jiwa dan badan bukanlah merupakan dua substansi yang masing-masing bisa berada sendiri, melainkan dua prinsip metafisis yang bersama-sama menjadi nyata dan ada. Manusia  itu seluruhnya jiwa dan seluruhnya badan.[7] Dengan demikian manusia tidak bisa hidup hanya badan saja atau hanya jiwa saja. Kedua unsur ini selalu ada pada manusia dan tidak bisa dilepaspisahkan.
Jiwa menjalankan aktivitas-aktivitas yang melebihi sifat badaniah yakni aktivitas berpikir dan berkehendak yang disebut aktivitas rohani. Karena jiwa bersifat rohani, maka setelah kematian badan, jiwa hidup terus dalam ujudnya sebagai bentuk yang tetap mempunyai keterarahan pada badan.[8]
Menurut Thomas, setiap perbuatan, termasuk kegiatan berpikir dan berkehendak adalah perbuatan dari segenap pribadi manusia yang dijiwai oleh satu bentuk utama yakni bentuk rohani. Jiwa yang satu ini mempunyai lima daya yakni daya vegetatif, daya sensitif, daya yang menggerakkan, daya untuk berpikir dan daya untuk mengenal.[9] Dengan kelima daya ini manusia dapat menunjukkan keberadaannya sebagai manusia yang berbeda dari makhluk hidup lainnya. Kekhasan manusia justru terletak pada keberadaannya sebagai makhluk yang berakal budi dan memiliki kehendak/kemauan bebas dan berperasaan. Dengan akal budinya manusia dapat berpikir untuk menjalin relasi dengan orang lain dan juga unsur-unsur lain yang mendiami kosmos. Manusia juga peka terhadap situasi dan kondisi di sekitarnya.

3.      UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG “GAGASAN PENCIPTAAN” THOMAS AQUINAS
Lingkungan hidup dimengerti sebagai semua benda, baik baik itu benda hidup maupun benda yang tidak hidup, daya dan kondisi dalam satu kesatuan ruang, yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunyayang mempengaruhi kesejahteraan hidup dan perilaku manusia serta makhluk hidup lainnya.[10] Lingkungan tersebut merupakan dunia kehidupan yang dihayati manusia. Tak dapat disangkal lagi bahwa manusia sangat membutuhkan lingkungan hidup dalam keberlangsungan hidupnya. Manusia dan juga unsur-unsur kosmos yang lainnya sangat membutuhkan tempat, ruang dan suasana yang aman bagi kehidupan dan keberadaannya. Hal ini akan berkelanjutan apabila lingkungan hidup itu dilestarikan.
Melestarikan lingkungan hidup berarti memperlakukan benda alam sedemikian rupa sehingga lingkungan hidup dan ekosistem di dalamnya tetap dipertahankan.[11] Artinya harus dijaga agar tetap ada air bersih, tanah subur, udara segar, hutan lindung, aneka binantang dan lain-lain. Pada bagian ini, penulis menyelami gagasan penciptaan menurut Thomas Aquinas dan mencoba menerapkannya dalam usaha melestarikan lingkungan hidup.

3.1  Lingkungan Hidup dan manusia merupakan Hasil Karya Allah
Alam semesta merupakan karya ciptaan Allah. Lingkungan hidup, sama seperti manusia juga merupakan sesama karya ciptaan Allah. Konsekuensinya ialah bahwa kalau semuanya merupakan sesama ciptaan, maka ada kesetaraan di dalamnya. Tidak ada yang menempati posisi lebih dari yang lain, tetapi semuanya sama sebagai rekan ciptaan hasil karya sang pencipta.
Lingkungan hidup dan manusia tidak diciptakan dari semacam bahan dasar yang telah tersedia, entah bahan itu Allah sendiri (melawan Panteisme) atau juga prinsip kedua selain Allah (melawan dualisme), tetapi ciptaan-ciptaan menurut adanya tergantung pada Allah. Semuanya memiliki adanya dan tergantung pada ada sang pencipta sendiri. Hal ini berimplikasi bahwa lingkungan hidup dan manusia dalam keberadaannya mengembangkan hidup dan kehidupannya sesuai dengan rencana luhur sang pencipta.

3.2  Lingkungan hidup dan manusia berpartisipasi dalam adanya Allah.
Semua ciptaan Allah dengan adanya sendiri turut mengambil bagian/berpatisipasi dalam adanya Allah. Partisipasi tersebut bukan secara kuantitatif melainkan secara dependensi, artinya bukan seolah-olah setiap makhluk mewakili sebagian kecil dari tabiat ilahi, melainkan semua ciptaan menurut adanya tergantung mutlak dan berperan serta dalam diri sang Pencipta. Itulah sebabnya, manusia ditetapkan Tuhan sebagai wakil Allah yang bertugas untuk menghadirkan kebijaksanaan Allah di dunia. Sebagai wakil Allah, manusia tidak bisa secara bebas dan mutlak menggunakan kekuasaannya untuk mengusai lingkungan hidup, tetapi sebagai wakil pencipta, manusia harus menunjukkan dan menghadirkan kebijaksanaan Tuhan di tengah alam semesta.
Manusia tidak boleh bebas dan mutlak berkuasa atas ciptaan yang lain karena ciptaan yang lain juga memiliki cara beradanya sendiri dan bisa mengembangkan keberadaannya sesuai dengan kehendak sang pencipta. Manusia hanya diberi tugas dan dipanggil Tuhan untuk membantu lingkungan hidup agar menemukan keberadaannya yang khas. Tugas ini dijalani manusia karena manusia memiliki kelebihan yakni sebagai makhluk berakal budi.

3.3  Penciptaan itu Creatio Continua/Conservatio
Penciptaan tidak tergantung pada satu saat saja tetapi merupakan perbuatan Allah secara terus menerus. Penciptaan bukanlah suatu karya sekali jadi, melainkan suatu karya yang berlangsung terus menerus. Dengan perkataan lain, penciptaan itu sesuatu yang evolutif. Dengan perbuatan penciptaan itu, Allah terus-menerus menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara dalam karya ciptaanNya.
Kalau itu senantiasa diperbaharui maka segala sesuatu yang ada di alam semesta pun berkembang sesuai dengan adanya sendiri. Sangatlah keliru kalau ada ciptaan tertetu yang memonopoli dan menggunakan kewenangannya untuk menguasai dan bertindak sewenang-wenang terhadap yang lainnya.
Namun di atas semuanya itu, manusia adalah ciptaan Allah yang dilengkapi dengan aneka keistimewaan. Dia adalah makhluk berjiwa dan berbadan. Jiwa manusia memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan ciptaan yang lain karena memiliki lima daya yakni daya vegetatif, daya sensitif, daya yang menggerakkan, daya untuk berpikir dan daya untuk mengenal. Tugas manusia sebagai wakil Allah justru tampak pada bagaimana manusia melestarikan alam ciptaan Allah itu. Manusia mesti menjadi conservator yang terus menerus bertugas melestarikan alam agar tetap tampil sebagai kosmos yang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

4.      PENUTUP
Pembicaraan mengenai persoalan lingkungan hidup dewasa ini merupakan bahan diskusi hangat dan aktual pada banyak kalangan dan dalam aneka situasi. Hal ini berpangkal pada kesadaran dalam diri manusia yang semakin takut dan cemas dengan keberadaan lingkungan hidup tempat manusia hidup yang kini berada di ambang kehancuruan.
Aneka kebijakan dan kearifan lokal yang telah hilang diterapkan lagi demi mengubah wajah bopeng bumi yang tercemar lantaran tangan-tangan jahil manusia saat ini. Banyak dana dikeluarkan untuk membiayai usaha-usaha manusia menata kembali kosmos yang kini mengarah kepada suatu chaos. Usaha-usaha itu akan berhasil apabila manusia sendiri telah merenungkan dan berpikir tentang lingkungan hidup itu sendiri.
Penulis berpikir bahwa gagasan kosmologi Thomas Aquinas yang berpijak pada kisah penciptaan merupakan salah satu bahan permenungan yang bisa membantu manusia dalam mengubah cara pandangnya terhadap lingkungan hidup. Perubahan paradigma tersebut pada gilirannya memotivasi manusia untuk menampilkan keberadaannya sebagai makhluk ciptaan yang istimewa yang bisa menyelaraskan kehidupan di alam semesta dan mengembalikan semuanya kepada kosmos (keteraturan). Masyarakat manusia dengan kelebihan daya jiwanya senantiasa memprakarsai kampanye menyelamatkan lingkungan hidup. Kampanye tersebut hendaknya benar-benar diwujudkan dalam kegiatan konkrit yang bersahabat dengan lingkungan hidup (eco-friendly).

End Note:
 [1] Pendapat ini dikutip dari Dion Pare, “Mengembangkan Relasi Etis dengan lingkungan » dalam Vox seri 37/3-4,1992, hal. 48
[2]Dikutip dari William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 27
[3] Riwayat hidup dan karya-karya Thomas Aquinas ini diringkas dari Yulianus C. Haryon, “Thomas Aquinas: Permenungan tak Berkesudahan” dalam Vox/seri 46/4/2002, Maumere: Ledalero,2001, hal. 7-14
[4] Wiliam Chang, Op. Cit., p. 61
[5] Niko syukur Dister, “Thomas, Scotus dan Ochkam: Menyelaraskan Iman dan Akal Budi” dalam F.X. Mudjisutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.),  Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992 )  p. 45
[6] Ibid., p. 46
[7] George Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan manusia, Maumere: Ledalero, 2002,  hal. 32
[8] Niko Syukur Dister, Op. Cit., p. 47
[9] Ibid
[10] Kaslan A. Thoir, Butir-Butir Tata Lingkungan, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985, hal. 3
[11] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dunianya, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hal. 33

DAFTAR PUSTAKA

Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001
Dister,Niko syukur. “Thomas, Scotus dan Ochkam: Menyelaraskan Iman dan Akal Budi” dalam F.X. Mudjisutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.),  Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Haryon,Yulianus C. “Thomas Aquinas: Permenungan tak Berkesudahan” dalam Vox/seri 46/4/2002, Maumere: Ledalero, 2002
Kirchberger,George. Pandangan Kristen tentang Dunia dan manusia, Maumere: Ledalero, 2002
Pare, Dion. “Mengembangkan Relasi Etis dengan lingkungan”. dalam Vox seri 37/3-4,1992, Maumere: Ledalero, 1992
Thoir, Kaslan A. Butir-Butir Tata Lingkungan, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985




MENGEMBANGKAN RELASI ETIS MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN

MENGEMBANGKAN RELASI ETIS MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN

Alfonsus Sam

Abstrak:
Masalah lingkungan hidup merupakan masalah global yang menjadi perhatian dan keprihatinan dunia dewasa ini. Pemanasan global dan efek rumah kaca, perubahan iklim bumi, penipisan lapisan ozon, penebangan hutan secara besar-besaran, dan pencemaran lingkungan hidup merupakan sederatan masalah yang kini terjadi pada lingkungan hidup. Kosmos seakan-akan diarahkan menuju chaos karena aneka persoalan lingkungan hidup kini kian menjamur. Persoalan lingkungan hidup yang kini menjamur dapat diminimalisir dengan mengubah cara berpikir manusia dan selanjutnya mengubah cara bertindak. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menggagas perubahan baik dalam cara berpikir maupun dalam cara bertindak dengan berpijak pada kosmologi Kristen. Dalam terang kosmologi Kristen, perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan hidup mengarahkan manusia pada suatu pandangan yang kosmosentris-holistik, dengan menerapkan nilai moral dasar dan moral lingkungan hidup yang pada gilirannya manusia akan menemukan keberadaannya sebagai imago Dei yang mampu mewujudkan relasi etis dengan lingkungan hidup.

