Jumat, 04 November 2011

”MENGEMBANGKAN RELASI ETIS MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN.”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Alam semesta merupakan suatu keseluruhan yang teratur. Aturan alam semesta meringkas aturan-aturan yang terdapat pada masing-masing unsur kosmos yang mengarahkannya pada tujuan tertentu.[1] Keteraturan alam semesta tersebut, bukanlah suatu proses sekali jadi melainkan suatu proses dinamis dan organis. Dalam proses tersebut senantiasa muncul sesuatu yang baru sehingga alam bersifat kreatif adanya.
Sebagai suatu proses dinamis yang teratur, alam semesta memiliki tujuan akhir dari seluruh perkembangannya. Theilhard de Chardin dan A. Whitehead berpendapat bahwa Allah merupakan prinsip yang menjadi tujuan utama seluruh perkembangan kosmis.[2] Allah bekerja secara imanen sekaligus transenden dalam proses alam semesta sebagai Sang Pencipta. Dialah yang menciptakan jagat raya dan melihat semuanya itu baik adanya.
Manusia dan lingkungan hidup merupakan dua dari banyak unsur kosmos yang merupakan hasil karya Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Lingkungan hidup merupakan tempat manusia dapat mengembangkan dirinya. Lingkungan hidup dapat lestari bila manusia menjaga dan melestarikannya. Manusialah yang memberi warna terhadap lingkungan hidup, demikian pun sebaliknya. Oleh karena itu, relasi antara manusia dan lingkungan hidup merupakan suatu keharusan. Relasi tersebut bersifat eksistensial dan dinamakan suatu relasi ketergantungan.[3] Bersifat eksistensial karena manusia hanya ada dalam lingkungan dan manusialah yang membuatnya menjadi lingkungan hidup yang manusiawi. Lingkungan hidup menyediakan makanan, air dan udara bagi kehidupan manusia. Relasi antara manusia dengan lingkungan hidup juga merupakan suatu relasi ketergantungan karena keduanya saling mengandaikan dan mempengaruhi. Aksi dan tindakan manusia akan mempengaruhi lingkungan, dan perubahan pada lingkungan akan memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia.
Dalam keseluruhan kosmos, manusialah yang secara khusus diciptakan sebagai makhluk berakal budi. Dengan akal budinya, manusia dapat berpikir untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan kosmos. Kedudukan manusia dalam kosmos sebagaimana yang telah direncanakan Allah ialah sebagai rekan kerja Allah dalam penciptaan (Co-Creator). Manusia merupakan wakil Allah yang diberi kuasa olehNya untuk menjaga dan menyelaraskan kosmos.
Kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian 1:26,27 menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang bertugas untuk menghadirkan kebijaksanaan Allah dalam menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan seluruh ciptaan.[4] Manusia mempunyai kedudukan khusus di tengah sesama ciptaan sebagai wakil Allah di bumi, penjaga, pemelihara dan pengelola dunia ciptaan supaya semuanya tetap dalam keadaan baik. Penciptaan manusia sebagai citra Allah tidaklah membuatnya lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan ciptaan lain, tetapi mengangkat manusia menjadi gembala bagi ciptaan lain yang mengarahkan seluruh kosmos kepada Allah.
Sebagai Imago Dei (gambar dan rupa Allah), manusia diberi kuasa oleh Allah untuk menguasai kosmos. Kuasa dimaksud merupakan pengejawantahan kuasa Allah.[5] Dengan demikian manusia mendapat otonomi dari Allah yakni otonomi partisipatif bukan bukan otonomi yang berasal dari dirinya sendiri.[6] Menjadi jelaslah bahwa alam semesta seharusnya ialah milik Allah. Allahlah satu-satunya yang mempunyai hak milik atas alam, manusia hanya diberi hak pakai.
Sejarah menunjukkan bahwa kedudukan dan peran manusia dalam alam telah bergeser dari bagian alam semesta menjadi penguasa alam semesta.[7] Manusia menggarap dan bahkan memperkosa alam tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan lingkungan sekitarnya. Alam diobjektivikasikan sepuas-puasnya bahkan direduksi untuk kepentingan segelintir orang saja.
Campur tangan manusia atas alam dewasa ini telah banyak menimbulkan bahaya dan masalah baru. Lingkungan hidup dengan segala kekayaan kehidupan tidak lagi dipandang sebagai keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisme.[8] Masalah-masalah tersebut kini menjadi masalah global yang mencemaskan semua pihak.
Lingkungan hidup yang mencakup tanah, air dan udara kini mengalami krisis.[9] Di darat, banyak dijumpai tanah yang rusak dan lahan kritis. Hal ini disebabkan oleh kerusakan hutan, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan juga pengaruh limbah industri yang tidak dikelola secara efisien.
Di wilayah perairan atau laut juga ditemukan aneka persoalan. Eksploitasi yang berlebihan atas sumber daya alam laut dengan menggunakan peralatan canggih, pencemaran air akibat limbah industri merupakan faktor penyebab terganggunya ekosistem perairan.
Sementara itu, polusi udara pun terjadi di mana-mana. Kejernihan udara kini terobsesi, lapisan ozon menipis, terjadi pemanasan global dan efek rumah kaca, serta iklim bumi mengalami perubahan. Gejal-gejala ini merupakan sederetan persoalan yang kini mengancam kehidupan bumi. Keberadaan kosmos dan seluruh unsur yang terdapat di dalamnya kini terganggu oleh aneka persoalan itu. Kesehatan manusia dan makhluk hidup terganggu, musnahnya beberapa spesies makhluk hidup merupakan sederetan akibat dari masalah lingkungan global saat ini.
Persoalan- persoalan lingkungan hidup terjadi dalam koridor kausalitas, pengaruh hubungan timbal balik.[10] Sebab yang satu mengakibatkan yang lain, akibat yang lain menempati posisi sebab dan menjadi akibat bagi yang lain, demikianpun seterusnya. Semua sebab dan akibat itu tetap kembali pada sebab utama yakni manusia sendiri. Hanya manusialah yang dapat memberi warna dan bentuk baru bagi dunia dengan menggunakan akal budi dan kehendaknya. Manusialah yang mampu menemukan jalan keluar bagi kosmos yang kini bermasalah. Manusialah yang memiliki paradigma yang luas demi menyelamatkan kosmos yang kini bermasalah.
Keadaan lingkungan hidup seperti saat ini tentunya tidaklah dikehendaki oleh Sang Pencipta. Allah, Sang Pencipta menciptakan alam semesta dalam keadaan baik. Kitab Kejadian menulis bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan Ia melihat baik adanya (Kej 1: 10,12,18,25,31). Melebihi ciptaan lain, manusia diciptakan-Nya sebagai makhluk hidup yang secitra dengan-Nya dan mempunyai kuasa untuk menggembalakan ciptaan yang lain. Konsekuensinya ialah bahwa manusia sebagai wakil Allah di dunia harus mampu memancarkan kebijaksanaan Allah dan kebaikan hati-Nya kepada ciptaan lain. Manusia merupakan raja (penguasa) yang menjalankan peran kuasa Sang Pencipta di bumi. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kekuasaan manusia atas alam dibatasi oleh kekuasaan Allah, sang Pencipta.
Gagasan penciptaan sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian adalah sebuah komunikasi.[11]  Komunikasi tersebut bukanlah sebuah bentuk yang terulang kembali secara identik melainkan sebuah tindakan, sebuah eksistensi yang menimbulkan sebuah eksistensi lain, sebuah subjek yang menempatkan subjek lain di depan dirinya. Dengan demikian, penciptaan alam semesta oleh Allah bukanlah sebuah sejarah yang hanya terjadi pada masa lampau, melainkan suatu proses yang terjadi terus-menerus. Sebagai wakil Allah, manusia merupakan rekan kerja (Co-Creator) sang Pencipta di bumi yang terus mengarahkan ciptaan lainnya kepada suasana kosmos yang terarah dan teratur.
Untuk menanggapi kepercayaan yang diberikan sang Pencipta ini, manusia dituntut untuk mengembangkan sikap etis terhadap lingkungan hidup. Inilah yang menjadi fokus perhatian penulis dalam tulisan ini. Penulis berpikir bahwa usaha mengharmoniskan hubungan manusia dengan lingkungan hidup adalah dengan mengembangkan sikap etis terhadap lingkungan hidup. Pengembangan sikap etis tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban moral dan iman terhadap lingkungan hidup yang kini tercoreng dan kepada Allah sang Pencipta. Itulah sebabnya penulis menggarap tulisan ini dengan judul: ”MENGEMBANGKAN RELASI ETIS MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN.”
Tema ini menarik untuk dikaji karena saat ini perhatian manusia terhadap lingkungan hidup sudah mulai menurun. Manusia tidak lagi memandang lingkungan hidup sebagai sesama rekan ciptaan Sang Pencipta yang saling membutuhkan, tetapi lebih melihatnya sebagai objek pemuas kebutuhannya.  Selain itu, masalah lingkungan hidup yang kini mengglobal secara moral mendorong  manusia untuk segera mencari jalan keluar agar lingkungan hidup segera diselamatkan. Semuanya ini hendaknya tidak hanya sebuah seruan yang bermakna retorika belaka, tetapi sebuah seruan untuk bertindak. Itulah sebabnya relasi yang mesti dikembangkan oleh manusia terhadap lingkungan hidup haruslah sebuah relasi etis.

1.2  Rumusan Masalah

            Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang saling berpengaruh. Dewasa ini, unisitas dari kedua karya ciptaan Allah itu berada dalam suasana Chaos. Hal ini disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab atas alam. Lingkungan hidup kini mengalami krisis. Masalah inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Penulis merumuskan masalah tersebut sebagai berikut:
  1. Apa itu kosmologi Kristen?
  2. Bagaimana peran dan keberadaan manusia dalam lingkungan hidup?
  3. Bagaimana keberadaan lingkungan hidup dalam alam semesta?
  4. Bagaimana relasi yang mesti dikembangkan oleh manusia terhadap lingkungan hidup?

1.3  Tujuan Penulisan

            Bertolak dari permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis melalui tulisan ini ialah:
  1. Untuk menjelaskan hakekat kosmologi Kristen
  2. Untuk menjelaskan bagaimana seharusnya peran dan keberadaan manusia dalam linkungan hidup
  3. Untuk memberi pendasaran kosmologis pada keberadaan manusia dan lingkungan hidup di tengah kosmos.
  4. Untuk menemukan pola relasi yang etis antara manusia dengan lingkungan hidup yang bercorak kosmosentris.

1.4    Manfaat Penulisan

            Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan masalah yang telah dirumuskan, penulis berharap bahwa tulisan ini sangat berguna bagi penulis sendiri dan masyarakat umum.  Adapun manfaat dimaksud ialah:
  1. Manfaat teoritis yaitu bahwa kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu terutama dalam bidang etika ekologi.
  2. Manfaat praktis yaitu:
    1. Bagi masyarakat umum agar mampu mengembangkan relasi etis dengan lingkungan hidup.
    2. Bagi Gereja baik institusional maupun umat Allah agar dalam terang kosmologi Kristen mampu menempatkan posisi dan perannya sebagai imago Dei di tengah alam semesta.
    3. Bagi Lembaga STKIP St. Paulus Ruteng agar menanamkan dalam diri mahasiswa kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup.

