Sabtu, 08 September 2012

BERSAMA DALAM SEGALANYA: BUDAYA YANG MEMPERSATUKAN (Catatan Reflektif tentang Filosofi Hidup dan Lambang Budaya Masyarakat Kampung Naga)


A.    Catatan Pembuka
            Tertegun seolah tak percaya, melihat situasi kehidupan Masyarakat Kampung Naga yang menganut pola tradisional di tengah modernisasi zaman. Itulah secuil kesan pertama apabila seseorang dihadapkan dengan situasi hidup dan keberadaan masyarakat di Kampung Naga. Perkembangan teknologi dan kemajuan yang serba modern dan syarat dengan permisifitas global rupanya tidak mempan berhadapan dengan corak hidup, pola pikir, dan folosofi hidup orang Kampung Naga.
            Perkampungan tradisional yang Secara administratif kepemerintahan berada di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya ini merupakan perkampungan adat yang masih tetap memegang teguh adat istiadat leluhur, meskipun berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang modern,  dalam kehidupannya mereka masih tetap menjalankan kehidupan tempo dulu. Masyarakatnya hidup dalam kesahajaan dan kebersamaan penuh dalam segala bidang kehidupan.
            Studi kualitatif sehari yang dilaksanakan di Kampung Naga menjadikan saya mengamini ketegunan saya terhadap realita tradisionalisme yang dianut penuh di tengah modernitas zaman. Pola perkampungan, pola hidup, dan kepatuhan pada tradisi membuat kampung ini menjadi kampung yang unik bila dibandingkan dengan perkampungan lainnya. Semuanya itu membawa saya kepada permenungan yang mendalam tentang pentingnya kembali kepada budaya asli. Membangun kebersamaan dalam segala lingkup kehidupan dengan memaknai simbol-simbol budaya dan warisan tradisi nenek moyang.
            Dalam refleksi sederhana ini, saya mencoba mengulas indahnya kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kampung Naga. Khusunya dalam kepatuhan mereka terhadap pemimpin dan kesahajaan hidup bersama yang berpatok pada tradisi dan filosofi hidup warisan nenek moyang kampung Naga.

           



B.     Filosofi Hidup Masyarakat Kampung Naga
            Setiap masyarakat tentu memiliki filosofi hidup yang khas. Bahkan itu menjadi penanda yang membuat mereka berbeda dengan masyarakat yang lainnya. Tentang hal ini, masyarakat kampung Naga pun memiliki filosofi hidup yang khas dan terus terlestarikan.
            Ketika tatap muka dengan pak Kuncen, pemimpin di Kampung Naga, saya terkesan dengan ungkapan yang beliau selalu katakan sebagai dasar dari suatu pentingnya menjaga kelestarian budaya yakni “rusak budayanya, rusak bangsanya”. Secara pribadi, saya berpikir bahwa ungkapan ini sangat filosofis, dalam arti memiliki makna yang dalam bagi corak pikir, corak hidup dan pola laku suatu masyarakat. Budaya sebagai suatu pedoman, panduan hidup, tuntunan hidup, demikian kata Kuncen harus terus menerus diwariskan dan dijaga kelestarian. Ini secara praksis nyata dalam pewarisan tradisi yang selalu lestari dari satu turunan ke turunan yang lain. Tradisi tersebut berkenaan dengan tradisi lisan, karena tidak satu pun tradisi tertulis yang diwariskan dari nenek moyang kampung Naga.
            Tradisi-tradisi itu seperti acara-acara adat, ibadat, pedoman pembuatan rumah dan tata letak kampung, penghormatan terhadap tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat dan penghormatan terhadap para leluhur, budaya pemali. Semuanya tidak tertulis dalam semacam buku pusaka atau dokumen tertulis, tetapi masyarakat tetap menjaga kelestariannya. Semuanya diwariskan secara utuh dari angkatan yang satu ke angkatan selanjutnya. Semuanya tidak dibiarkan rusak oleh praktik hidup modern dan pengaruh globalisasi. Sungguh masyarakat adat kampung naga tidak mau buadayanya hancur, karena kehancuran budaya juga berarti kehancuran hidup suatu bangsa. Itulah sebabnya, mereka tetap melestarikan corak hidup mereka yang sangat tradisional, tanpa merasa diri sebagai orang tradisonal yang kolot.