Kata-kata kunci: relasi etis, manusia, lingkungan hidup, kosmologi Kristen

1.      PENDAHULUAN
Alam semesta merupakan suatu keseluruhan yang teratur. Aturan alam semesta meringkas aturan-aturan yang terdapat pada masing-masing unsur kosmos yang mengarahkannya pada tujuan tertentu.[1] Keteraturan alam semesta tersebut, bukanlah suatu proses sekali jadi melainkan suatu proses dinamis dan organis. Dalam proses tersebut senantiasa muncul sesuatu yang baru sehingga alam bersifat kreatif adanya.
Sebagai suatu proses dinamis yang teratur, alam semesta memiliki tujuan akhir dari seluruh perkembangannya. Theilhard de Chardin dan A. Whitehead berpendapat bahwa Allah merupakan prinsip yang menjadi tujuan utama seluruh perkembangan kosmis.[2] Allah bekerja secara imanen sekaligus transenden dalam proses alam semesta sebagai Sang Pencipta. Dialah yang menciptakan jagat raya dan melihat semuanya itu baik adanya.
Manusia dan lingkungan hidup merupakan dua dari banyak unsur kosmos yang merupakan hasil karya Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Lingkungan hidup merupakan tempat manusia dapat mengembangkan dirinya. Lingkungan hidup dapat lestari bila manusia menjaga dan melestarikannya. Manusialah yang memberi warna terhadap lingkungan hidup, demikian pun sebaliknya. Oleh karena itu, relasi antara manusia dan lingkungan hidup merupakan suatu keharusan. Relasi tersebut bersifat eksistensial dan dinamakan suatu relasi ketergantungan.[3] Bersifat eksistensial karena manusia hanya ada dalam lingkungan dan manusialah yang membuatnya menjadi lingkungan hidup yang manusiawi. Lingkungan hidup menyediakan makanan, air dan udara bagi kehidupan manusia. Relasi antara manusia dengan lingkungan hidup juga merupakan suatu relasi ketergantungan karena keduanya saling mengandaikan dan mempengaruhi. Aksi dan tindakan manusia akan mempengaruhi lingkungan, dan perubahan pada lingkungan akan memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia.
Sejarah menunjukkan bahwa kedudukan dan peran manusia dalam alam telah bergeser dari bagian alam semesta menjadi penguasa alam semesta.[4] Manusia menggarap dan bahkan memperkosa alam tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan lingkungan sekitarnya. Alam diobjektivikasikan sepuas-puasnya bahkan direduksi untuk kepentingan segelintir orang saja.
Campur tangan manusia atas alam dewasa ini telah banyak menimbulkan bahaya dan aneka masalah. Lingkungan hidup dengan segala kekayaan kehidupan tidak lagi dipandang sebagai keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisme.[5] Lingkungan hidup yang mencakup tanah, air dan udara kini mengalami krisis.[6] Pencemaran lingkungan hidup, penipisan lapisan ozon, pemanasan global dan efek rumah kaca, serta iklim bumi mengalami perubahan merupakan sederetan persoalan yang kini mengancam kehidupan bumi. Keberadaan kosmos dan seluruh unsur yang terdapat di dalamnya kini terganggu oleh aneka persoalan ini.
Persoalan- persoalan lingkungan hidup terjadi dalam koridor kausalitas, pengaruh hubungan timbal balik.[7] Sebab yang satu mengakibatkan yang lain, akibat yang lain menempati posisi sebab dan menjadi akibat bagi yang lain, demikianpun seterusnya. Semua sebab dan akibat itu tetap kembali pada sebab utama yakni manusia sendiri. Hanya manusialah yang dapat memberi warna dan bentuk baru bagi dunia dengan menggunakan akal budi dan kehendaknya. Manusialah yang mampu menemukan jalan keluar bagi kosmos yang kini bermasalah. Manusialah yang memiliki paradigma yang luas demi menyelamatkan kosmos yang kini bermasalah.
Penulis berpikir bahwa usaha mengharmoniskan hubungan manusia dengan lingkungan hidup adalah dengan mengembangkan sikap etis terhadap lingkungan hidup. Pengembangan sikap etis tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban moral dan iman terhadap lingkungan hidup yang kini tercoreng dan kepada Allah sang Pencipta. Manusia berkewajiban untuk mencari jalan keluar agar lingkungan segera diselamatkan. Melalui tulisan ini, penulis hendak menemukan relasi yang mesti dikembangkan dan diterapkan oleh manusia dalam lingkungan hidup agar kosmos tetap berada dalam keadaan teratur sebagaimana yang diharapkan sang pencipta. Relasi tersebut berpijak pada pemahaman baru tentang alam semesta yang berpangkal dari kosmologi kristen.

2.      KOSMOLOGI DAN KOSMOLOGI KRISTEN
2.1 Kosmologi
Kosmologi berasal dari kata bahasa Yunani, cosmos dan logos. Cosmos berarti alam semesta yang teratur, sedangkan logos berarti ilmu, penyelidikan tentang, asas-asas rasional dari. Jadi, secara etimologis, kosmologi berarti penyelidikan tentang alam semesta yang teratur. Dengan kata lain, kosmologi membicarakan asas-asas rasional dari alam semesta yang teratur.[8]
Sebagai ilmu, Kosmologi merupakan cabang filsafat metafisika khusus yang pokok penelitiannya adalah dunia. Pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam kosmologi ialah bagaimana keadaan dunia sehingga keadaan itu dapat teratur? Secara lebih rinci, kosmologi hendak menjawabi pertanyaan: apakah yang merupakan asal mula jagat raya? Apakah yang menjadikan jagat raya? Apakah hakekat ruang dan waktu itu?[9]
Para pemikir Yunani telah mencoba menjawab persoalan-persoalan ini. Umumnya, Kosmologi Yunani diwarnai oleh perdebatan dan perubahan dalam cara memandang dan memahami alam semesta. Thales (630-546 SM), Anaximander ( hidup pada pertengahan abad VI SM) dan Anaximenes (550 SM) adalah tiga tokoh pemikir Ionia pertama yang memberikan pendasaran filosofis atas alam. Ketiga filsuf ini berusaha mencari substansi terdalam dari segala sesuatu yang amat menentukan bagi terbentuknya alam semesta. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab ketiga tokoh ini ialah “apakah yang merupakan substansi asli yang tidak akan berubah yang mendasari semua perubahan dalam alam semesta?”[10] Thales, Anaximander dan Anaximenes sama-sama berpendapat bahwa substansi asli pembentuk kosmos terdapat dalam kosmos itu sendiri, walaupun ketiganya menyebutnya dengan unsur-unsur yang berbeda. Thales berpendapat bahwa air merupakan sumber segala kehidupan dan makhluk; Anaximander berpendapat bahwa asal mula segala sesuatu ialah “yang tak terbatas”, sedangkan Anaximenes berpendapat bahwa udara merupakan substansi asli yang amat menentukan bagi terbentuknya alam semesta.[11]
Tidak seperti para filsuf Yunani kuno yang berpendapat bahwa kosmos berasal dari unsur-unsur tertentu, Plato berpendapat bahwa kosmos diciptakan oleh seseorang. Pemeran utama dalam kisah penciptaan ini ialah pencipta yang oleh Plato disebut Demiurgos[12]. Pencipta yang disebut Demiurgos oleh Plato hanya dapat menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada. Demiurgos memang disebut pencipta, tetapi dia hanya dapat menciptakan sesuatu dari bahan yang telah ada. Demiurgos tidak dapat menciptakan dari ketiadaan.
Demiurgos menciptakan dunia dengan menyatukan ruang (wadah) dan bentuk.  Bentuk merupakan hal yang ada dalam kenyataan bersifat abadi dan tidak dapat berubah-ubah. Sedangkan wadah (ruang) merupakan segala sesuatu yang belum terbentuk. Dengan jalan mengatur ruang sesuai dengan bentuk serta kepastian ilmu ukur, Demiurgos pertama-tama membuat tanah, udara, api dan air.  Selanjutnya hubungan matematis menimbulkan alam seperti yang dikenal sekarang ini.[13]
Lebih lanjut, Kosmologi ajaran Aristoteles tidak membahas masalah penciptaan, tetapi memberikan gambaran mengenai apakah yang dinamakan kenyataan. Hal-hal yang bersifat nyata dan yang sungguh bereksistensi, oleh Aristoteles dinamakan “Substansi”. Substansi tersebut merupakan gabungan dari bentuk dan materi.  Bentuk dan materi tidaklah dapat dipisahkan. Bentuk merupakan sesuatu yang secara tetap berada dalam hal yang konkret, sedangkan materi merupakan unsur perubahan dari segala sesuatu.[14]
Tentang alam, Aristoteles menegaskan bahwa istilah alam menunjuk kepada prinsip pertumbuhan, pengaturan, dan gerakan yang terdapat dalam segala hal. Alam senantiasa berubah dengan suatu cara tertentu dan terarah pada tujuan tertentu. [15] Alam merupakan suatu kenyataan yang sungguh bereksistensi. Dalam alam terdapat banyak substansi. Substansi-substansi tersebut senantiasa bertumbuh, berkembang dan bergerak secara teratur. Pertumbuhan, perkembangan, dan pergerakan sebstansi tersebut sangat menentukan bagi perkembangan dan pergerakan alam semesta.