1.5    Metode Penulisan

            Dalam merampung tulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.  Tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku-buku sumber, artikel buku dan majalah, surat khabar yang berkaitan dengan topik yang dibahas, dibaca dan dipelajari penulis guna merampung tulisan ini.  Semuanya merupakan sumber-sumber tertulis yang ditelaah dan diolah lebih lanjut oleh penulis guna menyelesaikan tulisan ini.

1.6    Sistematika Penulisan

            Eksplisitasi dari tema yang dibahas penulis terangkum dalam 5 (lima) bab.  Bab I merupakan bagian pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode, dan sistematika penulisan.  Bab II merupakan pembahasan tentang kosmologi dan kosmologi kristen. Bab III berisikan kajian teoritis yang membahas keberadaan manusia dan lingkungan hidup dalam lingkaran kosmos.  Secara berurutan, pada bab ini penulis membahas tentang hakekat manusia dan lingkungan hidup dalam terang kosmologi kristen.  Selanjutnya bab IV sebagai bagian inti mengkaji relasi yang mestinya terjalin antara lingkungan hidup dan manusia. Relasi tersebut berpedoman pada kosmologi Kristen sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Akhirnya bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran.




BAB II
KOSMOLOGI DAN KOSMOLOGI KRISTEN

2.1  Arti Kata Kosmologi

Kosmologi berasal dari kata bahasa Yunani, cosmos dan logos. Cosmos berarti alam semesta yang teratur, sedangkan logos berarti ilmu, penyelidikan tentang, asas-asas rasional dari. Jadi, secara etimologis, kosmologi berarti penyelidikan tentang alam semesta yang teratur. Dengan kata lain, kosmologi membicarakan asas-asas rasional dari alam semesta yang teratur.[12]
Sebagai ilmu, Kosmologi merupakan cabang filsafat metafisika khusus yang pokok penelitiannya adalah dunia. Pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam kosmologi ialah bagaimana keadaan dunia sehingga keadaan itu dapat teratur? Secara lebih rinci, kosmologi hendak menjawabi pertanyaan: apakah yang merupakan asal mula jagat raya? Apakah yang menjadikan jagat raya? Apakah hakekat ruang dan waktu itu?[13]
Dewasa ini, kosmos secara kasat mata dilihat sebagai keadaan yang tidak teratur dan memiliki banyak persoalan. Kosmos dijadikan sebagai dunia yang sengaja dikuasai oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan konsep dan pola pikir manusia yang terus berkembang dari masa ke masa. Oleh karena itu, pentinglah dipelajari kembali pandangan Kristen tentang alam ciptaan yang telah diwariskan oleh Gereja dari zaman ke zaman.

2.2  Kosmologi Helenis

Manusia tidak hidup begitu saja di atas bumi ini. Ia selalu membentuk pandangan tertentu mengenai dunia. Pandangan itu tidak dibentuk oleh setiap orang secara pribadi, tetapi terbentuk dan dipengaruhi oleh tradisi lingkungan sosial di mana seseorang hidup dan dibesarkan.[14] Itulah sebabnya setiap peradaban memiliki pandangan yang khas tentang dunia.
Berikut ini akan dibahas pandangan Yunani tentang dunia ciptaan, sejak para pemikir Ionia pertama sampai zaman para filsuf besar Yunani (Plato dan Aristoteles) yang amat besar pengaruhnya dalam sejarah filsafat.

2.2.1        Pemikir Ionia Pertama

Para pemikir Yunani pertama yakni orang-orang Ionia menggunakan data mitos sebagai basis pandangan mereka tentang dunia ciptaan. Meskipun demikian, pendapat mereka beraneka ragam.
Thales ( 630 SM- 546 SM), Anaximander ( hidup pada pertengahan abad VI SM) dan Anaximenes (550 SM) adalah tiga tokoh pertama yang memberikan pendasaran filosofis atas alam. Ketiga filsuf ini berusaha mencari substansi terdalam dari segala sesuatu yang amat menentukan bagi terbentuknya alam semesta. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab ketiga tokoh ini ialah “apakah yang merupakan substansi asli yang tidak akan berubah yang mendasari semua perubahan dalam alam semesta?”[15]
Menjawabi pertanyaan dasar ini, ketiga-tiganya mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Thales berpendapat bahwa air merupakan sumber segala kehidupan dan makhluk; Anaximander berpendapat bahwa asal mula segala sesuatu ialah “yang tak terbatas”, sedangkan Anaximenes berpendapat bahwa udara merupakan substansi asli yang amat menentukan bagi terbentuknya alam semesta.[16]
Thales, Anaximander dan Anaximenes sama-sama berpendapat bahwa substansi asli pembentuk kosmos terdapat dalam kosmos itu sendiri, walaupun ketiganya menyebutnya dengan unsur-unsur yang berbeda. Kosmos tidak mungkin terbentuk dari kekuatan lain atau zat tertentu yang tidak terdapat dalam alam, yang berasal dari luar alam. Hal ini disebabkan karena kehidupan orang-orang Yunani purba sangat bersahabat dengan alam. Relasi mereka dengan alam sangat akrab, sehingga tidaklah mengherankan kalau orang Yunani kuno beranggapan bahwa bumi dan seluruh isinya berasal dari salah satu unsur yang terdapat di bumi. Pemahaman seperti ini juga memungkinkan masyarakat manusia memberi penghormatan khusus kepada alam. Alam bahkan dipahami sebagai unsur yang memiliki dalam dirinya sendiri suatu kekuatan yang amat dahsyat.

2.2.2        Phytagoras

Phytagoras berpendapat bahwa masalah kosmologi tidak terletak pada usaha menemukan substansi primitif yang diandaikan, tetapi pada struktur geometris dan matematis yang diberlakukan pada materi bergerak. Angka merupakan kunci untuk memasuki struktur alam semesta. Segenap gerak-gerik alam akan dikembalikan pada suatu bentuk yang dapat diselesaikan secara sistematis.[17]
Phytagoras tidak mempersoalkan tentang substansi dasar yang menyusun/membentuk kosmos. Kosmos, menurutnya dibentuk oleh unsur-unsur yang terdapat dalam kosmos tu sendiri yang saling bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Reaksi antarunsur ini dapat diketahui melalui perhitungan matematis. Dengan demikian, kosmos tidak diciptakan tetapi terbentuk dari reaksi unsur-unsur yang telah ada.

2.2.3        Plato

Kosmologi Plato berkisar pada masalah terciptanya dunia beserta susunannya.  Pemeran utama dalam kisah penciptaan ini ialah pencipta yang oleh Plato disebut Demiurgos.  Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti “Pekerja”, seseorang yang menyerupai tukang kayu.[18] 
Demiurgos menciptakan dunia dengan menyatukan ruang (wadah) dan bentuk.  Bentuk merupakan hal yang ada dalam kenyataan bersifat abadi dan tidak dapat berubah-ubah. Sedangkan wadah (ruang) merupakan segala sesuatu yang belum terbentuk. Dengan jalan mengatur ruang sesuai dengan bentuk serta kepastian ilmu ukur, Demiurgos pertama-tama membuat tanah, udara, api dan air.  Selanjutnya hubungan matematis menimbulkan alam seperti yang dikenal sekarang ini.[19]
Tidak seperti para filsuf Yunani kuno yang berpendapat bahwa kosmos berasal dari unsur-unsur tertentu, Plato berpendapat bahwa kosmos diciptakan oleh seseorang. Pencipta yang disebut Demiurgos oleh Plato hanya dapat menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada. Demiurgos memang disebut pencipta, tetapi dia hanya dapat meniptakan sesuatu dari bahan yang telah ada. Demiurgos tidak dapat menciptakan dari ketiadaan.

2.2.4        Aristoteles

Kosmologi ajaran Aristoteles tidak membahas masalah penciptaan, tetapi memberikan gambaran mengenai apakah yang dinamakan kenyataan. Hal-hal yang bersifat nyata dan yang sungguh bereksistensi, oleh Aristoteles dinamakan “Substansi”. Substansi tersebut merupakan gabungan dari bentuk dan materi.  Bentuk dan materi tidaklah dapat dipisahkan. Bentuk merupakan sesuatu yang secara tetap berada dalam hal yang konkret, sedangkan materi merupakan unsur perubahan dari segala sesuatu.[20]
Tentang alam, Aristoteles menegaskan bahwa istilah alam menunjuk kepada prinsip pertumbuhan, pengaturan, dan gerakan yang terdapat dalam segala hal. Alam senantiasa berubah dengan suatu cara tertentu dan terarah pada tujuan tertentu. [21] Alam merupakan suatu kenyataan yang sungguh bereksistensi. Dalam alam terdapat banyak substansi. Substansi-substansi tersebut senantiasa bertumbuh, berkembang dan bergerak secara teratur. Pertumbuhan, perkembangan, dan pergerakan sebstansi tersebut sangat menentukan bagi perkembangan dan pergerakan alam semesta.

2.3   Kosmologi Kristen

Pandangan Kristen tentang dunia / alam ciptaan yang akan dibahas berikut ini ialah kosmologi dalam Kitab Suci dan pemikiran-pemikiran para filsuf Kristen yang hidup pada zaman Patristik dan Skolastik.
 


2.3.1        Kosmologi dalam Kitab Suci
Catatan tentang penciptaan alam semesta yang ada dalam Kitab Suci, baik dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berisikan refleksi tentang arti penciptaan. Kitab suci tidaklah berbicara mengenai sejarah penciptaan tetapi arti penciptaan, yakni bahwa segala yang ada dan dunia seluruhnya berasal dari Allah sebagai pencipta dan tergantung kepada-Nya.[22]
Alkitab / Kitab Suci memang  bukanlah buku pelajaran mengenai ilmu bumi, sejarah maupun astronomi, meskipun unsur ilmu juga ditemukan di dalamnya. Alkitab adalah buku iman yang bertujuan untuk menyampaikan pernyataan diri Allah kepada manusia sebagai Sang Pencipta dan untuk menunjukkan hubungan antara manusia dengan Allah sebagai penciptanya.  Alkitab membeberkan penjelasan tentang siapa Allah bagi manusia dan siapa manusia di  hadapan Allah.[23] Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau uraian tentang kisah penciptaan dalam Kitab Suci lebih banyak menggunakan bahasa perumpamaan dan juga kiasan.

