Tampilkan postingan dengan label Kuliah Filsafat Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah Filsafat Ilmu. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Juni 2012

Dasar-Dasar Filsafat


DASAR-DASAR PENGETAHUAN
(Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu)




OLEH:
Alfonsus Sam (Nomor Registrasi  : 7816110450)




PROGRAM STUDI                : PEP

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2011

I.                   Pengantar
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.[1] Disadari atau tidak, setiap manusia normal selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal selalu bertanya dan mencari jawaban tentang  segala sesuatu yaitu Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Menurut Aristoteles (384-322) dari kodratnya semua manusia  memiliki hasrat ingin tahu. Dalam diri manusia ada dorongan  untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang  kenyataan  yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi yang haus akan pengetahuan baru (an inquistive mind), yang  terbuka  untuk menyelidiki segala kejadian dan gejala.[2]
Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan dia untuk berpikir logis, bernalar, dan merefleksikan keberadaannya. Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan. Seekor  hewan, misalnya tidak memiliki kesadaran diri, dia tidak sadar bahwa ia tahu, tidak tahu bahwa ia menginginkan sesuatu. Manusia sebaliknya, tidak hanya menangkap peristiwa-peristiwa  khusus yang  terjadi dengan indera-indera seperti makhluk-makhluk lain. Dengan akal budinya dia mampu membentuk pengertian-pengertian dan merumuskan putusan-putusan logis. Dia tidak hanya puas mengenal fakta-fakta, tetapi juga ingin mengetahui ”alasan, sebab” dari fakta-fakta itu.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal budi menyata dalam dua bentuk utama. Yang satu bersifat  rasional atau logis, yang bekerja dengan konsep-konsep umum. Bentuk ini bersifat  spekulatif, abstrak dan refleksif.  Aristoteles menjelaskan  manusia  sebagai makhluk berakal budi (animal rationale). Tetapi ada bentuk lain yang juga  penting, yaitu pengetahuan  yang bersifat intuitif dan berdasarkan wahyu yang bekerja  dengan  gambar-gambar, simbol-simbol, mitos-mitos dan perbandingan (kiasan). Kedua bentuk ini tentunya mesti dipahami dalam satu kesatuan corak berpikir manusia sebagai makhluk berakal budi.
Makalah ini diberi judul “Dasar-Dasar Pengetahuan” yang di dalamnya akan diuraikan mengenai dasar-dasar pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan dan usaha untuk mencari kebenaran. Tentu semua pembahasan tersebut tetap berkutat pada topik mengenai filsafat ilmu yang merupakan salah satu cabang dari filsafat. Adapun pertanyaan yang akan dicarikan jawabnya melalui makalah ini ialah: pertama, apa yang menjadi dasar-dasar pengetahuan? kedua, manakah yang merupakan sumber-sumber utama dari pengetahuan? ketiga, apa yang menjadi kriteria untuk menentukan suatu kebenaran?

II.       Pengertian Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
1.        Pengetahuan (knowledge)
Secara etimologi pengetahuan yang dalam bahasa Inggris yaitu knowledge didefinisi sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).[3] Secara terminologi, menurut Drs. Sidi Gazaliba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu.[4] Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Jadi semua pengetahuan itu adalah milik dari isi pikiran.  Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Loren Bagus dalam kamus filsafatnya menjelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.[5] Pada peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri yang sedemikian aktif, sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui itu pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
Dari berbagai aspek dan sudut pandang  lainnya, ada juga yang mengatakan bahwa:[6]
a.              Pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka pastilah dalam kehidupan manusia terdapat pengetahuan dan kebenaran.
b.             Keahlian dan keterampilan-keterampilan yang diperoleh oleh seseorang melalui pengalaman atau   pendidikan; pemahaman praktis atau teoritis tentang suatu hal.
c.              Apa yang dikenal di dalam bidang tertentu atau secara keseluruhan, baik fakta-fakta dan / atau informasinya.
d.             Kesadaran atau keakraban yang diperoleh oleh pengalaman dari suatu fakta atau situasi.
Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan  bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. Suatu hal yang menjadi pengetahuan selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahui. Oleh karena itu pengetahuan menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya.