2.2  Kosmologi Kristen
Pandangan Kristen tentang dunia / alam ciptaan yang akan dibahas berikut ini ialah kosmologi dalam Kitab Suci dan pemikiran-pemikiran para filsuf Kristen yang hidup pada zaman Patristik dan Skolastik.

2.2.1 Kosmologi dalam Kitab Suci
  Catatan tentang penciptaan alam semesta yang ada dalam Kitab Suci, baik dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berisikan refleksi tentang arti penciptaan. Kitab suci tidaklah berbicara mengenai sejarah penciptaan tetapi arti penciptaan, yakni bahwa segala yang ada dan dunia seluruhnya berasal dari Allah sebagai pencipta dan tergantung kepada-Nya.[16]
Kitab Kejadian memuat dua cerita tentang penciptaan yang diambil dari dua tradisi yang berbeda yakni tradisi Yahwista dan tradisi para Imam.  Keduanya mengandung pesan yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan namun tetap dipakai secara bersamaan.[17] Tradisi para imam yang dimuat dalam Kejadian 1: 1-2:3, menceritakan bahwa Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, bumi belum berbentuk dan masih kosong. Selama enam hari, Allah menciptakan terang dan gelap, langit, laut dan darat beserta tumbuh-tumbuhan, benda-benda penerang di cakrawala, burung-burung di udara dan ikan di laut, jenis-jenis binatang di darat dan manusia.  Kemudian pada hari ke tujuh Allah beristirahat. 
Cara Allah menciptakan dilukiskan oleh tradisi P dengan gagasan yang berbeda-beda.[18]
Dalam ayat pertama dikatakan bahwa pada mulanya Allah “menciptakan” langit dan  bumi.  Kata “menciptakan”  merupakan terjemahan dari kata bara (Ibrani) yang merupakan istilah teknis yang hanya dipakai untuk menunjukkan perbuatan Allah, yang bersifat unik, yang berbeda dengan perbuatan manusia.  Subyek kata bara hanyalah Allah, dan tidak pernah dipakai untuk manusia.  Nuansa kata bara ialah penciptaan dari ketiadaan (Creatio ex Nihilo).  Penciptaan tanpa bahan yang telah ada sebelumnya. 
Mulai dari ayat ketiga, tradisi P menggunakan gagasan penciptaan melalui firman. Gagasan ini dipakai untuk penciptaan seluruh kosmos, kecuali manusia. Gagasan penciptaan melalui firman mau menunjukkan bahwa Allah menciptakan tanpa jerih payah, mencipta dengan mudah, mencipta dengan kehendak bebasnya. Penciptaan melalui firman juga mau menegaskan sifat duniawi dari dunia dan sifat transendens dari Allah.
Dari semua yang telah diciptakan Allah, manusia diciptakan sebagai pribadi, partner-Nya yang bebas yang bisa berdialog dengan-Nya secara sadar. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan ditetapkan sebagai tuan atas seluruh ciptaan. Manusia diberi tugas untuk menggembalakan ciptaan lain dengan cara menghadirkan kebijaksanaan Allah di atas dunia.
Penciptaan langit dan bumi tidak terjadi dalam waktu, tetapi justru penciptaan itulah yang menjadi penyebab adanya waktu.[19] Hal ini secara jelas tertera pada kata-kata akhir setiap penciptaan: “maka jadilah petang dan jadilah hari, itulah hari ke ….” (Kej. 1:5.13.19.23.31).
Pernyataan pada akhir seluruh kisah penciptaan “Allah melihat segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya itu sungguh amat baik” (Kej 1:31) mau menegaskan bahwa penciptaan itu sesuai dengan maksud Allah. Allah menetapkan suatu tujuan untuk kosmos dan sejarahnya.[20] Dengan demikian, penciptaan merupakan rencana Allah yang keluar dari kehendak bebas-Nya guna membentuk semesta menjadi sesuatu yang indah dan terarah kepada suatu tujuan akhir yakni Allah sendiri, sebab Dialah alfa dan omega.[21]
Tradisi Yahwista melukiskan kosmos sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahwe, sebagai kehadiran berkat Tuhan bagi manusia.[22] Sambil mengerjakan bahan kiasan yang bersifat mitis-antropomorfis, Yahwista menyajikan model-model asali bagi eksistensi manusiawi, berdosanya manusia dan rahmat pencipta.[23] Allah menciptakan manusia dengan bahan dasar tanah dan menempatkannya di tengah sebuah taman yang disebut “Taman Eden.” Dalam taman ini, Tuhan menumbuhkan pohon-pohon yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya. Di sini aspek keindahan mendahului aspek kegunaan. Hal ini juga mau menegaskan bahwa alam semesta merupakan karya Tuhan yang amat indah dan teratur.[24]
Sesudah menciptakan manusia, Allah membawa manusia ke Taman Eden dan memberi tugas kepada manusia untuk mengusahakan dan memelihara. Menurut tradisi Yahwista, Allah menempatkan manusia di dunia bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai pemelihara bumi. Manusia berperan sebagai wakil Allah yang ada di bumi karena manusialah yang dipercayakan oleh Allah untuk menguasai ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi (Bdk. Kej 1:28).
Selain dalam Kitab Kejadian, kosmologi yang berisi renungan tentang alam semesta juga terdapat dalam kitab Mazmur. Aspek paling dominan yang mau ditonjolkan dalam kitab Mazmur berkaitan dengan tema kosmos ialah keindahan yang teratur, keindahan yang terpotret. Kosmos yang dilukiskan dalam Mazmur adalah dunia bermakna yang mengandung arti yang diberikan oleh Sang Pencipta.[25]
Mazmur 19:2-56, misalnya merupakan salah satu kerygma tentang kosmos sebagai buah tangan Tuhan. Langit termasuk unsur-unsur yang ada di dalamnya mengidungkan kemuliaan Allah dan memberi kesaksian karya pencipta. Kidung tersebut terus-menerus dimadahkan dan senantiasa menggema di mana-mana. Hal ini mengundang manusia untuk senantiasa mengagungkan kemuliaan Tuhan, memuji-Nya terus-menerus melalui doa. Kosmos tidak hanya mengungkapkan kebesaran Tuhan tetapi juga mendorong manusia untuk memberikan jawaban kepada Tuhan dalam iman dan pujian.[26] 
Mazmur 104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif tentang penciptaan alam semesta dalam Kejadian bab 1 dengan menampilkan unsur-unsur alam seperti cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tumbuhan, hewan-hewan hidup. Dalam teks ini, Pemazmur tidak bermaksud untuk menelusuri dan menerangkan asal muasal penciptaan, tetapi bertujuan untuk memahami keindahan dan keteraturan di dalamnya. Penciptaan alam semesta dimengerti sebagai tindakan sekarang dan bukan sebagai peristiwa yang telah berlalu.[27]
Teks ini mau menyatakan bahwa kebesaran Tuhan ada dalam segala unsur alam yang telah diciptakannya. Merasakan keberadaan alam semesta sama artinya dengan merasakan kehadiran Tuhan. Kehadiran Tuhan itu tak hanya terjadi pada saat penciptaan pertama, tetapi sepanjang sejarah keberadaan kosmos. Oleh karena itu manusia bertugas untuk senantiasa mensyukuri kehadiran Tuhan dengan cara melestarikan keberadaan kosmos. Dengan demikian nyatalah bahwa penciptaan bukanlah suatu karya yang sekali jadi, melainkan karya Tuhan yang terjadi terus menerus, tak pernah berhenti dan terus mengarah kepada keteraturan.
Gagasan tentang kosmos dalam Perjanjian Baru bertumpu pada wahyu khusus yakni pewahyuan diri Allah melalui karyaNya sebagai Penyelamat dan Penebus. Karya Allah ini mencapai puncak atau kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Memang penciptaan tidak bisa dilepaspisahkan dari karya Penyelamatan. Karya penciptaan ialah awal dan persiapan karya keselamatan.[28] Di sini aspek kristologis dan antropologis kosmos mendapat penekanannya. Kedua aspek ini tidaklah dapat dipahami secara terpisah tetapi dalam satu konteks pemahaman yang bersamaan dan saling bertautan satu dengan yang lainnya.
Secara umum kosmos dalam dunia Perjanjian Baru diartikan sebagai himpunan keadaan dan kemungkinan hidup manusia. Pembicaraan mengenai kosmos dalam Perjajian Baru selalu dikaitkan dengan dunia manusia, tempat manusia bertindak dan melakukan sesuatu secara bertanggung jawab.[29] Kosmos yang dibicarakan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tetap berakar dari gagasan tentang kosmos dalam Perjanjian Lama.
Yohanes dalam injilnya membuat konstruksi kosmologi yang diwarnai oleh pertentangan antara terang dan kegelapan.[30]  Pertentangan antara terang dan gelap sudah ada sejak awal saat dunia dijadikan. Yohanes menegaskan hal ini dalam prolog injilnya dan menjadi semakin jelas dalam kisah penyembuhan simbolis atas orang yang buta sejak lahir. Terang dan kegelapan sama-sama ada dalam dunia, namun manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang. Oleh karena itu, Allah mengutus Putera-Nya ke dalam dunia agar dunia tidak binasa[31]
Sejak semula, Allah telah menciptakan segala sesuatu sungguh amat baik dan senantiasa mengarahkan manusia pada kehidupan, keteraturan dan terang.  Namun dalam perjalanan sejarah, manusia sebagai wakil Allah di dunia, telah membuat dunia dipenuhi kegelapan, ketidakteraturan dan kekacauan. Itulah sebabnya sabda terang dan hidup, menjadi daging supaya seluruh dunia dapat diselamatkan dan dikembalikan kepada hidup. Kedatangan Kristus ke dunia sebagai Allah yang menjadi manusia hendak mengarahkan manusia yang berada dalam kegelapan dosa kepada terang keselamatan.
Manisfestasi dan kemenangan cinta Ilahi atas kegelapan dunia menjadi nyata dalam korban Salib. Melalui Salib, Allah menarik semua orang kepada-Nya dan masuk dalam Kemuliaan-Nya. Dunia yang bobrok akibat tingkah laku manusia diselamatkan karena penebusan oleh Yesus Kristus. Dunia yang diselamatkan ini tidak hanya dunia manusia tetapi mencakup seluruh universum, seluruh kosmos.
Selanjutnya, Paulus dalam surat-suratnya melukiskan kosmos sebagai segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta (Universum). Kosmos mencakup semua benda (Roma 11:36), kosmos merupakan ruang yang meliputi semua yang berada di luar  Tuhan. Dalam pemahaman Paulus, kosmos tidak berarti keteraturan karena menurutnya dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya akibat dosa yang dibuat manusia.[32] 
Ada tiga pokok pikiran Paulus yang berkaitan dengan tema kosmos, yakni dimensi Kristosentris dari kosmos, penebusan kosmos dan keberadaan manusia Kristen dalam dunia ( manusia Kristen di tengah kosmos).[33] Pertama, dunia sebagai ciptaan yang berdimensi Kristosentris. Kristus merupakan sentrum kosmos karena segala sesuatu ada di dalam Dia dan untuk Dia. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.[34]
Kedua, penebusan kosmos; kedatangan Kristus ke dalam dunia mempunyai misi untuk mendamaikan segala sesuatu. Hal ini secara nyata terealisasi melalui Salib Kristus. Korban Salib membawa kosmos kembali kepada keteraturan dunia yang sebelumnya penuh dengan kekuasaan dosa dan maut serta diarahkan kembali kepada hidup berkat darah Kristus.
Ketiga, manusia Kristen dan dunia. Dunia pada prinsipnya adalah baik sesuai dengan rencana sang Pencipta. Namun, manusia yang telah menyalahgunakan kebebasannya telah mengubah dunia menjadi chaos (tidak teratur. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Kolose tidak memberikan tugas kepada orang Kristen untuk mengubah dunia, tetapi mengajak jemaat untuk membiarkan diri diubah oleh Kristus.[35]  Dengan demikian, orang Kristen bertugas untuk mengubah bentuk dunia dari dalam, menghidupi semua keadaan di dunia menurut Roh Kristus. Orang Kristen mesti bertindak sesuai dengan kehendak Allah.
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma 8:18-27, Paulus menyoroti dunia yang diciptakan Tuhan sebagai suatu keseluruhan. Dalam teks ini, Paulus menggambarkan pandangan dan sikap manusia terhadap alam semesta yang berdimensi antroposentrik. Kendati demikian, hal tersebut bukanlah antroposentristik subjektif yang mereduksi segala sesuatu yang ada di alam semesta mempunyai nilai sejauh menguntungkan manusia, melainkan hanya menegaskan tempat/peran manusia di alam. Tempat manusia dalam tatanan penciptaan ditentukan oleh posisi dan hubungan manusia dengan segala ciptaan dalam keterkaitannya dengan Tuhan. Manusia memang mendapat kedudukan istimewa, tetapi hal itu tidak berari bahwa dengannya manusia bebas memperlakukan ciptaan lain sesuai dengan keinginannya. Keistimewaan kedudukan manusia dalam dunia menjadi nampak apabila manusia bertindak bijak terhadap segala unsur kosmos yang lainnya.