2.3.1.1  Kosmologi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama

2.3.1.1.1        Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian

Kitab Kejadian memuat dua cerita tentang penciptaan yang diambil dari dua tradisi yang berbeda yakni tradisi Yahwista dan tradisi para Imam.  Keduanya mengandung pesan yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan namun tetap dipakai secara bersamaan.[24] Berbeda dengan mitos-mitos kejadian bangsa-bangsa lain di sekitar Israel, yang terarah kepada kosmologi, kisah penciptaan dalam Alkitab lebih menyangkut sejarah, dalam hal ini sejarah purba, artinya cerita biblis ini menyajikan dalam bentuk cerita dan secara model, ciri-ciri dasariah sebagaimana teralami, baik di Israel maupun di luar Israel.[25]
Tradisi para imam yang dimuat dalam Kejadian 1: 1-2:3, menceritakan bahwa Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, bumi belum berbentuk dan masih kosong. Selama enam hari, Allah menciptakan terang dan gelap, langit, laut dan darat beserta tumbuh-tumbuhan, benda-benda penerang di cakrawala, burung-burung di udara dan ikan di laut, jenis-jenis binatang di darat dan manusia.  Kemudian pada hari ke tujuh Allah beristirahat. 
Cara Allah menciptakan dilukiskan oleh tradisi P dengan gagasan yang berbeda-beda.[26]
Dalam ayat pertama dikatakan bahwa pada mulanya Allah “menciptakan” langit dan  bumi.  Kata “menciptakan”  merupakan terjemahan dari kata bara (Ibrani) yang merupakan istilah teknis yang hanya dipakai untuk menunjukkan perbuatan Allah, yang bersifat unik, yang berbeda dengan perbuatan manusia.  Subyek kata bara hanyalah Allah, dan tidak pernah dipakai untuk manusia.  Nuansa kata bara ialah penciptaan dari ketiadaan (Creatio ex Nihilo).  Penciptaan tanpa bahan yang telah ada sebelumnya. 
Mulai dari ayat ketiga, tradisi P menggunakan gagasan penciptaan melalui firman. Gagasan ini dipakai untuk penciptaan seluruh kosmos, kecuali manusia. Gagasan penciptaan melalui firman mau menunjukkan bahwa Allah menciptakan tanpa jerih payah, mencipta dengan mudah, mencipta dengan kehendak bebasnya. Penciptaan melalui firman juga mau menegaskan sifat duniawi dari dunia dan sifat transendens dari Allah.
Dari semua yang telah diciptakan Allah, manusia diciptakan sebagai pribadi, partner-Nya yang bebas yang bisa berdialog dengan-Nya secara sadar. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan ditetapkan sebagai tuan atas seluruh ciptaan. Manusia diberi tugas untuk menggembalakan ciptaan lain dengan cara menghadirkan kebijaksanaan Allah di atas dunia.
Penciptaan langit dan bumi tidak terjadi dalam waktu, tetapi justru penciptaan itulah yang menjadi penyebab adanya waktu.[27] Hal ini secara jelas tertera pada kata-kata akhir setiap penciptaan: “maka jadilah petang dan jadilah hari, itulah hari ke ….” (Kej. 1:5.13.19.23.31).
Pernyataan pada akhir seluruh kisah penciptaan “Allah melihat segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya itu sungguh amat baik” (Kej 1:31) mau menegaskan bahwa penciptaan itu sesuai dengan maksud Allah. Allah menetapkan suatu tujuan untuk kosmos dan sejarahnya.[28] Dengan demikian, penciptaan merupakan rencana Allah yang keluar dari kehendak bebas-Nya guna membentuk semesta menjadi sesuatu yang indah dan terarah kepada suatu tujuan akhir yakni Allah sendiri, sebab Dialah alfa dan omega.[29]
Tradisi Yahwista melukiskan kosmos sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahwe, sebagai kehadiran berkat Tuhan bagi manusia.[30] Sambil mengerjakan bahan kiasa yang bersifat mitis-antropomorfis, Yahwista menyajikan model-model asali bagi eksistensi manusiawi, berdosanya manusia dan rahmat pencipta.[31] Allah menciptakan manusia dengan bahan dasar tanah dan menempatkannya di tengah sebuah taman yang disebut “Taman Eden.” Dalam taman ini, Tuhan menumbuhkan pohon-pohon yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya. Di sini aspek keindahan mendahului aspek kegunaan. Hal ini juga mau menegaskan bahwa alam semesta merupakan karya Tuhan yang amat indah dan teratur.[32]
Sesudah menciptakan manusia, Allah membawa manusia ke Taman Eden dan memberi tugas kepada manusia untuk mengusahakan dan memelihara. Menurut tradisi Yahwista, Allah menempatkan manusia di dunia bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai pemelihara bumi. Manusia berperan sebagai wakil Allah yang ada di bumi karena manusialah yang dipercayakan oleh Allah untuk menguasai ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi (Bdk. Kej 1:28).

2.3.1.1.2        Mazmur

Aspek paling dominan yang mau ditonjolkan dalam kitab Mazmur berkaitan dengan tema kosmos ialah keindahan yang teratur, keindahan yang terpotret. Kosmos yang dilukiskan dalam Mazmur adalah dunia bermakna yang mengandung arti yang diberikan oleh Sang Pencipta.[33]
Mazmur 19:2-56, misalnya merupakan salah satu kerygma tentang kosmos sebagai buah tangan Tuhan. Langit termasuk unsur-unsur yang ada di dalamnya mengidungkan kemuliaan Allah dan memberi kesaksian karya pencipta. Kidung tersebut terus-menerus dimadahkan dan senantiasa menggema di mana-mana. Hal ini mengundang manusia untuk senantiasa mengagungkan kemuliaan Tuhan, memuji-Nya terus-menerus melalui doa. Kosmos tidak hanya mengungkapkan kebesaran Tuhan tetapi juga mendorong manusia untuk memberikan jawaban kepada Tuhan dalam iman dan pujian.[34] 
Mazmur 104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif tentang penciptaan alam semesta dalam Kejadian bab 1 dengan menampilkan unsur-unsur alam seperti cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tumbuhan, hewan-hewan hidup. Dalam teks ini, Pemazmur tidak bermaksud untuk menelusuri dan menerangkan asal muasal penciptaan, tetapi bertujuan untuk memahami keindahan dan keteraturan di dalamnya. Penciptaan alam semesta dimengerti sebagai tindakan sekarang dan bukan sebagai peristiwa yang telah berlalu.[35]
Teks ini mau menyatakan bahwa kebesaran Tuhan ada dalam segala unsur alam yang telah diciptakannya. Merasakan keberadaan alam semesta sama artinya dengan merasakan kehadiran Tuhan. Kehadiran Tuhan itu tak hanya terjadi pada saat penciptaan pertama, tetapi sepanjang sejarah keberadaan kosmos. Oleh karena itu manusia bertugas untuk senantiasa mensyukuri kehadiran Tuhan dengan cara melestarikan keberadaan kosmos. Dengan demikian nyatalah bahwa penciptaan bukanlah suatu karya yang sekali jadi, melainkan karya Tuhan yang terjadi terus menerus, tak pernah berhenti dan terus mengarah kepada keteraturan.

2.3.1.2  Kosmologi dalam Kitab Suci Perjanjian Baru

Gagasan tentang kosmos dalam Perjanjian Baru bertumpu pada wahyu khusus yakni pewahyuan diri Allah melalui karyaNya sebagai Penyelamat dan Penebus. Karya Allah ini mencapai puncak atau kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Memang penciptaan tidak bisa dilepaspisahkan dari karya Penyelamatan. Karya penciptaan ialah awal dan persiapan karya keselamatan.[36] Di sini aspek kristologis dan antropologis kosmos mendapat penekanannya. Kedua aspek ini tidaklah dapat dipahami secara terpisah tetapi dalam satu konteks pemahaman yang bersamaan dan saling bertautan satu dengan yang lainnya.
Secara umum kosmos dalam dunia Perjanjian Baru diartikan sebagai himpunan keadaan dan kemungkinan hidup manusia. Pembicaraan mengenai kosmos dalam Perjajian Baru selalu dikaitkan dengan dunia manusia, tempat manusia bertindak dan melakukan sesuatu secara bertanggung jawab.[37] Kosmos yang dibicarakan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru tetap berakar dari gagasan tentang kosmos dalam Perjanjian Lama.
Dalam pembahasan ini akan dilihat dan didalami gagasan tentang kosmos dalam Injil Yohanes dan pandangan Rasul Paulus dalam beberapa suratnya.

2.3.1.2.1        Kosmologi Yohanes

Yohanes memiliki konstruksi kosmologi yang diwarnai oleh pertentangan antara terang dan kegelapan.[38]  Pertentangan antara terang dan gelap sudah ada sejak awal saat dunia dijadikan. Yohanes menegaskan hal ini dalam prolog injilnya dan menjadi semakin jelas dalam kisah penyembuhan simbolis atas orang yang buta sejak lahir. Terang dan kegelapan sama-sama ada dalam dunia, namun manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang. Oleh karena itu, Allah mengutus Putera-Nya ke dalam dunia agar dunia tidak binasa[39]
Sejak semula, Allah telah menciptakan segala sesuatu sungguh amat baik dan senantiasa mengarahkan manusia pada kehidupan, keteraturan dan terang.  Namun dalam perjalanan sejarah, manusia sebagai wakil Allah di dunia, telah membuat dunia dipenuhi kegelapan, ketidakteraturan dan kekacauan. Itulah sebabnya sabda terang dan hidup, menjadi daging supaya seluruh dunia dapat diselamatkan dan dikembalikan kepada hidup. Kedatangan Kristus ke dunia sebagai Allah yang menjadi manusia hendak mengarahkan manusia yang berada dalam kegelapan dosa kepada terang keselamatan.
Manisfestasi dan kemenangan cinta Ilahi atas kegelapan dunia menjadi nyata dalam korban Salib. Melalui Salib, Allah menarik semua orang kepada-Nya dan masuk dalam Kemuliaan-Nya. Dunia yang bobrok akibat tingkah laku manusia diselamatkan karena penebusan oleh Yesus Kristus. Dunia yang diselamatkan ini tidak hanya dunia manusia tetapi mencakup seluruh universum, seluruh kosmos.

2.3.1.2.2        Kosmologi Paulus

Kosmos yang dimaksudkan oleh Paulus ialah segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta (Universum). Kosmos mencakup semua benda (Roma 11:36), kosmos merupakan ruang yang meliputi semua yang berada di luar  Tuhan. Dalam pemahaman Paulus, kosmos tidak berarti keteraturan karena menurutnya dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya akibat dosa yang dibuat manusia.[40] 
Ada tiga pokok pikiran Paulus yang berkaitan dengan tema kosmos, yakni dimensi Kristosentris dari kosmos, penebusan kosmos dan keberadaan manusia Kristen dalam dunia ( manusia Kristen di tengah kosmos).[41] Pertama, dunia sebagai ciptaan yang berdimensi Kristosentris. Kristus merupakan sentrum kosmos karena segala sesuatu ada di dalam Dia dan untuk Dia. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.[42]
Kedua, penebusan kosmos; kedatangan Kristus ke dalam dunia mempunyai misi untuk mendamaikan segala sesuatu. Hal ini secara nyata terealisasi melalui Salib Kristus. Korban Salib membawa kosmos kembali kepada keteraturan dunia yang sebelumnya penuh dengan kekuasaan dosa dan maut serta diarahkan kembali kepada hidup berkat darah Kristus.
Ketiga, manusia Kristen dan dunia. Dunia pada prinsipnya adalah baik sesuai dengan rencana sang Pencipta. Namun, manusia yang telah menyalahgunakan kebebasannya telah mengubah dunia menjadi chaos (tidak teratur. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Kolose tidak memberikan tugas kepada orang Kristen untuk mengubah dunia, tetapi mengajak jemaat untuk membiarkan diri diubah oleh Kristus.[43]  Dengan demikian, orang Kristen bertugas untuk mengubah bentuk dunia dari dalam, menghidupi semua keadaan di dunia menurut Roh Kristus. Orang Kristen mesti bertindak sesuai dengan kehendak Allah.
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma 8:18-27, Paulus menyoroti dunia yang diciptakan Tuhan sebagai suatu keseluruhan. Dalam teks ini, Paulus menggambarkan pandangan dan sikap manusia terhadap alam semesta yang berdimensi antroposentrik. Kendati demikian, hal tersebut bukanlah antroposentristik subjektif yang mereduksi segala sesuatu yang ada di alam semesta mempunyai nilai sejauh menguntungkan manusia, melainkan hanya menegaskan tempat/peran manusia di alam. Tempat manusia dalam tatanan penciptaan ditentukan oleh posisi dan hubungan manusia dengan segala ciptaan dalam keterkaitannya dengan Tuhan. Manusia memang mendapat kedudukan istimewa, tetapi hal itu tidak berari bahwa dengannya manusia bebas memperlakukan ciptaan lain sesuai dengan keinginannya. Keistimewaan kedudukan manusia dalam dunia menjadi nampak apabila manusia bertindak bijak terhadap segala unsur kosmos yang lainnya.