2.        Ilmu  (Science)[7]
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta” mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji.
Dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme-positivisme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika.
The Liang Gie[8] memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman rasional empris mengenai dunia dalam berbagai segi, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai kegiatan yang tidak dimengerti oleh manusia.

ilmu
 


Ilmu harus diusahakan dengan menggunakan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Ilmu sebagai aktivitas ilmiah yang dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (search). Oleh karena itu penelitian dilakukan berberapa kali  sehingga dapat menemukan pengetahuan baru.

Jadi perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu, sedangkan ilmu (science) merupakan pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.

3.        Ilmu  Pengetahuan
Menurut Bahm[9] definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam komponen yaitu, masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh.
a.         Masalah (problem)
Tiga karakteristik yang dimiliki oleh masalah yaitu communicability (masalah adalah sesuatu yang dikomunikasikan), the scientific attitude (memenuhi karakteristik curiosity, specullativeness, willingness to be objective, willingness to suspend judgement dan tentavity), the scientific method (masalah harus dapat diuji).
b.        Sikap (attitude)
Karakteristik yang harus dipenuhi yaitu:
1)        Curiosity, adanya rasa ingin yahu bagaimana sesuatu itu ada, bagaimana sifatnya, fungsinya dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan sesuatu yang lain
2)        Speculativeness, scientist harus mempunyai usaha dan hasrat untuk mencoba memecahkan masalah melalui hipotesi-hipotesis yang diusulkan
3)        Willingness to be objective, hasrat dan usaha untuk bersikap dan bertindak objective merupakan hal yang penting bagi seorang scientist
4)        Willingnees to suspend judgement, seorang scientist dituntut untuk bertindak sabar dalam melakukan observasi  dan bersikap biaksana dalam menentukan keputusan berdasarkan bukti yang dikumpulkan karena yang ditemukan masih   tentatif
c.         Metode (method)
Esensi sebuah science terdapat pada metodenya, science sebagai teori merupakan sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode scientific, para science tidak selalu memiliki ide yang pasti yang dapat ditunjukan sebagai sesuatu yang absolute dan mutlak
d.        Aktivitas (activity)
Science adalah suatu lahan yang dilakukan oleh para scientist melalui scientific research yang terdiri dari aspek individual dan sosial. Dari aspek individual, scince adalah aktivitas yang dilakukan oleh seseorang sedangkan dari aspek social scientist menyuarakan kelompok orang-orang ‘elite’dan science merupakan a never ending journey.
e.         Kesimpulan (conclusion)
Kesimpulan merupakan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan dari science, yang diakhiri dengan pembenaran sikap, metode dan aktivitas.
f.         Beberapa pengaruh (effect)
Pengaruh yang ditimbulkan ada dua yaitu applied science yaitu pengaruh ilmu terhadap ekologi dan kedua pengaruh ilmu terhadap masyarakat serta membudayakannya menjadi berbagi macam nilai.

4.        Ciri-ciri Ilmu  Pengetahuan
Menurut  Liang Gie ilmu pengetahuan memiliki 5 ciri pokok[10], yaitu:
a.       Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
b.      Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu memiliki hubungan ketergantungan dan teratur.
c.       Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.
d.      Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok persoalan ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagi hubungan dan peranan dari bagian-bagian itu
e.       Verfikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.

5.         Jenis-jenis  Pengetahuan
Burhanuddin Salam mengklasifikasikan bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok,[11] yaitu:
a.       Pengetahuan biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa pengetahuan ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatu karena menerima secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karena memang merah, orang menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan seterusnya.
b.      Pengetahuan Ilmu (science) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif, seperti ilmu alam dan sebagainya.
c.       Pengetahuan Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
d.      Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
Pengetahuan juga dapat dibagi  atas pengetahuan ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah[12]:
a.    Pengetahuan non ilmiah
Pengetahuan non ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan yang meskipun dalam babak terkhir direncanakan untuk diolah lebih lanjut  menjadi pengetahuan ilmiah yang biasa disebut pengetahuan pra ilmiah. Seringkali di dalamnya juga termasuk hasil-hasil pemahaman yang merupakan campuran dari hasil penyerapan secara indrawi dan hasil pemikiran secara akali.
b.    Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan jenis ini umumnya disebut ilmu pengetahuan.