2.2.2        Kosmologi Dalam Tradisi Gereja
2.2.2.1   Pandangan Para Bapa Gereja
Para bapa Gereja berusaha untuk mempertanggungjawabkan iman penciptaan yang tertuang dalam Alkitab kepada pertanggungjawaban akal budi. Adapun yang mendorong mereka memikirkan hal itu ialah pengaruh budaya Helenis yang sangat pesat saat itu. Berhadapan dengan aliran Stoa, Plato dan Gnosis, para bapa Gereja menanggapi gagasan-gagasan secara reseptif dan kritis.[36]
Pandangan filosofis Bapa- Bapa Gereja atas sikap manusia terhadap alam semesta dan makhluk ciptaan, menekankan unsur kebijaksanaan yang dihubungkan dengan pengetahuan. Manusia merupakan tuan atas seluruh ciptaan karena kebijaksanaannya. Kebijaksanaan memungkinkan manusia bukan hanya untuk memiliki pengertian yang benar tentang Tuhan, melainkan serentak menyelidiki perjalanan bintang-bintang, membangun kota, menemukan hukum dan obat dan karena itu mencapai suatu hubungan tertentu, kokoh dan aktif dengan dunia.[37] Dengan kebijaksanaan yang sama, manusia juga mulai berefleksi tentang Allah sebagai penyelenggara semesta alam, penciptaan dari ketiadaan, kesatuan penciptaan dan sejarah keselamatan dan juga penciptaan dunia di dalam waktu oleh Allah Tritunggal.[38] Keempat hal inilah yang menjadi pokok permenungan para bapa bangsa tentang masalah penciptaan.
Para Bapa Gereja mengambil alih unsur – unsur ajaran warisan mazhab Stoa tentang penyelenggaraan dunia dan gagasan seorang pencipta yang adalah Bapa dan pemelihara semesta alam. Melalui jalan ini, gelar pantokrator muncul dalam syahadat resmi yang mengakui bahwa “percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan. Garis  ajaran ini selanjutnya bermuara pada ajaran penciptaan Yohanes Krisostomus, yang memuji tata susunan dunia yang oleh sang pantokrator ditanggung, dikemudikan, dan diselaraskan, dengan begitu indah dan tepat.[39]
Penciptaan dari ketiadaan merupakan ajaran yang digunakan oleh para Bapa Gereja untuk melawan dan menolak ajaran platonis bahwa dunia diciptakan dari materi yang tak berbentuk. Hermas, Irenius dan origenes melakukan refleksi tentang creation ex nihilo, yaitu menekankan bahwa Allah Pencipta alkitabiah adalah satu-satunya yang menjadikan dunia dan yang mahakuasa.
St. Irenius mengembangkan teologi sejarah untuk melawan penganut gnosis. Menurutnya penciptaan dan penebusan tidak boleh dilepaspisahkan satu dengan yang lainnya. Sejak semula penciptaan telah terarah kepada pembebasan dari dosa oleh dan dalam Kristus. Alam ciptaan senantiasa ditebus dan selalu terarah kepada satu tujuan yakni persatuan dengan Kristus sebagai kepala yang mengepalai tubuh yang mencakup seluruh jagat raya.
Lactantius (240-320) berpendapat bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh Tuhan. Dalam penciptaan ini, manusia menjadi pengada yang mengakui penciptanya dan menikmati segala kebaikan. Demi mencapai tujuan tersebut, manusia menggunakan api, air, tanah, gunung, dan lautan. Manusia membaktikan diri sebagai bagian dari asas Ilahi dan satu-satunya ras berakal budi yang sanggup mencintai Tuhan di antara rekan-rekan ciptaan lainnya. Manusia melihat dirinya sebagai makhluk hidup yang secitra dengan pencipta karena mampu memadukan pengetahuan dengan kebijaksanaan.[40]
Hubungan manusia dengan Sang Pencipta merupakan suatu hubungan yang akrab dan tidak bisa dipisahkan. Manusia juga disebut sebagai wakil Allah di atas bumi yang berperan untuk menggembalakan semua ciptaan lain agar senantiasa mengarahkan semuanya kepada kepenuhan hidup bersama sang pencipta. Kebijaksanaan dan pengetahuan manusia membuatnya mampu mengembangkan dirinya sebagai co-creator sang pencipta dan pemelihara kosmos.
Agustinus (354-430) mengulas masalah penciptaan dan alam semesta dalam cahaya Kitab Suci. Menurutnya, ciptaan mempunyai nilainya masing-masing dalam dirinya sendiri. Segala ciptaan lain tidak hanya berada untuk keperluan-keperluan manusiawi. Manusia ditempatkan pada jajaran hirarki yang lebih tinggi karena akal budinya. Agustinus juga menegaskan bahwa alam seluruhnya berasal dari Bapa sebagai pencipta.[41] Alam tidaklah berasal dari unsur-unsur tertentu tetapi diciptakan oleh Tuhan. Agustinus juga berpendapat bahwa penciptaan dunia terjadi di dalam waktu oleh Allah Tritunggal.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa pada jajaran hirarki, manusia ditempatkan lebih tinggi dari ciptaan lain, tetapi hal itulah yang mendorong manusia agar menjadi gembala bagi ciptaan yang lain. Manusia bertugas untuk mengarahkan sesama ciptaan lain menuju kepenuhan hidup bersama Allah. Manusia hadir sebagai wakil Allah yang bertugas menghadirkan kebijaksanaan Allah Sang Pencipta kepada semua ciptaan. Kebijaksanaan inilah yang khas manusiawi yang tidak terdapat pada ciptaan lainnya.

2.2.2.2  Pandangan Thomas Aquinas
Kosmologi yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas berkisar pada ajaran mengenai penciptaan. Menurutnya, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Tuhan tidak hanya mengadakan alam semesta, tetapi juga menyebabkannya berada terus. Keberadaan dan kelangsungan dunia/alam semesta tergantung penuh pada Tuhan.[42] Segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian / berpartisipasi dalam adanya Allah. Partisipasi tersebut bukan secara kuantitatif melainkan secara dependensi, artinya bukan seolah-olah setiap makhluk mewakili sebagian kecil dari tabiat ilahi, melainkan semua ciptaan menurut adanya tergantung mutlak dan berperan serta dalam diri sang Pencipta.[43] Itulah sebabnya, manusia ditetapkan Tuhan sebagai wakil Allah yang bertugas untuk menghadirkan kebijaksaan Allah di dunia.
Lebih lanjut, mengikuti alur pemikiran para Bapa Gereja, Thomas menegaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan ( ex nihilo), suatu penciptaan dari yang tidak ada/ Creatio ex nihilo. Gagasan creatio ex nihilo ini menegaskan dua hal penting berikut. Pertama, dunia tidak diciptakan dari semacam bahan dasar yang telah tersedia, entah bahan itu Allah sendiri (melawan Panteisme) atau juga prinsip kedua selain Allah (melawan dualisme), tetapi ciptaan-ciptaan menurut adanya tergantung pada Allah. Kedua, penciptaan tidak tergantung pada satu saat saja tetapi merupakan perbuatan Allah secara terus menerus (Creatio Continua/Conservatio). Dengan perbuatan penciptaan itu, Allah terus-menerus menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara.[44] Tugas manusia sebagai wakil Allah justru nampak pada pada bagaimana manusia melestarikan alam ciptaan Allah itu. Manusia mesti menjadi conservator yang terus menerus bertugas melestarikan alam agar tetap tampil sebagai kosmos yang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