2.3.2        Kosmologi Dalam Tradisi Gereja

2.3.2.1  Pandangan Para Bapa Gereja

Para bapa Gereja berusaha untuk mempertanggungjawabkan iman penciptaan yang tertuang dalam Alkitab kepada pertanggungjawaban akal budi. Adapun yang mendorong mereka memikirkan hal itu ialah pengaruh budaya Helenis yang sangat pesat saat itu. Berhadapan dengan aliran Stoa, Plato dan Gnosis, para bapa Gereja menanggapi gagasan-gagasan secara reseptif dan kritis.[44]
Pandangan filosofis Bapa- Bapa Gereja atas sikap manusia terhadap alam semesta dan makhluk ciptaan, menekankan unsur kebijaksanaan yang dihubungkan dengan pengetahuan. Manusia merupakan tuan atas seluruh ciptaan karena kebijaksanaannya. Kebijaksanaan memungkinkan manusia bukan hanya untuk memiliki pengertian yang benar tentang Tuhan, melainkan serentak menyelidiki perjalanan bintang-bintang, membangun kota, menemukan hukum dan obat dan karena itu mencapai suatu hubungan tertentu, kokoh dan aktif dengan dunia.[45] Dengan kebijaksanaan yang sama, manusia juga mulai berefleksi tentang Allah sebagai penyelenggara semesta alam, penciptaan dari ketiadaan, kesatuan penciptaan dan sejarah keselamatan dan juga penciptaan dunia di dalam waktu oleh Allah Tritunggal.[46] Keempat hal inilah yang menjadi pokok permenungan para bapa bangsa tentang masalah penciptaan.
Para Bapa Gereja mengambil alih unsur – unsur ajaran warisan mazhab Stoa tentang penyelenggaraan dunia dan gagasan seorang pencipta yang adalah Bapa dan pemelihara semesta alam. Melalui jalan ini, gelar pantokrator muncul dalam syahadat resmi yang mengakui bahwa “percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan. Garis  ajaran ini selanjutnya bermuara pada ajaran penciptaan Yohanes Krisostomus, yang memuji tata susunan dunia yang oleh sang pantokrator ditanggung, dikemudikan, dan diselaraskan, dengan begitu indah dan tepat.[47]
Penciptaan dari ketiadaan merupakan ajaran yang digunakan oleh para Bapa Gereja untuk melawan dan menolak ajaran platonis bahwa dunia diciptakan dari materi yang tak berbentuk. Hermas, Irenius dan origenes melakukan refleksi tentang creation ex nihil, yaitu menekankan bahwa Allah Pencipta alkitabiah adalah satu-satunya yang menjadikan dunia dan yang mahakuasa.
St. Irenius mengembangkan teologi sejarah untuk melawan penganut gnosis. Menurutnya penciptaan dan penebusan tidak boleh dilepaspisahkan satu dengan yang lainnya. Sejak semula penciptaan telah terarah kepada pembebasan dari dosa oleh dan dalam Kristus. Alam ciptaan senantiasa ditebus dan selalu terarah kepada satu tujuan yakni persatuan dengan Kristus sebagai kepala yang mengepalai tubuh yang mencakup seluruh jagat raya.
Lactantius (240-320) berpendapat bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh Tuhan. Dalam penciptaan ini, manusia menjadi pengada yang mengakui penciptanya dan menikmati segala kebaikan. Demi mencapai tujuan tersebut, manusia menggunakan api, air, tanah, gunung, dan lautan. Manusia membaktikan diri sebagai bagian dari asas Ilahi dan satu-satunya ras berakal budi yang sanggup mencintai Tuhan di antara rekan-rekan ciptaan lainnya. Manusia melihat dirinya sebagai makhluk hidup yang secitra dengan pencipta karena mampu memadukan pengetahuan dengan kebijaksanaan.[48]
Hubungan manusia dengan Sang Pencipta merupakan suatu hubungan yang akrab dan tidak bisa dipisahkan. Manusia juga disebut sebagai wakil Allah di atas bumi yang berperan untuk menggembalakan semua ciptaan lain agar senantiasa mengarahkan semuanya kepada kepenuhan hidup bersama sang pencipta. Kebijaksanaan dan pengetahuan manusia membuatnya mampu mengembangkan dirinya sebagai co-creator sang pencipta dan pemelihara kosmos.
Agustinus (354-430) mengulas masalah penciptaan dan alam semesta dalam cahaya Kitab Suci. Menurutnya, ciptaan mempunyai nilainya masing-masing dalam dirinya sendiri. Segala ciptaan lain tidak hanya berada untuk keperluan-keperluan manusiawi. Manusia ditempatkan pada jajaran hirarki yang lebih tinggi karena akal budinya. Agustinus juga menegaskan bahwa alam seluruhnya berasal dari Bapa sebagai pencipta.[49] Alam tidaklah berasal dari unsur-unsur tertentu tetapi diciptakan oleh Tuhan. Agustinus juga berpendapat bahwa penciptaan dunia terjadi di dalam waktu oleh Allah Tritunggal.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa pada jajaran hirarki, manusia ditempatkan lebih tinggi dari ciptaan lain, tetapi hal itulah yang mendorong manusia agar menjadi gembala bagi ciptaan yang lain. Manusia bertugas untuk mengarahkan sesama ciptaan lain menuju kepenuhan hidup bersama Allah. Manusia hadir sebagai wakil Allah yang bertugas menghadirkan kebijaksanaan Allah Sang Pencipta kepada semua ciptaan. Kebijaksanaan inilah yang khas manusiawi yang tidak terdapat pada ciptaan lainnya.

2.3.2.2  Pandangan Thomas Aquinas

Kosmologi yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas berkisar pada ajaran mengenai penciptaan. Menurutnya, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Tuhan tidak hanya mengadakan alam semesta, tetapi juga menyebabkannya berada terus. Keberadaan dan kelangsungan dunia/alam semesta tergantung penuh pada Tuhan.[50] Segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian / berpartisipasi dalam adanya Allah. Partisipasi tersebut bukan secara kuantitatif melainkan secara dependensi, artinya bukan seolah-olah setiap makhluk mewakili sebagian kecil dari tabiat ilahi, melainkan semua ciptaan menurut adanya tergantung mutlak dan berperan serta dalam diri sang Pencipta.[51] Itulah sebabnya, manusia ditetapkan Tuhan sebagai wakil Allah yang bertugas untuk menghadirkan kebijaksaan Allah di dunia.
Lebih lanjut, mengikuti alur pemikiran para Bapa Gereja Thomas menegaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan ( ex nihilo), suatu penciptaan dari yang tidak ada/ Creatio ex nihilo. Gagasan creatio ex nihilo ini menegaskan dua hal penting berikut. Pertama, dunia tidak diciptakan dari semacam bahan dasar yang telah tersedia, entah bahan itu Allah sendiri (melawan Panteisme) atau juga prinsip kedua selain Allah (melawan dualisme), tetapi ciptaan-ciptaan menurut adanya tergantung pada Allah. Kedua, penciptaan tidak tergantung pada satu saat saja tetapi merupakan perbuatan Allah secara terus menerus (Creatio Continua/Conservatio). Dengan perbuatan penciptaan itu, Allah terus-menerus menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara.[52] Tugas manusia sebagai wakil Allah justru nampak pada pada bagaimana manusia melestarikan alam ciptaan Allah itu. Manusia mesti menjadi conservator yang terus menerus bertugas melestarikan alam agar tetap tampil sebagai kosmos yang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

2.4       Pokok-Pokok Penting Kosmologi Kristen
Seluruh pandangan Kristen tentang alam semesta (kosmologi Kristen) memiliki dasar dalam Kitab Suci, yakni bab pertama Kitab Kejadian. Kisah penciptaan tentang alam semesta yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian bukan pertama-tama bertujuan untuk menguraikan proses terjadinya dunia secara ilmiah, melainkan hanya mau menegaskan keterarahan dunia kepada sang Pencipta. Dengan kata lain kosmologi yang terdapat dalam kitab suci tidak berbicara mengenai penciptaan, tetapi arti penciptaan.
Dalam pemahaman tentang penciptaan alam semesta inilah sejak zaman dunia Perjanjian Baru sampai zaman Bapa Gereja Dan Skolastik, bahkan juga zaman sekarang, orang Kristen mencoba merumuskan suatu kosmologi Kristen. Ada beberapa pokok penting yang ada dalam kosmologi Kristen. Pertama, Alam semesta merupakan karya Allah Sang Pencipta yang teratur, indah dan baik adanya. Alam semesta sungguh dikehendaki Allah, dan pada dasarnya bersifat positif, sesuai dan cocok untuk tujuan yang telah ditetapkan Allah baginya.
Kedua, penciptaan alam semesta terjadi dari ketiadaan (Creatio ex nihilo). Alam semesta diciptakan oleh Allah tanpa suatu bahan dasar. Allah secara gampang menciptakan dunia melalui firman-Nya tanpa ada unsur-unsur yang telah ada sebelumnya.
Ketiga, waktu diciptakan bersama alam semesta. Sebelum Tuhan menciptakan kosmos, waktu belum ada. Waktu juga merupakan salah satu unsur kosmos yang terjadi dalam rencana Sang Pencipta sendiri. Jadi, waktu juga diciptakan oleh Tuhan sendiri dan hanya Dialah yang menguasai waktu.
Keempat, dimensi imanen dan transendensi Allah.  Konsekuensi logis dari gagasan creation ex nihilo ialah bahwa kosmologi Kristen diwarnai oleh transendensi Allah yang jelas dan imanensi Allah yang akrab.  Disatu pihak Allah jelas berbeda dengan dunia dan megatasi segalanya, dan di lain pihak Allah sungguh akrab dengan dunia.  Dunia dan seluruh semesta berasal dari Allah. Allah adalah satu-satunya dasar keberadaan alam semesta.                                                             Kelima, dimensi Kristologis dari kosmos. Selain dalam kerangka karya penciptaan, kosmologi Kristen juga berbicara dalam bingkai karya keselamatan. Karya keselamatan tersebut justru merupakan tujuan yang dipersiapkan sejak penciptaan. Karya keselamatan Allah atas kosmos menjadi penuh dan menyeluruh dalam diri Kristus. Dialah pusat dari kosmos. Oleh karenanya kosmologi Kristen juga berdimensi Kristologis.
Keenam, dimensi antropologis dari kosmologi kristen. Dalam kerangka penciptaan, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.  Hal ini menjadikan manusia sebagai pribadi, wakil Allah, rekan Allah dalam karya penciptaan. Manusia mengambil bagian dalam karya penciptaan untuk menjaga dan memelihara dunia. Tentu dimensi antropologis ini tidak bermaksud untuk menjadikan manusia sebagai penguasa mutlak atas alam.  Kekuasaan manusia atas alam bersifat partisipatif, manusia hanya berpartisipasi dalam mengembangkan kuasa Tuhan. Dengan akal budi, manusia hendaknya bertugas untuk menghadirkan kebijaksanaan sang pencipta dan mengarahkan ciptaan lain kepada tujuan utamanya yakni pencipta sendiri.
Ketujuh, dimensi penebusan kosmos. Kedatangan Kristus ke dunia bermisi menebus dan menyelamatkan kosmos. Dia datang bukan hanya untuk menebus dan menyelamatkan manusia tetapi Kristus datang untuk memperbaharui bumi dan mengarahkan seluruh alam semesta kepada sang pencipta. Kristus datang agar seluruh kosmos tidak saling menguasai dan menindas satu sama lain.