III.   Dasar- dasar Pengetahuan[13]
1.      Pengalaman
Pengalaman adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia dalam interaksinya dengan alam, lingkungan dan kenyataanPengalaman terbagi menjadi dua (2) yakni:
a.       Pengalaman primer
Yaitu pengalaman langsung akan tersentuh indrawi dengan benda konkrit di luar manusia dan peristiwa itu disaksikan sendiri
b.      Pengalaman sekunder
Pengalaman tidak langsung yang merupakan relaktif mengenai pengalaman primer

Pengalaman manusia memiliki ciri yang khas. Ada  3 ciri pokok pengalaman manusia, yakni
a.       Pengalaman manusia beranekaragam
b.      Pengalaman berkaitan dengan objek-objek tertentu di luar diri manusia
c.       Pengalaman manusia akan selalu bertambah sesuai dengan pertambahan kedewasaan, kesempatan dan usia.
2.      Ingatan
Ingatan merupakan  kelanjutan dari pengalaman. Tanpa ingatan, pengalaman indrawi tidak akan bertumbuh  menjadi pengetahuan. Ingatan mengandalkan pengalaman indrawi sebagai sandaran ataupun rujukan. Kita hanya dapat mengingat apa yang sebelumnya telah kita alami. Kendati ingatan sering kabur dan tidak tepat, namun kita dalam kehidupan sehari-hari selalu mendasarkan pengetahuan kita pada ingatan baik secara teoritis dan praktis. Tanpa ingatan, kegiatan penalaran kita menjadi mustahil. Karena untuk bernalar dan menarik kesimpulan dalam premis-premisnya kita menggunakan nalar.
Ingatan tidak selalu benar dan karenanya tidak selalu merupakan bentuk pengetahuan. Agar ingatan dapat dijadikan rujukan dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya bagi pengetahuan, setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi yakni kesaksian dan konsisten
3.      Kesaksian
“Kesaksian” dimaksudkan untuk penegasan sesuatu sebagai benar oleh seorang saksi kejadian atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. “Percaya” dimaksudkan untuk menerima sesuatu sebagai benar yang didasarkan pada keyakinan dan kewenangan atau jaminan otoritas orang yang memberi kesaksian.
Dalam mempercayai suatu kesaksian, kita tidak memiliki cukup bukti intrinsik untuk kebenarannya. Yang kita miliki hanyalah bukti ekstrinsik. Menurut Descartes, beberapa pemikir menolak kesaksian sebagai salah satu dasar dan sumber pengetahuan karena kesaksian bisa keliru dan bersifat menipu. Walaupun demikian, ada beberapa pengetahuan yang kebenarannya dirujukkan kepada kesaksian seperti sejarah, hukum, dan agama secara metodologis


4.      Minat dan Rasa Ingin Tahu
Tidak semua pengalaman dapat dijadikan pengetahuan atau tidak semua pengalaman berkembang menjadi pengetahuan. Untuk berkembang menjadi pengetahuan subjek yang mengalami harus memiliki minat dan rasa ingin tahu. Minat mengarahkan perhatian ke hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Ini berarti bahwa dalam kegiatan mengetahui terdapat unsur penilaian. Orang akan memperhatikan dan mengetahui apa apa yang ia anggap bernilai. Dan rasa ingin tahu mendorong untuk bertanya dan menyelidiki apa yang dialaminya dan menarik minatnya. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Rasa ingin tahu terkait erat dengan pengalaman mengagumkan dan mengesankan dengan keheranan yang dialami. Mengajukan pertanyaan yang tepat mengandaikan bahwa orang tahu di mana ia tahu dan di mana ia tidak tahu. Maka, mengajukan pertanyaan yang tepat adalah langkah pertama untuk memperoleh jawaban yang tepat.

5.      Pikiran dan Penalaran
Kegiatan pokok pikiran dalam mencari kebenaran dalam pengetahuan adalah penalaran. Bagi seorang guru, nalar adalah latihan intelektual untuk meningkatkan akal budi anak didik. Nalar dalam kehidupan kita sehari-hari selalu diartikan rasionalitas. Nicholas Rescher mengatakan, “Bersikap rasional berarti menggunakan kecerdasan untuk menentukan tindakan terbaik dalam suatu keadaan.” Ini definisi kasar, tapi berguna sebagai landasan untuk membangun suatu argument
Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan dari hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Setidaknya ada dua metode dalam proses penalaran. Pertama, induksi yakni penalaran yang menarik simpulan umum (universal) dari kasus-kasus tertentu (partikular). Kedua, deduksi yakni penalaran untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang kemungkinan pernyataannya masih perlu untuk diuji coba.