2.3               Pokok-Pokok Penting Kosmologi Kristen
Seluruh pandangan Kristen tentang alam semesta (kosmologi Kristen) memiliki dasar dalam Kitab Suci, yakni bab pertama Kitab Kejadian. Kisah penciptaan tentang alam semesta yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian bukan pertama-tama bertujuan untuk menguraikan proses terjadinya dunia secara ilmiah, melainkan hanya mau menegaskan keterarahan dunia kepada sang Pencipta. Dengan kata lain kosmologi yang terdapat dalam kitab suci tidak berbicara mengenai penciptaan, tetapi arti penciptaan.
Dalam pemahaman tentang penciptaan alam semesta inilah sejak zaman dunia Perjanjian Baru sampai zaman Bapa Gereja Dan Skolastik, bahkan juga zaman sekarang, orang Kristen mencoba merumuskan suatu kosmologi Kristen. Ada beberapa pokok penting yang ada dalam kosmologi Kristen. Pertama, Alam semesta merupakan karya Allah Sang Pencipta yang teratur, indah dan baik adanya. Alam semesta sungguh dikehendaki Allah, dan pada dasarnya bersifat positif, sesuai dan cocok untuk tujuan yang telah ditetapkan Allah baginya. Ketidakteraturan alam semesta sesungguhnya tidak pernah diharapkan oleh Allah. Keegoisan manusia dalam menggunakan kebebasannya secara tidak bertanggung jawab merupakan penyebab utama ke-chaos-an alam semesta.
Kedua, penciptaan alam semesta terjadi dari ketiadaan (Creatio ex nihilo). Alam semesta diciptakan oleh Allah tanpa suatu bahan dasar. Allah secara gampang menciptakan dunia melalui firman-Nya tanpa menggunakan unsur-unsur yang telah ada sebelumnya. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan Plato yang beranggapan bahwa alam diciptakan oleh Demiurgos dari bahan-bahan yang telah ada. Dengan demikian dapat dipahami di sinilah pula letak perbedaan antara cara Allah mencipta dengan cara manusia mencipta. Manusia bisa membuat atau menemukan sesuatu yang telah ada tetapi Allah membuat dan menciptakan sesuatu dari ketiadaan.
Ketiga, waktu diciptakan bersama alam semesta. Sebelum Tuhan menciptakan kosmos, waktu belum ada. Waktu juga merupakan salah satu unsur kosmos yang terjadi dalam rencana Sang Pencipta sendiri. Jadi, waktu juga diciptakan oleh Tuhan sendiri dan hanya Dialah yang menguasai waktu.
Keempat, dimensi imanen dan transendensi Allah.  Konsekuensi logis dari gagasan creation ex nihilo ialah bahwa kosmologi Kristen diwarnai oleh transendensi Allah yang jelas dan imanensi Allah yang akrab.  Disatu pihak Allah jelas berbeda dengan dunia dan mengatasi segalanya, dan di lain pihak Allah sungguh akrab dengan dunia.  Dunia dan seluruh semesta berasal dari Allah. Allah adalah satu-satunya dasar keberadaan alam semesta.
Kelima, dimensi Kristologis dari kosmos. Selain dalam kerangka karya penciptaan, kosmologi Kristen juga berbicara dalam bingkai karya keselamatan. Karya keselamatan tersebut justru merupakan tujuan yang dipersiapkan sejak penciptaan. Karya keselamatan Allah atas kosmos menjadi penuh dan menyeluruh dalam diri Kristus. Dialah pusat dari kosmos. Oleh karenanya kosmologi Kristen juga berdimensi Kristologis.
Keenam, dimensi antropologis dari kosmologi kristen. Dalam kerangka penciptaan, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.  Hal ini menjadikan manusia sebagai pribadi, wakil Allah, rekan Allah dalam karya penciptaan. Manusia mengambil bagian dalam karya penciptaan untuk menjaga dan memelihara dunia. Tentu dimensi antropologis ini tidak bermaksud untuk menjadikan manusia sebagai penguasa mutlak atas alam.  Kekuasaan manusia atas alam bersifat partisipatif, manusia hanya berpartisipasi dalam mengembangkan kuasa Tuhan. Dengan akal budi, manusia hendaknya bertugas untuk menghadirkan kebijaksanaan sang pencipta dan mengarahkan ciptaan lain kepada tujuan utamanya yakni pencipta sendiri.
Ketujuh, dimensi penebusan kosmos. Kedatangan Kristus ke dunia bermisi menebus dan menyelamatkan kosmos. Dia datang bukan hanya untuk menebus dan menyelamatkan manusia tetapi Kristus datang untuk memperbaharui bumi dan mengarahkan seluruh alam semesta kepada sang pencipta. Kristus datang agar seluruh kosmos tidak saling menguasai dan menindas satu sama lain. Sebagai pengikut Kristus, orang Kristen juga dipanggil untuk mewujudkan dunia yang baru

3.      Dominasi Manusia atas Kosmos: Akar Penyebab Masalah Lingkungan Hidup

Persoalan lingkungan hidup yang kini marak terjadi bukanlah suatu masalah baru. Masalah ini merupakan suatu masalah yang telah hadir dalam sejarah peradaban manusia sejak zaman dahulu kala. Dalam segala zaman, persoalan ini menuntut manusia untuk mencari dan menemukan cara dan metode yang tepat untuk berusaha mengembalikan lingkungan hidup kepada keadaan yang aman dan asri. Tuntutan ini merupakan kewajiban hakiki manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan bermoral.
Ada dua faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yakni faktor alamiah dan faktor aktivitas manusia.[45] Gempa bumi, erupsi vulkanik, banjir, topan, badai merupakan beberapa kejadian alamiah yang menyebabkan persoalan lingkungan hidup. Sedangkan faktor aktivitas manusia berupa intervensi manusia terhadap alam dengan cara mengeksplorasi, mengeksploitasi serta menggunakan alam untuk kebutuhan hidup dan industrialisasi. Intervensi manusia terhadap alam rupanya merupakan faktor penyebab utama pengrusakan lingkungan hidup. Hal ini sangat erat dipengaruhi oleh cara pandang dan sikap hidup manusia terhadap lingkungan hidup.

3.1 Pendekatan Ekologi yang Pincang
Pendekatan ekologi yang pincang yang dimaksudkan di sini ialah beberapa teori tentang lingkungan hidup yang dibuat dan diterapkan manusia, yang amat berat sebelah. Teori-teori tersebut hanya menguntungkan unsur kosmos tertentu dan merugikan unsur kosmos yang lainnya. Jonathan Huges mengemukakan tiga macam pendekatan ekologis yang pincang yang disebut sebagai entry point the death of the cosmos (pintu masuk menuju kematian kosmos) yakni anthroposentrik (human centered Ethic), biosentris (biotic centered ethic/life centered ethic) dan ecocentric (economic centered ethic).[46] Ketiga pandangan ini merupakan pandangan yang menyebabkan munculnya aneka persoalan yang mengganggu keteraturan kosmos. 

3.1.1        Human-Centred Ethic (Anthroposentrisme)
Teori ini menempatkan manusia sebagai pusat dari lingkungan hidup. Manusia menjadi jantung perhatian dalam pembahasan tentang lingkungan hidup. Titik berat dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta.[47]
Tak dapat disangkal lagi bahwa peradaban modern berakar dalam pandangan yang antroposentris ini. Hampir semua segi kehidupan modern selalu bernuansa antroposentris. Lingkungan hidup dimanipulasi demi kepentingan manusia dan mengabaikan hak dan tujuan unsur-unsur kosmos yang lainnya. Manusia berhak untuk menguasai alam semesta. Manusia belajar mengolah bahaya-bahaya yang disebabkan oleh alam dan melatih diri untuk memanipulasi kekuatan alam agar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan biologis manusia. Pertimbangan dalam memanfaatkan dan mengolah lingkungan semata-mata hanya demi kebutuhan dan kepentingan manusia.
Pandangan yang antroposentris ini membawa dampak buruk bagi unsur kosmos lainnya selain manusia. Lingkungan hidup dan segala unsur yang ada di dalamnya hanyalah sebagai alat pemuas nafsu manusia. Selama unsur itu berguna bagi kehidupan manusia, ia akan dilestarikan dan dijaga, dan bila unsur itu tidak atau kurang menguntungkan manusia, maka ia diabaikan. Manusia sungguh-sungguh manjadi tuan dan penguasa mutlak atas lingkungan hidup.

3.1.2        Life-Centered ethic (Biosentrisme)
Pandangan ini beranggapan bahwa semua unsur alam semesta yang hidup patut mendapat pertimbangan moral. Cakupan makhluk hidup menjadi lebih luas. Makhluk hidup bukan hanya mencakup manusia dan hewan tetapi juga tumbuhan dan organisme bersel tunggal.[48] Memandang lingkungan hidup dan mengelolanya hendaknya mempertimbangkan hak hidup semua makhluk hidup.
Pendekatan ini pada galibnya bertujuan baik karena tidak hanya mempertimbangkan keuntungan bagi manusia, tetapi unsur-unsur kosmos yang lainnya. Namun pada tataran praktis, pendekatan ini tetap menempatkan manusia sebagai makhluk hidup yang sanggup menguasai makhluk hidup lainnya. Itulah sebabnya walaupun secara moral pendekatan ini sudah agak seimbang, namun tetap terlihat sebagai suatu pendekatan yang pincang. Pincangnya pendekatan ini karena penghormatan dan pertimbangan moral yang diberikan kepada lingkungan hidup hanya berpatokan pada kehidupan, sedangkan benda mati atau unsur alam yang tidak hidup, boleh dimanipulasi untuk kepentingan unsur kosmos yang tergolong makhluk hidup. Batu, pasir, bahan galian mineral misalnya boleh dikuras habis demi kepentingan kehidupan manusia atau makhluk hidup lainnya. Pandangan seperti ini sebenarnya merupakan pandangan yang amat berat sebelah, di mana segala unsur di alam semesta yang tidak hidup boleh dipergunakan secara bebas oleh makhluk hidup.

3.1.3        Economic-Centered Ethic (Ekosentrisme)
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Aldo Leopold sekitar tahun 1930-1940 saat ia mempopulerkan istilah ”Etika alam”. Etika ini memperluas persekutuan antara manusia dengan semua unsur alam lainnya. Kedudukan dan peran manusia diubah, dari penakluk alam lingkungan menjadi anggota alam lingkungan yang berpartisipasi dalam relasi persaudaraan. Alam lingkungan sesungguhnya dilihat sebagai organisme yang memiliki cara atau irama hidup tertentu.[49]
Tujuan dari perumusan teori ekosentrisme ini sebenarnya amat luhur dan memberi keuntungan bagi lingkungan hidup seluruhnya. Namun teori ini menjadi pincang dalam penerapannya karena ulah manusia yang menerjemahkannya secara berat sebelah. Penerapan berat sebelah ini terlihat bahwa rumusan teori ini lebih darahkan kepada kepentingan ekonomis manusia. ”Oikos” (rumah tangga) lingkungan hidup lebih diarahkan kepada kesejahteraan ekonomi manusia, padahal etika ekologis hendak memberi pendasaran yang seimbang pada ekonomi seluruh unsur yang ada dalam lingkungan hidup. Hal ini diperparah lagi oleh kecerdikan manusia yang memandang alam sebagai unsur yang mesti dimanipulasi demi menyejahterahkan kehidupan manusia, tanpa pernah memahami bahwa hal itu sangat mengganggu keseimbangan perekonomian lingkungan hidup seluruhnya.