            Setiap orang pasti akan kaget, karena ketika ditanya soal sejarah terbentuknya kampung Naga, tidak ada satu pun anggota masyarakat kampung naga yang akan menceritakannya. Mereka hanya katakan saja bahwa itu adalah pemali untuk dikisahkan. Mereka hanya mengatakan bahwa Kampung Naga, saat pertama dibangun bersama oleh nenek moyang mereka yang dipimpin oleh Sembah Eyang Singaparna. Eyang Singaparna mewujudkan petunjuk yang ada dalam mimpinya untuk membangun perkampungan seperti yang ada sekarang ini. Tentang sejarah rinci bagaimana kampung itu dibangun, siapa-siapa yang membangun, tahun berapa itu dibangun, dan untuk apa kampung itu dibangun, tidak diketahui secara pasti dan lagi-lagi, itu pemali bagi mereka untuk dikisahkan. Sungguh suatu bentuk kearifan lokal yang dijaga kelestariannya. Bagi mereka tidak penting untuk orang mengetahui secara rinci tentang sejarah, tetapi yang paling penting adalah bahwa mereka mewujudkan sejarah dalam hidup harian dengan berpatokkan pada tradisi warisan nenek moyang.
            Pada kesempatan lain, saya tertegun merenungkan ucapan Punduh Kampung, Ki Ma’un yang menggambarkan tentang kepatuhan dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat di Kampung Naga. Beliau mengatakan bahwa ada prinsip hidup yang mewarnai kehidupan masyarakat Kampung Naga untuk selalu bersama dalam segalanya. Prinsip itu ialah: Lakukan kalau diperintah, Berikan kalau diminta!
            Prinsip hidup bernada perintah ini rupanya menjadi semacam imperatif filosofis bagi masyarakat kampung Naga. Hidup dalam kebersamaan, saling patuh dan saling berbagi. Menikmati secara bersama hasil jerih lelah bersama. Hal ini menjadikan masyarakat kampung naga selalu menganut pola hidup sederhana dalam kebersamaan. Mungkin lebih tepat boleh dikatakan bahwa yang memiliki banyak tidak berkelimpahan, dan yang memiliki sedikit, tidak berkekurangan. Seseorang memberi bukan karena berkelimpahan, dan yang lain menerima bukan karena berkekurangan.
            Sistem organisasi kampung yang sangat absolut mengedepankan prinsip ini. Kekuasaan seorang pak Kuncen ialah kekuasaan penuh, walaupun dalam pelaksanaanya beliau selalu berkonsultasi dengan punduh adat dan punduh dusun yang berperan sebagai penasihat. Pak Kuncen merupakan pemimpin tertinggi yang berkuasa untuk memutuskan segala persoalan hidup dan segala sesuatu yang terjadi di Kampung Naga.
            Meskipun memiliki pemimpin dalam kampung, masyarakat kampung Naga tidak serta merta menolak aturan kepemerintahan. Mereka sangat patuh terhadap pemimpin pemerintahan, sejauh itu tidak bertentangan dengan tradisi dan aturan adat warisan nenek moyang di Kampung Naga. Dari cerita pak Kuncen, punduh, dan masyarakat, diketahui bahwa telah banyak usaha dari pemerintah agar fasilitas di Kampung Naga seperti listrik, jalan raya, dan sarana modern lainnya dibangun dengan nuansa modern, namun masyarakat menolaknya. Mereka lebih memilih hidup sederhana seperti nenek moyang mereka dahulu kala. Menurut mereka, masyarakat kampung Naga bukanlah objek yang harus diperhatikan secara khusus oleh pemerintah. Mereka masih sama seperti masyarakat lainnya.