6.      Logika
Dalam logika, ada tiga rumus yang menjadi dasar-dasar pengetahuan. Pertama, silogisme kategoris yakni silogisme yang terdiri dari proposisi-proposisi yang bersifat kategoris, yaitu proposisi yang berbentuk S itu P atau S itu bukan P.
Contoh: Semua manusia dapat mati
Ken Arok adalah manusia
Ken Arok dapat mati
Contoh di atas adalah silogisme kategoris yang bersifat yang bersifat positif. Tapi silogisme kategoris juga bisa bersifat negatif. Maka, secara umum ada empat silogisme kategoris sejajar dengan empat jenis proposisi kategoris.
Afirmatif universal (A)           : Semua manusia dapat mati
Negatif universal (B)              : Semua manusia tidak dapat hidup terus
Afirmatif universal (I)             : Beberapa orang dapat berenang
Negatif partikular (O) : Beberapa orang tidak dapat berenang
Kedua, silogisme hipotetis yakni silogisme dalam proposisi bersyarat.
(1)   Modus ponen:  kalau p – tetapi p
Maka q
(2)   Modus tolens: kalau p – q
Tetapi q
Maka q
Bentuk-bentuk silogisme hipotetis lain tidak sahih.
Dan ketiga, silogisme disjungtif adalah silogisme yang sahih hanya dalam salah satu kemungkinan yang menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain.
Contoh:           Atau p, atau q, atau r
Tapi bukan p dan bukan r
Maka r
7.      Bahasa
Di samping logika penalaran juga mengandaikan bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak dapat mengungkapkan pengetahuannya. Dalam eksperimen antara bayi dan anak kera yang lahir secara bersama waktunya, pada awalnya keduanya berkembang hampir sejajar. Tapi seorang anak mulai bisa berbahasa, daya nalarnya menjadi amat berekembang dan pengetahuan tentang diri sendiri serta lingkungannya menjadi jauh melampaui kera seusianya.

8.      Kebutuhan Hidup Manusia
Dalam interaksinya dengan dunia dan lingkungannya manusia membutuhkan pengetahuan. Maka, kebutuhan manusia juga dapat mendasari dan mendorong manusia untuk mengembangkan pengetahuannya. Berbeda dengan binatang, manusia memperoleh pengetahuan tidak hanya didasarkan pada instingtif tapi juga kreatif. Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan alat, memiliki strategi, dan kebijaksanaan dalam bertindak.
Walaupun kebutuhan manusia yang mendasari pengetahuan termasuk ke dalam dimensi pragmatis pengetahuan tapi juga terdorong oleh rasa keingintahuan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

IV.   Sumber Pengetahuan[14]
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
1.      Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah copy dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
2.      Idealisme
Idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui atau (subjek).

Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan:
1.      Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.
Dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material.
Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan indra yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.
2.      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata yang bersifat universal. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda kongkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang benda tertentu. Kaum rasionalis yakin bahwa kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3.      Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah dan tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai disitu. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa juga, intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak tergantung waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutnya. Namun intuisi ini bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa diandalkan.
4.      Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan oleh nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supernatural). Kepercayaan kepada tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama.
5.   Penalaran dan logika
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dan pengamatan  indera  (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi –proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Ada dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif:
a.       Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan di fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
b.      Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status social.
                       

V.      Cara Penemuan Kebenaran
1.      Kriteria Kebenaran[15]
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dari bidang pengetahuan.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia ditemukan arti kebenaran, yaitu: 1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya); 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); 3. kejujuran, ketulusan hati; 4. Selalu izin, perkenanan; 5. Jalan kebetulan.[16]

2.      Jenis-jenis kebenaran[17]
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu:
a. Kebenaran Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
b. Kebenaran Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
c. Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
          Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia
b.    Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan di samping melalui indara, diolah pula dengan rasio
c.    Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
d.   Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
3.   Teori kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles hingga saat ini, dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran atau tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara memperoleh pengetahuan.
Berikut secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:[18]
a.              Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
b.             Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)
c.              Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth)
d.             Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
e.              Teori Kebenaran Sintaksis
f.              Teori Kebenaran Nondeskripsi
g.             Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)
            Dari sekian banyak teori kebenaran, teori kebenaran yang saat ini dikenal dirangkum dalam tiga teori yakni teori kebenaran Berhubungan (Coherence Theory of Truth), Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth), dan Teori Kebenaran Pragmatis (Pragmatism Theory of Truth)[19]


4.    Sifat Kebenaran Ilmiah[20]
Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu:
a.    Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu berupa:
1)        Pengetahuan biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
2)        Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan mutakhir.
3)        Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
4)        Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
b.        Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.
c.         Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.