3.2  Kerusakan Lingkungan Hidup Sebagai Kondisi Negatif Terhadap Nilai Etis Manusiawi
Manusia ialah makhluk bermoral. Konsekuensi dari pemahaman ini ialah bahwa setiap tindakan manusia selalu dilaksanakan dan dipertimbangkan secara moral. Pertimbangan moral dimaksud tidak hanya diperuntukkan dalam menilai tindakan manusia terhadap sesama manusia tetapi juga tindakan manusia terhadap unsur non-manusia dalam lingkungan hidup. Tindakan manusia yang sewenang-wenang terhadap unsur lain di luar dirinya pada gilirannya akan mambahayakan manusia itu sendiri.
Kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu kondisi negatif terhadap nilai-nilai etis. Kondisi negatif tersebut menyata dalam empat hal berikut.[50] Pertama, kerusakan lingkungan hidup menimbulkan rasa gelisah dan keterancaman eksistensial. Manusia merasa kehilangan sesuatu yang dibutuhkan. Ia berada dalam suatu kondisi yang tak menyenangkan, namun tak bisa keluar dari situasi itu. Pemanasan global misalnya, sangat meresahkan manusia tetapi siapa pun tidak bisa keluar dari kondisi pemanasan global tersebut. Kedua, kerusakan lingkungan mengungkapkan akumulasi dosa sosial. Interaksi antarmanusia yang berciri egoistis akan menghasilkan berbagai sarana yang secara kumulatif makin merusakkan lingkungan hidup. Ketiga, kerusakan lingkungan merupakan suatu penyangkalan atau penghancuran nilai-nilai etis dalam hubungan dengan generasi mendatang. Generasi mendatang juga adalah manusia yang membutuhkan hak untuk hidup dan berhak atas kekayaan alam yang ada di bumi. Oleh karenanya bila manusia dewasa ini merusak lingkungan hidup itu berarti dia membunuh generasi mendatang. Merusak lingkungan hidup sama halnya dengan merampas hak hidup generasi yang akan datang. Keempat, kerusakan lingkungan hidup juga mengungkapkan penyangkalan terhadap eksistensi manusia. Secara eksistensial, sikap yang tepat terhadap lingkungan ialah pemeliharaan. Sikap ini membawa konsekuensi pada upaya menggunakan sumber-sumber alam untuk kehidupan manusia dan juga upaya pelestariannya. Kerusakan lingkungan hidup justru banyak terjadi karena manusia tidak tahu menggunakan secara bertangung jawab sumber-sumber alam dan juga tidak pernah terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Sikap manusia seperti inilah yang merupakan suatu sikap penyangkalan terhadap eksistensinya sebagai manusia. 

4.      MENGEMBANGKAN RELASI MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN

Mengembangkan relasi etis manusia dengan lingkungan hidup merupakan usaha untuk menciptakan suatu kosmos yang dipenuhi dengan keharmonisan. Situasi harmonis ini dapat tercipta apabila manusia sebagai makhluk yang berakal dan bermoral serta makhluk religius ini memiliki paradigma yang kosmosentris dalam berelasi dengan lingkungan hidupnya. Paradigma kosmosentris ini pada tataran praktis terwujud dalam sikap manusia yang berelasi etis dengan lingkungan hidupnya. Dalam terang kosmologi kristen, relasi ini berpangkal dari tuntutan moral dasar dan keberadaan manusia sebagai imago Dei.  

4.1  Perubahan Paradigma Manusia Terhadap Ekologi
Kerusakan lingkungan hidup yang kini kian parah menuntut manusia untuk senantiasa merumuskan paradigma baru dalam berelasi dengan lingkungan hidupnya. Paradigma lama dalam memandang lingkungan hidup diwarnai oleh pandangan antroposentris. Manusia merupakan pusat dan penguasa atas alam semesta. Menanggapi paradigma lama ini, Joanna Macy mengumandangkan suatu paradigma baru terhadap lingkungan hidup. Paradigma yang digagas Joanna ini mengandung dua pokok pikiran utama yakni deep ecology dan penghijauan diri.[51]
Deep ecology mempunyai cakrawala pandangan yang menyeluruh, holistik. Latar belakangnya adalah dimensi saling keterkaitan antarorganisme dalam lingkungan hidup. Deep ecology mengandung pemikiran bahwa menghadapi krisis ekologi dewasa ini, haruslah diusulkan proses transformasi yang radikal dalam cara pikir, cara pandang, dan cara bertindak. Setiap unsur dalam alam semesta memiliki nilai intrinsik dan berhak untuk berada dan terus berkembang. Nilai intrinsik yang dititikberatkan dalam hal ini ialah sistem keseluruhan organisme lingkungan hidup yang mendukung keberadaan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.[52]
Selain deep ecology, Macy juga menekankan pentingnya kesadaran manusia akan dirinya sebagai pribadi dan bagian dari alam semesta. Manusia bukan penghuni tunggal jagat raya melainkan berada bersama ciptaan yang lain. Manusia dilukiskan sebagai sebidang tanah berumput, tempat penyusunan strategi demi hidup dan pertahanan diri. Manusia bukan lagi makhluk yang hanya memikirkan keperluan dan kepentingan diri, melainkan makhluk yang senantiasa membuka diri dan menyelami kedalaman makhluk dan unsur ciptaan lain. Dalam diri manusia terjadi proses transformasi rohani yang memperbaharui manusia. Manusia hendaknya memiliki dan menunjukkan kesetiakawanan dengan ciptaan lain. Inilah yang dimaksudkan oleh Macy dengan penghijauan diri.[53]
Senada dengan konsep deep ecology dan penghijauan diri yang digagas oleh Joanna Macy, Jonathan Huges juga menawarkan suatu paradigma baru dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Huges menawarkan suatu etika ekologi yang baru yang disebutnya pendekatan holistik cosmocentrik (Cosmos centered).[54] Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga benda mati merupakan entitas kosmos yang memiliki hak yang sama. Mencederai satu sama lain berarti melukai tatanan kosmos itu sendiri.
Baik Joanna Macy maupun Jonathan Huges sama-sama menawarkan suatu paradigma baru dalam memahami lingkungan hidup. Keduanya menawarkan suatu etika kosmosentris dalam memahami keberadaan manusia dan lingkungan hidup. Paradigma inilah yang hendaknya juga diperhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan aneka persoalan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Huges mengemukakan empat hal penting yang mesti melandasi etika kosmosentris.[55] Pertama, nilai intrinsik interaktif komponen cosmophere perlu dibangun harmonis. Semua komponen kosmos memiliki dalam dirinya suatu nilai intrinsik yang sangat berguna bagi kelangsungan kosmos. Nilai intrinsik masing-masing unsur kosmos hendaknya dihargai dan tetap dilestarikan agar kosmos tetap teratur dan terarah pada tujuannya yang luhur. Kedua, menghargai pluralistik komponen biotik dan abiotik. Pluralistik kemponen-komponen yang terdapat dalam kosmos merupakan daya dukung keindahan dan kelestarian kosmos. Kosmos terdiri dari aneka unsur yang mempunyai keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini justru ada karena masing-masing unsur mempunyai kekhasannya. Kekhasan setiap unsur kosmos inilah yang digunakan untuk saling melengkapi antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Ketiga, tanpa mengecilkan peran manusia sebagai homo faber, manusia mesti menciptakan relasi ramah terhadap kosmos dan kandungannya. Manusia memang mempunyai kedudukan yang istimewa dalam kosmos. Keistimewaan itu memampukan manusia untuk bisa mengatur unsur-unsur kosmos lainnya. Ia hadir sebagai makhluk pekerja yang mampu mengolah kosmos. Peran manusia sangat penting demi kelestarian kosmos. Dalam menjalankan perannya ini manusia hendaknya menciptakan relasi yang ramah terhadap kosmos dan manjalankan perannya secara bertanggung jawab. Keempat, relasi take and give perlu dikembangkan. Relasi yang dikehendaki dalam kosmos adalah relasi saling memberi dan menerima dan menjaga kelestarian masing-masing unsur. Tidak dibenarkan kalau relasi yang dijalankan hanya menguntungkan pihak manusia atau pihak makhluk hidup lainnya dan merugikan unsur kosmos lainnya. Relasi yang dibuat hendaknya mempertimbangkan keuntungan semua unsur kosmos.

4.2  Relasi Manusia dengan Lingkungan Hidup yang Bertolak dari Tiga Prinsip Dasar Moral dan Moral Lingkungan Hidup

Masalah lingkungan hidup umumnya terkait dengan krisis moral dalam usaha memahami ciri saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidup. Manusia kurang berminat untuk merenungkan keadaan lingkungan hidupnya. Manusia lebih banyak dipengaruhi oleh pola pikir yang antroposentris yang menempatkan dirinya sebagai pusat dan penguasa lingkungan hidup. Pola pikir seperti ini mesti diubah dengan pemahaman yang baru terhadap lingkungan hidup yang mana di dalamnya manusia mesti menciptakan relasi etis dengan lingkungan hidup. Manusia mesti menempatkan dirinya sebagai bagian dari lingkungan hidup sehingga dia mampu mengembangkan pola relasi yang diwarnai oleh iklim persaudaraan universal. Dalam mengembangkan relasi etis dengan lingkungan hidup, manusia hendaknya memahami tiga prinsip moral dasar dan dua hal utama dalam moral lingkungan hidup. Tiga prinsip moral dasar tersebut menegaskan secara lebih mendalam tentang keberadaan manusia sebagai makhluk individu, sedangkan dua prinsi moral lingkungan hidup menekankan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.