BAB III
MEMAHAMI HAKEKAT MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP
DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN

3.1  Manusia dan Keberadaannya dalam Kosmos

3.1.1        Gambaran Umum tentang Manusia

Pemberian konsep dan pengertian yang definitif dan lengkap terhadap manusia merupakan suatu usaha yang sulit. Max Scheler mengatakan bahwa manusia tetap menjadi problematik bagi dirinya sendiri. Sejalan dengan itu Sopokles mengemukakan bahwa  manusia merupakan makhluk ajaib yang melebihi banyak keajaiban lain di dunia. Keajaiban ini menjadi semakin sulit diteliti karena dalam diri manusia terdapat aspek-aspek yang saling bertentangan. Karena itu, Louis Leahy menyebut manusia sebagai makhluk paradoksal yang penuh dengan ketegangan abadi, sehingga ia nampak sebagai misteri abadi.[53]
Sebagai suatu yang misteri, manusia selalu dan tetap terbuka terhadap pertanyaan, jawaban dan diskusi baru tentang dirinya. Dalam sejarah filsafat, diskusi tentang manusia diselesaikan melalui empat aliran filsafat yakni realisme klasik, teologisme, idealisme dan materialisme historis.[54]
Penyelesaian realisme klasik terhadap diskusi tentang manusia ditempatkan pada pemahaman manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai hakikat rangkap yang bersifat material dan akali. Manusia merupakan makhluk hylemorfis yang tersusun dari dua unsur hakiki yakni tubuh dan jiwa. Manusia juga dilihat sebagai makhluk hidup yang bebas memilih, berpikir dan menentukan sesuatu bagi dirinya.
Pandangan teologisme memahami manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan mempunyai awal dan akhir baik jiwa maupun badannya. Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan, manusia mempunyai hubungan yang khas dan akrab dengan penciptanya. Hubungan khas antara ciptaan dan pencipta ini membawa konsekuensi pada bagaimana manusia mengembangkan kebebasannya. Manusia tetap mempunyai kebebasan, namun kebebasan itu bersumber pada kekuasaan sang Pencipta. Manusia diberi kebebasan oleh sang pencipta untuk menciptakan dan mengembangkan kehidupan di bumi.
Selanjutnya menurut paham idealisme, manusia dilihat sebagai makhluk hidup yang terus-menerus berada dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan atau alam sekitarnya. Dalam proses tersebut, manusia tidak hanya hidup dengan akalnya tetapi juga mengalami rasa takut, mempunyai harapan-harapan, dan menafsirkan pengalaman-pengalaman berdasarkan atas mitos dan agama. Manusia terlibat dalam suatu jalinan simbol-simbol yang diungkapkan melalui dan di dalam bahasa, kesenian, mitos dan upacara-upacara keagamaan.
Akhirnya, pandangan materialisme historis menegaskan bahwa hakikat manusia selalu mengalami perubahan. Hakikat manusia sangat ditentukan oleh tingkah laku, lingkungan dan sejarah setiap individu. Perbedaan antara manusia dan makhluk hidup lainnya justru ditentukan oleh kemampuan manusia untuk menguasai alam dengan menggunakan teknologi demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pandangan materialisme terhadap manusia juga dipengaruhi oleh materialisme ekonomis. Materi merupakan harta yang sangat besar perannya dalam menentukan derajat dan keberadaan orang dalam masyarakat. Setiap orang dalam masyarakat senantiasa berlomba untuk mengumpulkan banyak harta, karena harta adalah jaminan untuk hidup sejahtera.
Keempat aliran filsafat tentang manusia di atas menunjukkan betapa manusia merupakan makhluk multidimensional. Satu pribadi manusia memiliki aneka dimensi. Untuk memahami secara lebih jelas tentang hakikat manusia, berikut ini akan dijelaskan tiga hakikat kodrat manusia.

3.1.2        Tiga Hakikat Kodrat Manusia

Dilihat dari segi hakikat kodratnya, ada tiga sifat kodrat yang melekat pada diri manusia yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Hakikat kodrat itu secara jelas membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Ketiga hakikat itu ialah dari segi susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat.[55]
Pertama, dari segi susunan kodrat, manusia terdiri dari jiwa dan badan. Jiwa merupakan aspek rohani, spiritual, psikologis yang terdiri dari akal, pikiran dan kehendak. Badan merupakan aspek jasmaniah, material, dan biologis yang terdiri dari bagian-bagian tubuh yang dapat diraba dan dilihat.
Kedua, dari segi sifat kodratnya, manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia menyadari dirinya sebagai pribadi yang berbeda dari yang lain. Setiap pribadi menyadari dirinya sebagai pribadi yang khas, unik, dengan watak, sifat, bakat, minat, kemampuan dan pembawaan yang berbeda-beda. Manusia juga memiliki hak yang melekat pada dirinya sendiri sejak ia berada yang disebut hak asasi manusia. Namun dalam keberlangsungan hidupnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, karenanya manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Seksualitas, kelahiran anak dalam keluarga, gejala bahasa, ketergantungan ekonomis, serta ketergantungan psikologis merupakan hal-hal yang membuktikan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.
Ketiga, dari segi kedudukan kodrat, manusia adalah pribadi yang otonom, independen dan makhluk Tuhan yang sangat tergantung pada Tuhan, dependen. Sebagai pribadi yang otonom, manusia menyadari bahwa ia mampu mengatur dirinya sendiri, bergerak bebas, bisa memilih serta bebas mengambil keputusan sendiri. Manusia sebagai pribadi juga mampu membuat perencanaan sekaligus membuat evaluasi terhadapnya serta mengubah perencanaan itu. Namun di pihak lain, manusia juga merasa bahwa ia mempunyai keterbatasan. Keterbatasan itu mendorong manusia untuk merasa bergantung, tidak hanya terhadap manusia lain tetapi terhadap sesuatu yang lain, yang mengatasi alat, ruang dan waktu, yakni yang supranatural, yang absolut.


3.1.3        Manusia dalam Perspektif Kristen

3.1.3.1  Pandangan Thomas Aquinas tentang Manusia

Thomas Aquinas menekankan bahwa manusia adalah suatu kesatuan yang terdiri dari jiwa dan badan. Dengan tesis dasar anima forma corporis, dan mengacu pada ajaran Hylemorfisme, Thomas menegaskan bahwa, jiwa dan badan bukanlah merupakan dua substansi yang masing-masing bisa berada sendiri, melainkan dua prinsip metafisis yang bersama-sama menjadi nyata dan ada. Manusia  itu seluruhnya jiwa dan seluruhnya badan.[56] Dengan demikian manusia tidak bisa hidup hanya badan saja atau hanya jiwa saja. Kedua unsur ini selalu ada pada manusia dan tidak bisa dilepaspisahkan.
Jiwa menjalankan aktivitas-aktivitas yang melebihi sifat badaniah yakni aktivitas berpikir dan berkehendak yang disebut aktivitas rohani. Karena jiwa bersifat rohani, maka setelah kematian badan, jiwa hidup terus dalam ujudnya sebagai bentuk yang tetap mempunyai keterarahan pada badan.[57]
Menurut Thomas, setiap perbuatan, termasuk kegiatan berpikir dan berkehendak adalah perbuatan dari segenap pribadi manusia yang dijiwai oleh satu bentuk utama yakni bentuk rohani. Jiwa yang satu ini mempunyai lima daya yakni daya vegetatif, daya sensitif, daya yang menggerakkan, daya untuk berpikir dan daya untuk mengenal.[58] Dengan kelima daya ini manusia dapat menunjukkan keberadaannya sebagai manusia yang berbeda dari makhluk hidup lainnya. Kekhasan manusia justru terletak pada keberadaannya sebagai makhluk yang berakal budi dan memiliki kehendak/kemauan bebas dan berperasaan. Dengan akal budinya manusia dapat berpikir untuk menjalin relasi dengan orang lain dan juga unsur-unsur lain yang mendiami kosmos. Manusia juga peka terhadap situasi dan kondisi di sekitarnya.