            Situasi hidup dan keberadaan masyarakat Kampung Naga yang sederhana dan tradisional ini tidaklah menjadikan pola pikir mereka selalu terbelakang. Mereka juga memiliki corak pikir yang sangat modern seperti masyarakat di kampung lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan perekonomian masyarakat. Bercocok tanam, walaupun masih menggunakan sarana tradisional, seperti sekop, cangkul, tanpa traktor, mesin rontok padi,dan lain-lain, tetapi mereka memiliki corak bertani yang amat modern. Demikianpun dalam usaha perikanan air tawar, walaupun sederhana, tetapi hasilnya cukup memuaskan. Selain itu juga ada kerajinan rakyat, berupa tas, sandal, kalung, gelang, dan lain-lain merupakan hasil karya sendiri yang sudah sangat modern bentuknya, walaupun dikerjakan dengan cara yang tradisional, tanpa bantuan mesin/alat modern.
            Untuk mempertahankan perekonomian bersama, kampung Naga juga memiliki koperasi. Koperasi itu ialah koperasi bersama yang hasilnya dinikmati semua orang dalam kampung Naga.

C.    Kampung Naga, Simbol penuh Makna demi Kebersamaan yang Lestari
            Seperti yang diketahui bahwa sejarah kampung Naga secara rinci tidaklah menjadi perhatian utama masyarakat kampung Naga. Bagi mereka menceritakan sejarah itu adalah pemali, yang lebih penting ialah memaknai sejarah dalam praksis hidup.
            Bagi orang yang berasal dari luar kampung Naga, tidak akan dikisahkan tentang sejarah terbentuknya kampung Naga dan bagaimana perkembangannya dari era ke era. Untuk itu, sangat menarik bila orang yang berasal dari luar kampung Naga mempelajari dan memaknai simbol-simbol budaya yang ada dalam kampung Naga. Saya secara pribadi sangat tertarik dengan hal ini. Menurut saya, Kampung Naga itu kaya simbol, dan bahkan Kampung Naga itu sendiri adalah sebuah Simbol budaya yang kaya makna. Hal ini dapat jelas terlihat dari model tata ruang wilayahnya, bentuk bangunan rumahnya, dan bahan bangunan rumahnya yang semuanya sama, original, dan tertata rapi dalam kesederhanaan. Rumah yang berbentuk panggung sangat dekat dengan kosmologi ruang kehidupan manusia, bawah-tengah-atas yang mengisahkan tentang buruk-netral-baik. Hal ini juga sama dengan tata letak kampung. Timur-Tengah-Barat. Bagian timur dihuni oleh para dedemit dan roh jahat yang mengganggu manusia, Bagian tengah adalah perkampungan dan bagian barat ialah tempat keramat, Bumi Ageung, hutan lindung, dan makam Sembah Eyang Singaparna. Tentang tata letak ini, Semuanya terlihat terarah kepada pusat perampungan yakni Masjid dan Bumi Ageung. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kampung Naga selalu memusatkan hidupnya pada kuasa yang ilahi dan para leluhur mereka. Agama dan budaya berjalan bersama dan diterapkan secara seimbang dalam kehidupan mereka. Letak masjid yang berdampingan dengan Bumi Ageung menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara budaya, tradisi dengan agama dan kepercayaan masyarakat kepada yang transendens. Sungguh kosmologi masyarakat Kampung Naga merupakan suatu kosmologi teologis yang komprehensif, dalam arti bahwa kosmos merupakan satu kesatuan ruang bagi Tuhan, leluhur, manusia, dan alam yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bila manusia tidak bersahabat dengan lingkungan hidup (alam) itu sama artinya manusia memutuskan rantai persatuannya dengan Yang Transendens (Tuhan) dan leluhur. Oleh karena itu, masyarakat kampung Naga sangat menghormati alam. Pengrusakkan terhadap alam akan menimbulkan malapetaka bagi manusia, dan itu harus dibuat acara adat untuk mengembalikkan hubungan itu agar tidak terjadi bencana alam.