4.2.1.1  Tiga Prinsip Moral Dasar

Ada tiga prinsip dasar moral yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan relasi dengan lingkungan hidup yakni prinsip sikap baik, prisip keadilan dan prinsip pengembangan diri manusia.[56]
Prinsip sikap baik menegaskan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu baik. Prinsip ini juga berlaku juga bagi lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu sesungguhnya baik dan menyenangkan. Lingkungan hidup adalah sahabat bagi manusia dan bukan musuh. Karena lingkungan hidup sebagai sahabat, maka relasi antara manusia dengan lingkungan hidup harus merupakan relasi yang saling menghargai dan mendukung, bukan saling bemusuhan
Prinsip keadilan mau mempertajam nilai moral yakni bahwa prinsip sikap baik tidak boleh melanggar hak orang lain. Dalam pembicaraan tentang relasi manusia dengan lingkungan hidup, prinsip ini berarti menghormati hak orang lain dan seluruh unsur kosmos yang membutuhkan keseimbangan. Lingkungan membantu manusia untuk menjalakan hidupnya, tetapi manusia juga harus bersikap adil terhadap hak hidup spesies lain dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Sedangkan prinsip pengembangan diri  manusia mau menegaskan bahwa prinsip sikap baik dan adil harus mendukung kualitas hidup manusia. Manusia tidak boleh menjadi korban dari penghormatan besar terhadap alam/lingkungan. Satu hal yang ditegaskan di sini ialah bahwa dalam relasi etis dituntut kepekaan batin manusia untuk sanggup merasakan atau melihat apakah sikap dan tindakannya memberikan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan atau tidak, dan menilai apakah sikap dan tindakan itu masih disebut etis atau tidak.

4.2.1.2  Dua Prinsip Moral Lingkungan Hidup

Moral lingkungan hidup yang baru menekankan dua sasaran pokok yakni nilai moral intrinsik dan nilai moral sosial.[57] Nilai moral intrinsik adalah nilai yang terdapat dalam diri segala sesuatu. Semua unsur yang terdapat dalam alam semesta memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Nilai tersebut berfungsi untuk mengatur fungsi alamiah, seperti keseimbangan, kependudukan. Sasaran kedua yang ditekankan dalam moral lingkungan hidup ialah moral sosial, seperti kebaikan yang perwujudannya tergantung pada tujuan dan kepentingan komunitas manusia.
Nilai moral intrinsik dan moral sosial saling terkait dan manusia tidak bisa memutlakkan diri sebagai makhluk tunggal penyandang nilai intrinsik dan mengabaikan nilai intrinsik ciptaan lainnya. Manusia dan lingkungan hidup serta unsur-unsur kosmos yang lainnya memiliki nilai intrinsik dan senantiasa berada dalam suatu relasi yang bersahabat dan harmonis. Nilai moral intrinsik dan moral sosial memungkinkan manusia dan unsur lainnya saling berelasi dalam suatu kesetiakawanan universal. Manusia memandang lingkungan/alam sebagai sahabat dan bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup.

4.2.2        Relasi Manusia yang Bertolak dari Keberadaan Manusia Sebagai Imago Dei
Kitab Kejadian 1: 26-29 memberikan gambaran yang jelas tentang manusia sebagai imago Dei. Dasar biblis yang digunakan penulis dalam memahami manusia sebagai imago Dei ini ialah kitab Kejadian. Sebagai imago Dei, manusia adalah representan dari kekuasaan Allah atas ciptaan. Manusia memiliki kekuasaan atas alam ciptaan, namun kekuasaan tersebut bukanlah kekuasaan mutlak, melainkan kekuasaan yang berasal dari Allah dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan sendiri. Dari semua ciptaan Tuhan hanya manusia saja yang bisa berkomunikasi/berdialog dengan-Nya. Manusia sungguh menjadi wakil Allah di dunia.
Sebagai wakil Allah, keberadaan manusia di dalam alam semesta hendaknya menghadirkan kebijaksanaan dan kebaikan hati Allah kepada seluruh ciptaan.  Peran manusia sebagai pengejawantahan kebijaksanaan dan kebaikan hati Allah terwujud dalam panggilannya untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan. Manusia adalah co-operator dan co-creator dari sang pencipta. Manusia selalu mengambil bagian dalam tindakan kreatif sang pencipta untuk mentransformasikan, membentuk kembali dan memelihara alam semesta. Di sinilah nampak keistimewaan manusia dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Penulis Kitab Kejadian menulis bahwa manusia mempunyai kuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang melata, hewan serta segala sesuatu yang ada di alam semesta ( Bdk. Kej 1:28). Pada bagian lain kitab yang sama ditulis Allah juga memberi kutukan kepada ular karena menggoda manusia (Bdk. Kej 3 :14). Ular mewakili ciptaan lainnya selalu berada dalam pengawasan manusia, karena manusialah yang mampu menggunakan akal, pikiran dan kehendaknya untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
Konsep manusia sebagai imago Dei ini hendaknya tidaklah diterjemahkan dalam paradigma antroposentris, tetapi dalam paradigma kosmosentris. Keberadaan manusia yang istimewa ini hendaknya merupakan berkat bagi ciptaan lainnya. Kehadiran manusia dalam suatu lingkungan hendaknya membuat sesama ciptaan lainnya merasakan kebaikan dan cinta kasih Sang Pencipta. Manusia hendaknya menyadari diri sebagai bagian dari penghuni komos. Manusia bukanlah pemilik tunggal dan penguasa atas kosmos. Penguasa dan pemilik kosmos adalah sang pencipta sendiri. Sebagai bagian dari penghuni kosmos, manusia mesti berelasi dengan sesama penghuni kosmos yang lainnya. Karena itu adalah tidak benar kalau manusia bertindak sewenang-wenang terhadap lingkungan hidup atau juga unsur kosmos lainnya.

5.      RELASI PERSAUDARAAN ETIS UNIVERSAL: DARI KESADARAN BERFILSAFAT MENUJU PRAKSIS HIDUP YANG KOSMOSENTRIS (SEBUAH CATATAN PENUTUP)

Relasi manusia dengan lingkungan hidup dewasa ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting. Dikatakan demikian karena hal ini sangat menentukan bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan keberadaan lingkungan hidup. Usaha mencari dan menemukan konsep untuk menjalin relasi antara manusia dengan lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh cara pandang manusia itu sendiri dalam melihat diri dan lingkungannya. Tak dapat disangkal lagi kalau dikatakan bahwa cara pandang yang terlampau antroposentris telah membawa lingkungan hidup/alam ke dalam suatu persoalan global yang memprihatinkan.
Dalam paradigma baru terhadap lingkungan, manusia melihat lingkungan hidup sebagai sahabat dalam kosmos yang saling berelasi. Relasi etis manusia dengan lingkungan hidup tersebut mesti bercorak kosmosentris, artinya bahwa relasi tersebut harus memperhatikan kelangsungan hidup dan keberadaan seluruh unsur kosmos. Paradigma lama terhadap lingkungan hidup yang bercorak antroposentris, biosentris, ekonomik-sentris harus diganti dengan paradigma baru yang menawarkan suatu pemahaman yang mendalam tentang lingkungan hidup yakni paradigma cosmosentris-holistik.
Relasi ini tentu harus digagas oleh manusia, karena manusialah yang merupakan imago Dei yang berpikiran, berperasaan, dan berkehendak. Walaupun demikian manusia tidak boleh mengobjekan alam, melihat dan memandang alam sebagai objek pemuas keinginannya, tetapi harus memandang alam sebagai sesama sahabat, karya sang pencipta. Lebih dari itu, manusia juga mesti tampil sebagai wakil Allah yang menampakkan kemuliaan, kebijaksanaan dan kebaikan hati Sang Pencipta bagi sesama ciptaan lainnya. Di sinilah manusia dan seluruh unsur kosmos terjalin dalam suatu relasi universal sebagai rekan kerja, sesama saudara ciptaan sang Pencipta yang senantiasa bekerja sama demi kelangsungan kosmos.
Relasi yang diharapkan terjalin dalam kosmos adalah suatu relasi etis yang melihat semua unsur kosmos sebagai sesama ciptaan. Relasi tersebut merangkum semua pluralitas komponen biotik dan abiotik dan semua unsur merasa diri bagian dari alam dan bukannya sebagai penguasa yang lalim dan penghuni tunggal atas kosmos. Entah manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga benda mati merupakan entitas kosmos yang mempunyai hak yang sama atas hidup dan keberadaannya.
Manusia ditetapkan Allah sebagai wakil-Nya yang bertugas untuk menggembalakan ciptaan yang lainnya. Tugas kegembalaan yang diembankan oleh manusia merupakan representasi dari kekuasaan Allah. Allah mempunyai kekuasaan mutlak atas seluruh ciptaan-Nya, sedangkan manusia mempunyai kuasa partisipatif yakni mengambil bagian dalam kuasa Allah.
Dalam menjalankan kekuasaan ini, manusia hadir sebagai raja yang bijaksana. Kebijaksanaan manusia dalam menguasai alam semesta akan terwujud bila manusia mengarahkan alam semesta kepada keteraturan. Hal ini berarti bahwa manusia hadir sebagai gembala yang mengarahkan seluruh kosmos kepada Penciptanya. Kisah penciptaan yang ditulis dalam kitab kejadian sangat jelas menguraikan bagaimana seharusnya posisi/kedudukan manusia di tengah kosmos dan bagaimana semestinya manusia berelasi dengan unsur-unsur kosmos seperti lingkungan hidup.
Kebijaksanaan manusia dalam mengatur dan mengarahkan alam semesta terwujud dalam sikapnya yang harus menjalin suatu relasi etis dengan alam. Dalam terang kosmologi Kristen, perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan hidup juga bertolak dari nilai moral dasar, moral lingkungan hidup dan juga keberadaan manusia sebagai imago Dei. Keberadaan manusia sebagai imago Dei tidak dimaksud untuk menekankan kekuasaan manusia yang semena-mena atas alam/lingkungan hidup tetapi pertama-tama dan paling utama menegaskan kedudukan dan peran manusia yang khas di tengah kosmos. Kekhasan tersebut dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi, manusia mengatasi alam/lingkungan hidup karena mempunyai kemampuan memberi warna kepada lingkungan hidup dan sebagai raja atas alam. Pada sisi lain, manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup. Manusia sama dengan lingkungan hidup yakni sebagai sama-sama sebagai entitas kosmos ciptaan Tuhan yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan tidak akan berdaya guna kalau tidak disertai tindakan nyata. Relasi etis antara manusia dan lingkungan hidup perlu dikonkretisasikan dalam upaya rehabilitasi dan gerakan sadar lingkungan.[58] Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan penghijauan atau reboisasi. Gerakan sadar lingkungan dapat dilakukan melalui edukasi dan pembiasaan-pembiasaan perilaku tertentu yang sederhana dan biasa dalam hidup sehari-hari. Edukasi yang dimaksudkan di sini ialah pendidikan sadar lingkungan kepada masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, penjelasan-penjelasan tertentu yang praktis agar bergaya hidup selaras dengan alam dan menghindari upaya pembakaran dan pembasmian hutan. Manusia memiliki keistimewaan justru terletak pada keberadaannya sebagai makhluk yang bisa berpikir dan sadar bahwa ia sadar. Kesadaran inilah yang membuatnya berfilsafat-berpikir tentang keseluruhan realitas yang ada.
Selain melalui edukasi, gerakan sadar lingkungan juga berupa perilaku-perilaku yang dibiasakan dan akhirnya membudaya dalam masyarakat. Masyarakat dibiasakan untuk menyadari pengaruh buruk dari pembakaran hutan seperti pencemaran udara, menipisnya lapisan ozon. Masyarakat juga dibiasakan menyadari bahaya banjir yang disebabkan oleh erosi, penggundulan hutan. Masyarakat juga dibiasakan untuk solider dengan para korban bencana alam dan juga alam itu sendiri.
Isi dari gerakan sadar lingkungan ini antara lain berupa pengolahan sampah yang ramah lingkungan, penghematan pemakaian air, memotong rumput di halaman secara teratur, penanaman pohon-pohon berbiji dan buah-buahan, tidak merokok di sembarang tempat, penghematan pemakaian listrik, mengurangi pemakaian bahan kemasan dari plastik, dan lain-lain.[59] Gerakan sadar lingkungan ini pada prinsipnya mengajak manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan.
Gerakan sadar lingkungan merupakan tanggung jawab semua orang. Dalam relasi persaudaraan yang universal, gerakan ini menyadarkan manusia akan suatu tanggung jawab global manusia terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu gerakan ini hendaknya dijalankan oleh semua orang tanpa kecuali. Lembaga pemerintahan, LSM, lembaga-lembaga keagamaan, masyarakat dan orang perorangan hendaknya bersemangat dalam gerakan sadar lingkungan ini. Kerja sama antar lembaga-lembaga ini juga sangat mempengaruhi keberadaan kosmos dan keberlangsungan semua unsur yang ada di dalamnya, dan berguna baik generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Akhirnya, entah perubahan paradigma maupun perubahan pola laku manusia yang mengarah pada tindakan ramah terhadap lingkungan hidup merupakan bentuk tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dan tanggung jawab iman kepada Sang Pencipta. Terjalinnya relasi antara manusia dengan lingkungan hidup merupakan kehendak sang pencipta sendiri. Kelanggengan relasi manusia dengan lingkungan hidup akan mengarahkan kosmos kepada suatu keindahan yang teratur sebagaimana kehendak Sang Pencipta yang melihat bahwa “semuanya sungguh amat baik”. 