3.1.3.2  Manusia sebagai Imago Dei: Gambaran tentang Manusia dalam Kitab Suci

Dasar biblis yang digunakan penulis dalam memahami manusia sebagai imago Dei ini ialah kitab Kejadian 1: 26-29. Term imago mengandung nuansa relasi. Term ini berasal dari perundangan di Timur Tengah yang mengindikasikan hegemoni penguasa alam semesta.[59] Dalam Kitab Kejadian, term ini kemudian tidak hanya menggambarkan relasi manusia dengan Tuhan tetapi juga relasi manusia dengan alam. Sebagai imago Dei, manusia adalah representan dari kekuasaan Allah atas ciptaan. Manusia memiliki kekuasaan atas alam ciptaan, namun kekuasaan tersebut bukanlah kekuasaan mutlak, melainkan kekuasaan yang berasal dari Allah dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, keberadaan manusia di dalam alam semesta hendaknya menghadirkan kebijaksanaan dan kebaikan hati Allah kepada seluruh ciptaan.
Manusia sebagai gambar dan rupa Allah mempunyai pengertian yang amat luas, yang tidak hanya dimengerti secara individualistis tetapi juga secara sosial dan kosmis.[60] Secara personal/individual, manusia dicintai Allah dan dipanggil untuk memasuki relasi cinta personal dengan Allah. Arah dan tujuan hidup manusia sepenuhnya dengan pikiran, perasaan dan kehendaknya yang bebas seharusnya merupakan jawaban terhadap cinta kasih Allah dengan mencintai Dia sepenuhnya. Inilah aspek personal dari gambaran manusia sebagai imago Dei.
Aspek sosial dari gambaran manusia sebagai citra Allah/imago Dei menyata dalam penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Gambar dan rupa Allah diwahyukan secara penuh dalam manusia laki-laki dan manusia perempuan, dalam hubungan yang komplementer, saling melengkapi, dan bebas dari aneka macam diskriminasi. Laki-laki dan perempuan dengan kesamaan derajat, diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mampu memasuki relasi interpersonal.
Selain kedua aspek yang dijelaskan terdahulu, keberadaan manusia sebagai imago Dei juga berdimensi kosmis. Manusia dipanggil Allah untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan. Sebagai citra Allah, manusia adalah co-operator dan co-creator dari sang pencipta. Manusia selalu mengambil bagian dalam tindakan kreatif sang pencipta untuk mentrasformasikan, membentuk kembali dan memelihara alam semesta.
Dalam gambaran manusia sebagai imago Dei yang berdimensi kosmis ini, juga ditegaskan posisi / kedudukan manusia dalam alam semesta. Pada satu sisi, manusia merupakan bagian dari alam (keseluruhan ciptaan), tetapi pada sisi lain manusia berada di atas ciptaan yang lainnya.[61] Keberadaan manusia yang berada di atas ciptaan yang lain karena manusia mampu mengolah dan melestarikan alam.
Penulis Kitab Kejadian menulis bahwa manusia mempunyai kuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang melata, hewan serta segala sesuatu yang ada di alam semesta ( Bdk. Kej 1:28). Keberadaan manusia yang istimewa ini hendaknya merupakan berkat bagi ciptaan lainnya.
Kehadiran manusia dalam suatu lingkungan hendaknya membuat sesama ciptaan lainnya merasakan kebaikan dan cinta kasih Sang Pencipta. Manusialah yang mampu mengenal dan mengasihi penciptanya dan telah ditetapkan Allah sebagai tuan atas semua makhluk di dunia, untuk menguasai dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah.[62] Kekuasaan yang dimiliki manusia ini merupakan kekuasaan partisipatif yang berasal dari Pencipta bukanlah kekuasaan mutlak yang berasal dari manusia itu sendiri. Manusia bukanlah pemilik tunggal dan penguasa atas kosmos. Penguasa dan pemilik kosmos adalah sang pencipta sendiri. Manusia hendaknya menyadari diri sebagai bagian dari penghuni komos. Sebagai bagian dari penghuni kosmos, manusia mesti berelasi dengan sesama penghuni kosmos yang lainnya. Tindakan sewenang-wenang terhadap lingkungan hidup dan ciptaan lain yang dilakukan manusia merupakan suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

3.2  Lingkungan Hidup dalam Perspektif Kosmologi Kristen

3.2.1        Arti Lingkungan Hidup

Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis arti lingkungan sebagai daerah dan semua yang mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Sedangkan istilah “lingkungan hidup” memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan prilakunya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Kedua, lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup.[63] Selain itu juga ada istilah lain yang mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan hidup yakni “lingkungan alam”. Alam dipahami sebagai segala yang ada di langit dan di bumi, lingkungan kehidupan, dunia, segala sesuatu yang terdapat dalam suatu lingkungan dan dianggap sebagai satu keutuhan, segala daya yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala yang ada didunia.[64] Lingkungan alam selanjutnya dimengerti sebagai keadaan (kondisi, kekuatan) sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisme.
Dalam menunjang pembahasan dalam tulisan ini, perbedaan antara istilah-istilah tersebut di atas tidaklah menjadi persoalan, karenanya penulis menggunakan sekaligus pemahaman tentang lingkungan hidup dan lingkungan alam.
3.2.2        Fungsi Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup memiliki multi-fungsi, baik bagi dirinya sendiri mapun bagi keberadaan unsur- unsur yang terdapat di dalamnya. Secara umum dikenal lima fungsi lingkungan hidup yakni fungsi produktif, fungsi pengatur, fungsi untuk memelihara, fungsi pemurni dan fungsi informasi.[65] Pertama, yang paling dominan dan banyak dikenal ialah fungsi produktif. Lingkungan hidup berfungsi untuk meningkatkan produktifitas, baik produktifitas dirinya sendiri maupun unsur-unsur yang ada di dalamnya. Manusia misalnya banyak mengambil manfaat dari lingkungan hidup untuk kebutuhan hidupnya. Pendayagunaan lingkungan hidup oleh manusia secara ramah dapat meningkatkan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri. Kedua, fungsi sebagai pengatur. Lingkungan hidup berfungsi untuk mengatur situasi atau keadaan. Lingkungan hidup yang asri dan terawat dapat memungkinkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi kehidupan dan keberadaan manusia dan seluruh unsur kosmos lain yang mendiaminya. Ketiga, lingkungan hidup berfungsi sebagai pemelihara. Lingkungan hidup memberikan ruang gerak bagi setiap unsur kosmos agar tetap hidup dan berada. Lingkungan hidup yang asri memberi kemungkinan bagi terpeliharanya kehidupan dan keberadaan semua unsure kosmos.  Keempat, fungsi pemurni. Lingkungan hidup mempunyai fungsi untuk memurnikan situasi atau keadaan. Lingkungan hidup yang banyak ditumuhi pepohonan akan mampu menyerap banyak karbondioksida dan mengeluarkan gas oksigen yang sangat dibutuhkan manusia dan hewan. Kelima, berfungsi sebagai sarana atau media penyampaian informasi. Sulit dibayangkan kalau lingkungan tidak ada pasti informasi tidak dapat disampaikan dengan baik. Lingkungan hidup menjadi sarana yang sangat urgen dalam proses penyampaian dan penerimaan informasi.
Persoalan lingkungan yang marak terjadi akhir-akhir ini salah satunya juga disebabkan oleh pemahaman manusia yang amat minim tentang fungsi lingkungan hidup. Manusia hanya mengetahui fungsi produktif dari lingkungan hidup dan mengabaikan keempat fungsi lainnya, padahal lingkungan hidup memiliki multi fungsi. Pemahaman ini merupakan salah satu akibat dari pandangan antroposentris terhadap lingkungan hidup yang melihat manusi sebagai pusat dan penguasa tunggal atas lingkungan hidup.

3.2.3        Kualitas Lingkungan Hidup

Memahami kualitas lingkungan hidup sangatlah penting karena hal ini merupakan dasar dan pedoman untuk menciptakan suatu relasi yang otentik dengan lingkungan. Kualitas lingkungan yang dimaksudkan di sini dapat diartikan dalam kaitannya dengan kualitas hidup, di mana dalam lingkungan yang baik kualitasnya terdapat potensi untuk berkembangnya kualitas hidup yang tinggi.[66]
Kualitas lingkungan hidup diukur dari derajat dipenuhinya kebutuhan hidup sebagai makhluk hidup hayati dan dipenuhinya kebutuhan hidup manusiawi serta derajat dipenuhinya kebebasan untuk memilih. Lingkungan hidup berkualitas baik bila ketiga kriteria ini dipenuhi secara seimbang, dan tidak melebihi ambang batas ketersediaan sumber daya alam yang ada dalam lingkungan tersebut.  

3.2.4        Taman Eden: Gambaran Lingkungan Hidup dalam Kitab Kejadian 2: 9-14

Penulis Kitab Kejadian melukiskan “taman Eden” sebagai sebuah taman yang indah dan menarik. Taman Eden merupakan taman yang ditumbuhi oleh berbagai jenis pepohonan yang buahnya enak untuk dimakan. Ada pohon tentang kehidupan yang mengajarkan tentang yang baik dan yang buruk. Ada sungai yang mengalir untuk membasahi seluruh taman yang bercabang empat yakni Pison, Gihon, Tigris dan Efrat. Pepohonan, sungai dan harta karun merupakan faktor-faktor penunjuk yang mengatakan betapa indahnya taman Eden.[67]
“Kata taman” oleh Alkitab Yunani diterjemahkan dengan kata Firdaus. Sedangkan kata “Eden” pada mulanya mungkin hanya berarti padang belantara. Orang Yahudi mengartikan kata Eden dengan berdasarkan kata Ibrani yang berarti kenikmatan. Taman Eden berarti taman Allah yang dilawankan dengan padang gurun dan padang belantara, yang melaluinya dilukiskan keindahan manusia bersama Allah.[68]
Suasana hidup dalam taman Eden merupakan suasana yang penuh damai dan bahagia. Manusia berdamai dengan seluruh ciptaan lainnya dan menjalin relasi yang harmonis dengan mereka. Taman ini ditumbuhi oleh aneka pepohonan dan juga pohon kehidupan yang mengatur tentang kebaikan dan keburukan.
Cerita taman Eden merupakan suatu teologi naratif. Pencerita menyusun cerita ini dengan maksud untuk menjelaskan peranan Allah pada awal mula penciptaan manusia dan bagaimana keadaan manusia pertama sebelum jatuh ke dalam dosa. Cerita ini juga menegaskan bahwa sejak awal mula Allah menguasai dan membimbing sejarah umat manusia dan pada dasarnya Allah menghendaki kebahagiaan umat manusia. Servulus Isaak memberi penegasan lain terhadap cerita taman Eden. Menurutnya, cerita taman Eden sebenarnya bermaksud untuk mengarahkan perkembangan manusia/dunia kepada suatu arah yang pasti. Ada banyak arah, namun surga merupakan arah tujuan utama.[69]
Cerita tentang taman Eden boleh jadi bukanlah merupakan suatu kisah sejarah bagaimana Tuhan menciptakan lingkungan hidup, akan tetapi cerita ini memberikan pendasaran teologis terhadap keberadaan alam lingkungan/lingkungan hidup, tempat manusia hidup. Allah sendirilah yang menciptakan lingkungan hidup dan menempatkan manusia di dalamnya untuk bersama Dia melestarikan alam/lingkungan agar tetap asri dan nyaman bagi kehidupan dan keberlangsungan unsur-unsur kosmos. 

3.3  Kedudukan dan Pergumulan Manusia dalam Lingkungan Hidupnya

3.3.1        Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Hidup

Kedudukan manusia di tengah lingkungan hidup dapat dilihat dari dua segi yakni segi struktur prilaku dan kemampuan serta segi kedudukan dalam keseluruhan ekosistem.[70] Dari segi struktur prilaku dan kemampuan, manusia berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lainnya. Dari segi ini tingkatan yang paling rendah meliputi tingkat anorganik, kemudian tingkat organik, lalu tingkat hewan dan akhirnya manusia.
Dari segi kedudukan dalam keseluruhan ekosistem, manusia berada di antara unsur-unsur lainnya. Semua unsur dalam alam semesta membentuk suatu lingkaran ekosistem yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Semua unsur dalam alam semesta memberi sumbangan kepada seluruh ekosistem dari tempatnya masing-masing dan dengan caranya yang khas.