            Selain tata letak yang menegaskan kosmologi masyarakat kampung Naga, bentuk rumah yang diwakili oleh Bumi Ageung merupakan suatu simbol budaya yang syarat makna. Bentuk segi empat, rumah berpintu satu, searah, bahan dasar yang diambil dari alam, tanpa balutan teknologi modern, atap yang berbentuk segitiga, bentuk rumah panggung, adanya penanda mata angin yang ditaruh di depan pintu, merupakan lambang-lambang yang penuh makna. Sebagai suatu tempat sakral, bumi ageung tidak boleh dimasuki oleh orang lain, selain pak Kuncen, Punduh, dan seorang pemasak yang dipilih Kuncen untuk memasak baginya saat acara adat. Ini menunjukkan penghormatan mereka kepada Eyang Singaparna, leluhur mereka yang diyakini raib dari bumi namun tetap hidup bersama keturunannya sampai kapanpun. Mereka merasa tidak layak menginjakkan kakinya di rumah leluhurnya itu.
            Rumah-rumah penduduk di kampung Naga juga dibuat seperti Bumi ageung. Ukuran, bentuk, bahan dasarnya harus sama untuk setiap rumah. Tidak boleh ada rumah tertentu yang dibuat modern. Semuanya dijaga kelestariannya secara bersama-sama. Model rumah yang sama ini tidaklah sekedar simbol yang tak memiliki makna, tetapi menunjukkan kebersamaan penuh dari seluruh masyarakat kampung naga. Ini secara ekspisit khusus dilambangkan dengan bentuk sudut atap rumah yang dilengkapi dengan dua kayu silang yang membentuk seperti huruf V. Oleh masyarakat ini diterjemahkan sebagai Victori (kemengan). Kemenangan itu adalah kemenangan dalam kebersamaan.
                       



D.    Catatan Akhir
            Merefleksikan tentang situasi hidup, tata letak kampung, dan keberadaan masyarakat kampung Naga sungguh merupakan suatu refleksi penuh makna yang tidak akan berakhir. Saya berpikir itu merupakan suatu pencarian tak berujung. Ini tidaklah disebabkan oleh kendala budaya pemali yang menjadi tradisi masyarakat kampung naga, tetapi lebih karena rasa kagum saya pribadi terhadap situasi hidup masyarakat kampung naga yang sungguh tradisional dalam era modern. Mereka hidup di era modern dengan aneka pengaruh modern yang sangat instan tetapi masih berpegang teguh kepada tradisi warisan nenek moyang. 
            Decak kagum dan heran yang saya rasakan itu selalu menghantui pikiran saya, manakala mengingat tentang KEBERSAMAAN dalam konteks kampung Naga. Kebersamaan itu tidak hanya tampak dalam simbol tetapi menjadi nyata dalam praksis hidup. Mereka mampu membendung gaya hidup modern dengan filosofi hidupnya yang telah mentradisi. Tradisi itu mereka tetap jaga dalam kebersamaan. Bagi mereka sesuatu akan menjadi lestari bila itu disepakati dan dipatuhi bersama.
            Belajar dari pola kebersamaan dan pemaknaan simbol budaya kampung Naga, saya terus berkutat dalam refleksi saya tentang situasi yang lebih luas dari sekadar Masyarakat kampung Naga. Mungkinkah masyarakat kampung lain di Indonesia bisa seperti kampung Naga mampu mewarisi secara penuh tradisi budaya nenek moyang kepada generasi penerusnya?
            Akhir refleksi ini, saya sangat optimis bahwa sesungguhnya bila banyak orang berguru pada masyarakat kampung naga, akan ada banyak kampung di Indonesia yang bisa belajar kembali dari budaya aslinya. Back to Basic, back to natural sangat mungkin bila semuanya optimis untuk membangun dalam kebersamaan, sehingga akhirnya setiap orang boleh berbangga memiliki budaya yang tak lekang oleh waktu dan tak luntur oleh zaman.