End note:

[1] Th. Huijbers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982) p. 93
[2] Ibid., p. 96
[3] Dion Pare, “Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan Hidup” dalam Vox seri 37/3-4 (Maumere:STFK Ledalero, 1992) pp.44-45
[4] Crispino Hermanto Jebarus, “Etika Ekologi” dalam Akademika Vol. 1 No. 1 Desember 2002, p. 7
[5] William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001) p. 26
[6] Soemitro Djojohadikusumo, “Aspek Ekonomi Dan Politik Seputar Masalah Ekologi dan Lingkungan Hidup,” dalam: M. T. Zen (Edit.), Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup ( Jakarta: Gramedia, 1980) p. 67
[7] Hendrikus H. Atasoge, “Menggumuli Sepak Terjang Animale Rationale dalam Arena Lingkungan Hidup,” dalam: Akademika, Op. Cit., pp. 50-51
[8] Soegono Soemargono (Penerj.), Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) pp. 75-76
[9] Ibid
[10] Ibid., pp. 263-264 
[11] Thomas Hidya Tjaya, Kosmos:Tanda Keagungan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2002) pp. 54-55
[12] Soegono Soemargono (Penerj.), Op. Cit. pp. 265-266. Demiurgos ( bahasa Yunani ) yang berarti “Pekerja”, seseorang yang menyerupai tukang kayu. Walaupun Demiurgos mampu menciptakan sesuatu, tetapi ia bukanlah pencipta seperti Tuhan yang diyakini oleh agama-agama samawi. Demiurgos menciptakan sesuatu dari unsur yang telah ada; sama seperti seorang tukang kayu yang membuat meja atau kursi dari kayu yang diambil dari hutan. Ia bukan pencipta yang mencipta dari ketiadaan. 
[13] Ibid
[14] Ibid p. 267
[15] Ibid
[16] Konferensi Waligereja IndonesiaIman Katolik  (Yogyakarta: Kanisius, 1996) p.150
[17] Dion Pare,”Dari Kesadaran Baru ke Spritualitas untuk Memelihara: Memahami Bumi dalam Teran Ciptaan” dalam Vox, Ibid., p. 76. Tulisan ini merupakan saduran bebas terhadap “Enveromental care: a pssoble way to Restore God’s Image to the Earth” karya Fr. Rob Clobus, SMA, seorang teolog dan ahli ekologi
[18] George Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia (Maumere:Ledalero, 2002)  pp. 10-11
[19] Surip Stanislaus, Harmoni Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 2008)  p. 16
[20] George Kirchberger, Ibid.
[21] Alfa dan omega merupakan huruf awal dan akhir dalam abjad Yunani. Allah sebagai alfa dan omega berarti bahwa Allah merupakan awal dan akhir kehidupan manusia. Dialah yang diimani sebagai pengada manusia dan juga Dialah pula yang akan memanggil manusia kepada kepenuhan hidup bersama-Nya
[22] William Chang, Op. Cit., p. 49
[23] Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 2. (Yogyakarta: Kanisius,2004) p. 43
[24] Dion Pare, Loc. Cit.
[25] William Chang, Op. Cit., p. 47
[26] Ibid., pp. 49-50
[27] Ibid., pp. 50-51
[28] Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1996)  p. 48
[29] William Chang, Op. Cit., pp. 51-52
[30] Thomas Hidya Tjaya, Op. Cit.,p. 86
[31] Bdk. Yohanes 3:16
[32] William Chang, Op. Cit., p.52
[33] Ibid., pp. 52-57
[34] Bdk. Kol 1:16-17
[35] Bdk. Kol 2:16-3:17
[36] Niko Syukur Dister, “Thomas, Scotus dan Ochkam: Menyelaraskan Iman dan Akal Budi” dalam F.X. Mudjisutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.),  Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992 )  p. 49
[37] William Chang, Op. Cit., pp. 57-58
[38] Bdk. Niko Syukur Dister, Op. Cit., pp. 49-54
[39] Ibid. Pantokrator ialah Dia yang mempertahankan, memimpin dan memerintah segala sesuatu, Sang Mahakuasa.
[40] William Chang, Op. Cit., 56
[41] Ibid.
[42] Ibid., p. 61
[43] Niko syukur Dister, Op. Cit.,p. 45
[44] Ibid., p. 46
[45] Bdk. Dion Pare, “Kampanye Menyelamatkan Bumi” dalam Vox, Op. Cit., p.7
[46]Opini, Pos Kupang, (Kupang), 16 Mei 2008, p. 14. Opini yang berjudul “Kosmosentris” ini ditulis oleh Fidel Harjo, staf televisi TBN Asia, tinggal di Manila. Pendekatan yang pincang terhadap lingkungan hidup ini menurutnya telah membuat alam rusak dan rakyat semakin sengsara. Pada gilirannya alam siap merusak manusia.
[47] William Chang, Op. Cit., p. 42
[48] Ibid.
[49]Chrispino H. Jebarus, Op. Cit., p. 8
[50] Bdk. Dion Pare, “Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan” dalam Vox, Op. Cit., pp. 47-48
[51] William Chang, Op. Cit., p. 77
[52] Bdk. Ibid. p. 28
[53] Bdk. Ibid., p. 80
[54] Bdk. Opini, Pos Kupang, Op. Cit., p. 14
[55] Ibid
[56] Bdk. Dion Pare, ”Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan” dalam Vox, Op. Cit. pp. 50-51
[57] William Chang, Op. Cit., pp. 81-82
[58] Bdk. Egis Rada Masri, ”Solidaritas Gereja dengan Alam”, dalam Musafir, Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001,  pp. 8-9
[59] Jhon M. Prior, “Kelembutan yang Membebaskan: Gereja Baru dalam Masyarakat Baru pada Awal Milenium Baru” dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu (edit.), Gereja Milenium Baru (Maumere: Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, 2000) p. 45
REFERENSI

A.    ALKITAB 

B. BUKU – BUKU
Buntaran, Freddy. Saudari Bumi Saudara Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001
Dister, Niko Syukur. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius,2004
Huijbers,Th. Manusia Mencari Allah. Yogyakarta: Kanisius, 1982
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Kirchberger,George. Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia. Maumere: Ledalero, 2002
Soemargono, Soegono (Penerj.), Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Surip, Stanislaus. Harmoni Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 2008
Tjaya,Thomas Hidya. Kosmos: Tanda Keagungan Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2002

C. MAJALAH, ARTIKEL, SURAT KHABAR DAN MANUSKRIP
Atasoge, Hendrikus H. “Menggumuli Sepak Terjang Animale Rationale dalam Arena Lingkungan Hidup,” dalam: Akademika, Vol. 1 No. 1 Desember 2002
Dister, Niko Syukur “Thomas, Scotus dan Ochkam: Menyelaraskan Iman dan Akal Budi” dalam F.X. Mudjisutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.),  Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius,1992
Jebarus, Chrispino Hermanto. “Etika Ekologi” dalam Akademika Vol. 1 No. 1 Desember 2002
Jhon M. Prior, “Kelembutan yang Membebaskan: Gereja Baru dalam Masyarakat Baru pada Awal Milenium Baru” dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu (edit.), Gereja Milenium Baru. Maumere: Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, 2000
Masri, Egis Rada. ”Solidaritas Gereja dengan Alam”, dalam Musafir, Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001
Opini, Pos Kupang, (Kupang), 16 Mei 2008
Pare, Dion “Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan Hidup” dalam Vox seri 37/3-4, Maumere:STFK Ledalero, 1992
                 .”Dari Kesadaran Baru ke Spritualitas untuk Memelihara: Memahami Bumi dalam Teran Ciptaan” dalam Vox seri 37/3-4. Maumere: STFK Ledalero, 1992
                 . “Kampanye Menyelamatkan Bumi” dalam Vox seri 37/3-4. Maumere: STFK Ledalero, 1992
Soemitro, Djojohadikusumo, “Aspek Ekonomi Dan Politik Seputar Masalah Ekologi dan Lingkungan Hidup,” dalam: M. T. Zen (Edit.), Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup Jakarta: Gramedia, 1980