3.3.2        Pergumulan Manusia dalam Lingkungan Hidup

Kehadiran manusia di alam semakin memperkaya proses dinamis bumi yang sudah berlangsung sejak awal mula. Bumi tidak lagi mengalami proses dinamis pada dirinya sendiri tetapi sudah melibatkan manusia dan unsur-unsur kosmos yang lainnya dalam proses interaksi yang saling mempengaruhi. Pergumulan manusia di bumi rupanya berbeda dari zaman ke zaman. Hal ini berkaitan langsung dengan pola ekonomi dan kebudayaan masyarakat tertentu.[71]
Pada masyarakat peramu (memetik, berburu, dan mengumpulkan hasil hutan), relasi manusia dengan alam amat harmonis. Mereka tidak mengambil banyak dari alam. Ada saat memetik dan ada saat membiarkan lingkungan pulih kembali. Sesungguhnya masyarakat peramu sangat akrab dengan alam. Mereka hidup dari dan sangat bergantung pada alam. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati alam.
Sekitar 10.000 sampai 12.000 tahun yang lalu dimulai salah satu perubahan terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Pada saat itu masyarakat manusia mulai berpikir bagaimana caranya menggembalakan hewan dan mengolah tanah. Manusia mulai membuka lahan-lahan dengan membakar hutan agar nantinya dapat digunakan sebagai padang penggembalaan ternak atau juga lahan pertanian. Sejak zaman ini hubungan manusia dengan alam mulai bergeser, manusia tidak lagi memandang alam sebagai sahabat tetapi mulai memandang alam sebagai objek pemuas segala macam kebutuhan manusia.
Memasuki babak baru kehidupan manusia yang diawali dengan revolusi industri, pergumulan manusia dalam lingkungan hidup semakin membawa banyak persoalan bagi lingkungan hidup. Manusia menjadi semakin lalim dalam menguasai lingkungan hidup. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah pada usaha eksloitasi dan eksplorasi Sumber Daya Alam, penggunaan bahan bakar fosil, dan juga pertambahan penduduk yang begitu pesat merupakan dua hal utama yang mendorong munculnya krisis lingkungan hidup. Selain itu juga hal ini disebabkan oleh pola pikir manusia yang amat minim dalam hal hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup.






BAB IV
MENGEMBANGKAN RELASI ETIS MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM TERANG KOSMOLOGI KRISTEN

4.1  Masalah Lingkungan Hidup Dewasa Ini

Dewasa ini, lingkungan hidup menjadi perhatian dan keprihatinan dunia. Seluruh dunia prihatin dengan keberadaan lingkungan hidup yang kini bermasalah. Persoalan/ masalah lingkungan hidup itu merupakan persoalan global yang dialami dan dihadapi oleh semua pihak di seluruh belahan bumi. Pemanasan global dan efek rumah kaca, perubahan iklim bumi, penipisan lapisan ozon, penebangan hutan secara besar-besaran, dan pencemaran lingkungan hidup merupakan sederatan masalah yang kini terjadi pada lingkungan hidup.

4.1.1        Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca bila berjalan normal akan menjaga bumi agar tetap hangat. Gas-gas dalam atmosfer membentuk selimut yang memungkinkan sinar matahari mencapai permukaan bumi, tetapi menghalangi lolosnya panas. Selimut gas ini memerangkap panas dekat permukaan bumi dan menghangatkan atmosfer.[72] Hal ini tidak akan bermasalah kalau berjalan normal, tetapi akan bermasalah kalau konsentrasi gas-gas tersebut telah melampaui batas. Akibatnya bumi akan tersa sangat panas. Gejala pemanasan ini saat ini terjadi di seluruh dunia, sehingga dikenal dengan pemanasan global.
Dewasa ini, kadar CO2 dan gas-gas lainnya semakin meningkat di atmosfer. Akibatnya, radiasi panas ke ruang angkasa berkurang, lalu panas terperangkap seperti dalam rumah kaca dan bumi memanas. Gas-gas tersebut ialah CO2 (Carbondioksida) yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan bakar fosil, pembakaran serta pembusukan tumbuhan; gas chlorofluorocarbon yang dipakai dalam proses pendinginan dan berbagai bahan pelarut. Gas metan yang dihasilkan dari ternak-ternak, sawah dan sampah; mitrat oksida yang dibentuk oleh mikroba-mikroba, pupuk kimia serta bahan bakar fosil yang menyala.[73]
Mengenai masalah ini, dikatakan bahwa suhu bumi akan terus bertambah 2 derajat sampai 2050 dan akan menjadi 5 derajat jumlahnya pada akhir abad XXI, jika kenaikan konsentrasi gas-gas penyebabnya tetap. Hal ini akan berakibat lanjut pada mencairnya sejumlah es dari kedua kutub bumi.[74] Pencairan es dari kedua kutub ini membawa dampak pada tertutupnya sebagian daratan oleh samudera. Bila hal ini terjadi, kehidupan di bumi akan terancam punah.


4.1.2        Perubahan Iklim Bumi

Perubahan suhu bumi akibat pemanasan global memberi pengaruh buruk terhadap iklim bumi (cuaca dan musim). Pola-pola cuaca menjadi tidak menentu dan perkiraan cuaca menjadi semakin sukar. Kemarau yang berkepanjangan, badai, banjir dan angin ribut mungkin akan terjadi lebih serius dan lebih dahsyat dibanding masa yang lalu. Pemanasan atmosfer memperbesar suhu samudera dan berakibat pada bertambah tingginya permukaan laut.[75]
Persoalan ini membawa dampak yang buruk bagi hutan, padang rumput, dan ekosistem lainnya. Padang gurun akan semakin meluas. Bagi para petani perubahan iklim bumi yang tak menentu ini akan berakibat pada penurunan produksi pangan.

4.1.3        Penipisan Lapisan Ozon

Ozon adalah gas yang berupa molekul yang terdiri dari tiga atom oksigen (O3). Gas ini berada pada lapisan stratosfer dan berfungsi untuk melindungi bumi dari radiasi sinar ultraviolet yang berasal dari matahari. Sinar ultraviolet dapat menyebabkan aneka penyakit seperti kanker kulit, katarak, dan mengurangi kemampuan sistem kekebalan pada tubuh manusia. Sinar ini juga dapat merusakkan beberapa spesies tanaman, mengurangi daerah untuk tanaman pangan serta mengubah pola keikliman dunia.[76]
Mengenai penyebab menipisnya lapisan ozon, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pesawat supersonic dan senjata nuklir merupakan dua dari beberapa sebab menipisnya lapisan ozon. Selain itu juga Chlouroflourocarbon yakni gas yang berasal dari bahan untuk pendinginan dan penyemprotan aerosol merupakan gas yang menyebabkan menipisnya lapisan ozon.[77] Menurut laporan dari environment and development kit, dalam sepuluh tahun terakhir ini, lapisan ozon telah menipis 4 sampai 8 persen.[78] Sangat disayangkan apabila manusia tidak menyadari keberadaan ini. Bukan tidak mungkin, kalau lapisan ozon sudah sangat tipis maka kehidupan di bumi akan menjadi punah.

4.1.4        Penebangan Hutan

Hutan merupakan paru-paru dunia. Itulah slogan klasik yang sampai saat ini masih dihafal dan dipahami oleh hampir semua orang. Slogan ini rupanya hanya merupakan sederetan kata yang tak pernah dipahami secara praksis oleh manusia jaman sekarang. Dikatakan demikian karena saat ini lahan hutan sudah berkurang, entah akibat keserakahan manusia maupun karena proses alami.
Ada dua gejala yang memperburuk keadaan hutan di bumi yakni deforestasi dan desertifikasi.[79] Gejala deforestrasi adalah gejala pengurangan hutan yang menutupi permukaan bumi akibat penebangan untuk berbagai kebutuhan manusia dan industrialisasi. Hutan tropis di dunia, lebih separuhnya telah hilang sejak tahun 1950. Penelitian terbaru membuktikan bahwa daerah seluas Selandia Baru rusak setiap tahunnya.[80] Jumlah hutan luas menyusut. Akibatnya jumlah lahan kritis bertambah. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya erosi karena tidak ada lagi penahan dan peresap hujan.
Sedangkan gejala desertifikasi adalah suatu proses alami menuju penggurunan permukaan bumi. Gejala ini timbul karena berbagai sebab, antara lain penebangan hutan untuk lahan penggembalaan dan pertanian. Bila kedua gejala ini tidak diperhatikan secara serius, maka bumi akan kehilangan penadah dan peresap hujan, sehingga mudah longsor. Selain itu juga bumi akan kehilangan pepohonan yang bisa menyerap gas karbondioksida.

4.1.5        Pencemaran Lingkungan/ polusi

Lingkungan/alam tempat di mana manusia dan unsur-unsur kosmos berada dibentuk oleh banyak zat. Zat-zat tersebut bereaksi satu dengan yang lainnya dan menyediakan suatu kondisi atau keadaan yang nyaman bagi manusia dan organisme lainnya untuk tetap hidup dalam lingkungannya. Suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila konsentrasi zat-zat yang terdapat dalam lingkungan tersebut sudah melebihi ambang batas kemampuan manusia dan makhluk hidup lainnya untuk mengadakan metabolisme secara normal.[81]
Ada tiga bentuk pencemaran yang kini kian menggerogoti kosmos yakni pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran tanah.[82] Pencemaran udara disebabkan oleh bertambahnya gas karbondioksida dan klorofluorkarbon di atmosfir. Kedua gas ini banyak dihasilkan oleh industri-industri dan gas kendaraan bermotor serta pembakaran hutan dan sampah yang tidak teratur. Akibat dari pencemaran udara ini ialah berpengaruh besar pada menipisnya lapisan ozon dan juga mempertinggi kemungkinan terjadinya pemanasan global.
Polusi air terjadi karena pembuangan sampah dan limbah industri ke sungai atau laut. Saat ini, samudera-samudera di dunia yang memiliki banyak fungsi seperti pengatur iklim bumi, yang dapat disuling menjadi air tawar, yang dapat memberikan 100 juta ton makanan dari laut setiap tahunnya, yang kaya akan garam mineral, kini sedang dicemari. Penyebab pencemaran ini ialah pembuangan zat beracun dari industri, pembuangan limbah/kotoran dari daerah perkotaan, penggunaan pestisida, pupuk buatan serta penerapan metode pertanian modern. [83] Banyak air tanah juga sekarang terpolusi oleh bahan kimia organik dan nonorganik atau sampah radioaktif yang kini kian bertambah. Air tanah yang tercemar akan menyebabkan kanker, hati dan buah pinggang serta menyebabkan kerusakan pada sistem saraf sentral. Cukup disayangkan karena air tanah yang telah tercemar tidak berbau, tidak berwarna dan tidak terasa.[84]
Selain air dan udara, tanah juga mengalami pencemaran. Pencemaran tanah disebabkan oleh penguburan limbah industri, sampah-sampah, pembuangan timah hitam dari mobil serta penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida yang tidak ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan tanah menjadi tidak subur dan tandus. Akibatnya banyak tumbuhan dan hewan tertentu yang hidup dalam tanah menjadi mati dan bahkan terarah kepada kepunahan. 