VI.   Penutup
                 Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu. Dengan perkataan lain pengetahuan merupakan proses dan hasil dari usaha manusia untuk mengetahui sesuatu. Dalam artian ini, dapat dikatakan juga bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu, sedangkan ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.
                 Adapun yang menjadi dasar dari pengetahuan meliputi pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, kebutuhan hidup manusia.
                 Dalam usaha mencari dan menemukan pengetahuannya, sebagai makhluk berakal budi, manusia tentu tidak hanya mengandalkan penalaran akal budinya (teori realisme), tetapi juga pengalaman (teori empirisme), intuisi dan wahyu. Keempat hal inilah yang menjadi sumber dari pengetahuan manusiawi.
                 Topik pembicaraan mengenai berpikir merupakan aktus yang hanya dilakukan oleh manusia. Hal ini disebabkan karena manusia merupakan makluk berakal budi yang memiliki aneka kemampuan, yang diantaranya memiliki kemampuan bernalar. Dengan adanya daya nalar, manusia merupakan satu-satunya makluk yang dapat mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Ada dua hal yang menjadi alasan manusia mengembangkan pengetahuan. Pertama, manusia mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, manusia memiliki kemampuan berpikir menurut kerangka berpikir tertentu ( logis dan analitis).
                 Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dari bidang pengetahuan.
                 Menurut telaah dalam filsafat ilmu, Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu: Kebenaran Epistemologikal, Kebenaran Ontologikal, dan Kebenaran Semantikal. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi : tingkatan kebenaran indera, tingkatan ilmiah, tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, dan tingkatan religius.
                 Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal. Pertama, Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu berupa: pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama. Kedua, Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Ketiga, Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan.
    
            Bertitik tolak dari aneka pandangan dan sifat dari kebenaran, maka dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang kebenaran, diantaranya tiga yang utama, yakni: Pertama, teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth), disebut juga teori korespondensi; teori kebenaran sebagai peneguhan (the coherence theory of truth), atau disebut juga sebagai teori koherensi; dan ketiga, teori pragmatis (the pragmatis theory of truth).

REFERENSI

Akifahadi, Labib Syauqi. Dasar-dasar Pengetahuan Dan Kriteria Kebenaran.  Sumber dari http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/dasar-dasar-pengetahuan-dan-kriteria.html [diakses di Jakarta, 30 september 2011]

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Kattsoff, O. Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007

Leenhouwers,P. Manusia dan Lingkungannya. Jakarta: Gramedia, 1988

Lubis, Akhyar Y. dan Donny G. Adian, Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan, Depok: Koekoesan, 2011

Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2010

Suriasumantri,  Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
           



                [1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007, hal. 19
                [2] P. Leenhouwers, Manusia dan Lingkungannya, Gramedia, Jakarta, 1988), hal-4-6.
                [3] Paul Edwards, The Encyclopedia of Phylosophy, New York: Macmillan Publishing, 1972, vol 3 sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Rja Grafindo Persada, 2011, hal. 85             
                [4] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal.4
                [5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hal. 803
                [7] Pembahasan mengenai ilmu ini, diringkas pemakalah dari Amsal Bakhtiar, Op. Cit., hal. 89
                [8] Surajiyo, Flsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hal. 56
                [9] Ibid., hal. 57-58
                [10] Ibid., hal. 59
                [11] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hal. 6
                [12] Akhyar Y. Lubis dan Donny G. Adian, Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan, Depok: Koekoesan, 2011, hal. 21-23
                [13] Pembahasan dalam topik dasar-dasar pengetahuan ini, diringkas pemakalah dari http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/dasar-dasar-pengetahuan-dan-kriteria.html, diakses di Jakarta, 30 september 2011]. Bdk. juga Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2010


                [14] Sumber-sumber pengetahuan yang diulas di sini merupakan ringkasan yang dibuat pemakalah dari Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit., hal. 50-54
                [15] Amsal Baktiar, Op.Cit., Hal.111
                [16] Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
                [17] Surajiyo, Op. Cit. hal. 102
                [18] Bdk. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007. Hal. 176-184; Bdk. juga Surajiyo, Op. Cit., hal. 104-107
                [19] Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit., hal. 55-57
                [20] Surajiyo, Op. Cit., hal. 103-104