4.2  Dominasi Manusia atas Kosmos: Akar Penyebab Masalah Lingkungan Hidup

Persoalan lingkungan hidup yang kini marak terjadi bukanlah suatu masalah baru. Masalah ini merupakan suatu masalah yang telah hadir dalam sejarah peradaban manusia sejak zaman dahulu kala. Dalam segala zaman, persoalan ini menuntut manusia untuk mencari dan menemukan cara dan metode yang tepat untuk berusaha mengembalikan lingkungan hidup kepada keadaan yang aman dan asri. Tuntutan ini merupakan kewajiban hakiki manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan bermoral.
Ada dua faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yakni faktor alamiah dan faktor aktivitas manusia.[85] Gempa bumi, erupsi vulkanik, banjir, topan, badai merupakan beberapa kejadian alamiah yang menyebabkan persoalan lingkungan hidup. Sedangkan faktor aktivitas manusia berupa intervensi manusia terhadap alam dengan cara mengeksplorasi, mengeksploitasi serta menggunakan alam untuk kebutuhan hidup dan industrialisasi. Intervensi manusia terhadap alam rupanya merupakan faktor penyebab utama pengrusakan lingkungan hidup. Hal ini sangat erat dipengaruhi oleh cara pandang dan sikap hidup manusia terhadap lingkungan hidup. Berikut ini akan dibahas tiga pandangan manusia yang keliru dalam melihat, memahami dan memperlakukan lingkungan hidup.

4.2.1        Pendekatan Ekologi Yang Pincang

Pendekatan ekologi yang pincang yang dimaksudkan di sini ialah beberapa teori tentang lingkungan hidup yang dibuat dan diterapkan manusia, yang amat berat sebelah. Teori-teori tersebut hanya menguntungkan unsur kosmos tertentu dan merugikan unsur kosmos yang lainnya. Jonathan Huges mengemukakan tiga macam pendekatan ekologis yang pincang yang disebut sebagai entry point the death of the cosmos (pintu masuk menuju kematian kosmos) yakni anthroposentrik (human centered Ethic), biosentris (biotic centered ethic/life centered ethic) dan ecocentric (economic centered ethic).[86] Ketiga pandangan ini merupakan pandangan yang menyebabkan munculnya aneka persoalan yang mengganggu keteraturan kosmos. 


4.2.1.1  Human-Centred Ethic (Anthroposentrisme)

Teori ini menempatkan manusia sebagai pusat dari lingkungan hidup. Manusia menjadi jantung perhatian dalam pembahasan tentang lingkungan hidup. Titik berat dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta.[87]
Tak dapat disangkal lagi bahwa peradaban modern berakar dalam pandangan yang antroposentris ini. Hampir semua segi kehidupan modern selalu bernuansa antroposentris. Lingkungan hidup dimanipulasi demi kepentingan manusia dan mengabaikan hak dan tujuan unsur-unsur kosmos yang lainnya. Manusia berhak untuk menguasai alam semesta. Manusia belajar mengolah bahaya-bahaya yang disebabkan oleh alam dan melatih diri untuk memanipulasi kekuatan alam agar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan biologis manusia. Pertimbangan dalam memanfaatkan dan mengolah lingkungan semata-mata hanya demi kebutuhan dan kepentingan manusia.
Pandangan yang antroposentris ini membawa dampak buruk bagi unsur kosmos lainnya selain manusia. Lingkungan hidup dan segala unsur yang ada di dalamnya hanyalah sebagai alat pemuas nafsu manusia. Selama unsur itu berguna bagi kehidupan manusia, ia akan dilestarikan dan dijaga, dan bila unsur itu tidak atau kurang menguntungkan manusia, maka ia diabaikan. Manusia sungguh-sungguh manjadi tuan dan penguasa mutlak atas lingkungan hidup.

4.2.1.2  Life-Centered ethic (Biosentrisme)

Pandangan ini beranggapan bahwa semua unsur alam semesta yang hidup patut mendapat pertimbangan moral. Cakupan makhluk hidup menjadi lebih luas. Makhluk hidup bukan hanya mencakup manusia dan hewan tetapi juga tumbuhan dan organisme bersel tunggal.[88] Memandang lingkungan hidup dan mengelolanya hendaknya mempertimbangkan hak hidup semua makhluk hidup.
Pendekatan ini pada galibnya bertujuan baik karena tidak hanya mempertimbangkan keuntungan bagi manusia, tetapi unsur-unsur kosmos yang lainnya. Namun pada tataran praktis, pendekatan ini tetap menempatkan manusia sebagai makhluk hidup yang sanggup menguasai makhluk hidup lainnya. Itulah sebabnya walaupun secara moral pendekatan ini sudah agak seimbang, namun tetap terlihat sebagai suatu pendekatan yang pincang. Pincangnya pendekatan ini karena penghormatan dan pertimbangan moral yang diberikan kepada lingkungan hidup hanya berpatokan pada kehidupan, sedangkan benda mati atau unsur alam yang tidak hidup, boleh dimanipulasi untuk kepentingan unsur kosmos yang tergolong makhluk hidup. Batu, pasir, bahan galian mineral misalnya boleh dikuras habis demi kepentingan kehidupan manusia atau makhluk hidup lainnya. Pandangan seperti ini sebenarnya merupakan pandangan yang amat berat sebelah, di mana segala unsur di alam semesta yang tidak hidup boleh dipergunakan secara bebas oleh makhluk hidup.

4.2.1.3  Economic-Centered Ethic (Ekosentrisme)

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Aldo Leopold sekitar tahun 1930-1940 saat ia mempopulerkan istilah ”Etika alam”. Etika ini memperluas persekutuan antara manusia dengan semua unsur alam lainnya. Kedudukan dan peran manusia diubah, dari penakluk alam lingkungan menjadi anggota alam lingkungan yang berpartisipasi dalam relasi persaudaraan. Alam lingkungan sesungguhnya dilihat sebagai organisme yang memiliki cara atau irama hidup tertentu.[89]
Tujuan dari perumusan teori ekosentrisme ini sebenarnya amat luhur dan memberi keuntungan bagi lingkungan hidup seluruhnya. Namun teori ini menjadi pincang dalam penerapannya karena ulah manusia yang menerjemahkannya secara berat sebelah. Penerapan berat sebelah ini terlihat bahwa rumusan teori ini lebih darahkan kepada kepentingan ekonomis manusia. ”Oikos” (rumah tangga) lingkungan hidup lebih diarahkan kepada kesejahteraan ekonomi manusia, padahal etika ekologis hendak memberi pendasaran yang seimbang pada ekonomi seluruh unsur yang ada dalam lingkungan hidup. Hal ini diperparah lagi oleh kecerdikan manusia yang memandang alam sebagai unsur yang mesti dimanipulasi demi menyejahterahkan kehidupan manusia, tanpa pernah memahami bahwa hal itu sangat mengganggu keseimbangan perekonomian lingkungan hidup seluruhnya.

4.2.2        Kerusakan Lingkungan Hidup Sebagai Kondisi Negatif Terhadap Nilai Etis Manusiawi

Manusia ialah makhluk bermoral. Konsekuensi dari pemahaman ini ialah bahwa setiap tindakan manusia selalu dilaksanakan dan dipertimbangkan secara moral. Pertimbangan moral dimaksud tidak hanya diperuntukkan dalam menilai tindakan manusia terhadap sesama manusia tetapi juga tindakan manusia terhadap unsur non-manusia dalam lingkungan hidup. Tindakan manusia yang sewenang-wenang terhadap unsur lain di luar dirinya pada gilirannya akan mambahayakan manusia itu sendiri.
Kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu kondisi negatif terhadap nilai-nilai etis. Kondisi negatif tersebut menyata dalam empat hal berikut.[90] Pertama, kerusakan lingkungan hidup menimbulkan rasa gelisah dan keterancaman eksistensial. Manusia merasa kehilangan sesuatu yang dibutuhkan. Ia berada dalam suatu kondisi yang tak menyenangkan, namun tak bisa keluar dari situasi itu. Pemanasan global misalnya, sangat meresahkan manusia tetapi siapa pun tidak bisa keluar dari kondisi pemanasan global tersebut. Kedua, kerusakan lingkungan mengungkapkan akumulasi dosa sosial. Interaksi antarmanusia yang berciri egoistis akan menghasilkan berbagai sarana yang secara kumulatif makin merusakkan lingkungan hidup. Ketiga, kerusakan lingkungan merupakan suatu penyangkalan atau penghancuran nilai-nilai etis dalam hubungan dengan generasi mendatang. Generasi mendatang juga adalah manusia yang membutuhkan hak untuk hidup dan berhak atas kekayaan alam yang ada di bumi. Oleh karenanya bila manusia dewasa ini merusak lingkungan hidup itu berarti dia membunuh generasi mendatang. Merusak lingkungan hidup sama halnya dengan merampas hak hidup generasi yang akan datang. Keempat, kerusakan lingkungan hidup juga mengungkapkan penyangkalan terhadap eksistensi manusia. Secara eksistensial, sikap yang tepat terhadap lingkungan ialah pemeliharaan. Sikap ini membawa konsekuensi pada upaya menggunakan sumber-sumber alam untuk kehidupan manusia dan juga upaya pelestariannya. Kerusakan lingkungan hidup justru banyak terjadi karena manusia tidak tahu menggunakan secara bertangung jawab sumber-sumber alam dan juga tidak pernah terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Sikap manusia seperti inilah yang merupakan suatu sikap penyangkalan terhadap eksistensinya sebagai manusia.  

4.3  Mengembangkan Relasi Manusia dengan Lingkungan Hidup dalam Terang Kosmologi Kristen

Mengembangkan relasi etis manusia dengan lingkungan hidup merupakan usaha untuk menciptakan suatu kosmos yang dipenuhi dengan keharmonisan. Situasi harmonis ini dapat tercipta apabila manusia sebagai makhluk yang berakal dan bermoral serta makhluk religius ini memiliki paradigma yang kosmosentris dalam berelasi dengan lingkungan hidupnya. Paradigma kosmosentris ini pada tataran praktis terwujud dalam sikap manusia yang berelasi etis dengan lingkungan hidupnya. Dalam terang kosmologi kristen, relasi ini berpangkal dari tuntutan moral dasar dan keberadaan manusia sebagai imago Dei.  

4.3.1        Perubahan Paradigma Manusia Terhadap Ekologi

Kerusakan lingkungan hidup yang kini kian parah menuntut manusia untuk senantiasa merumuskan paradigma baru dalam berelasi dengan lingkungan hidupnya. Paradigma lama dalam memandang lingkungan hidup diwarnai oleh pandangan antroposentris. Manusia merupakan pusat dan penguasa atas alam semesta. Menanggapi paradigma lama ini, Joanna Macy mengumandangkan suatu paradigma baru terhadap lingkungan hidup. Paradigma yang digagas Joanna ini mengandung dua pokok pikiran utama yakni deep ecology dan penghijauan diri.[91]
Deep ecology mempunyai cakrawala pandangan yang menyeluruh, holistik. Latar belakangnya adalah dimensi saling keterkaitan antarorganisme dalam lingkungan hidup. Deep ecology mengandung pemikiran bahwa menghadapi krisis ekologi dewasa ini, haruslah diusulkan proses transformasi yang radikal dalam cara pikir, cara pandang, dan cara bertindak. Setiap unsur dalam alam semesta memiliki nilai intrinsik dan berhak untuk berada dan terus berkembang. Nilai intrinsik yang dititikberatkan dalam hal ini ialah sistem keseluruhan organisme lingkungan hidup yang mendukung keberadaan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.[92]
Selain deep ecology, Macy juga menekankan pentingnya kesadaran manusia akan dirinya sebagai pribadi dan bagian dari alam semesta. Manusia bukan penghuni tunggal jagat raya melainkan berada bersama ciptaan yang lain. Manusia dilukiskan sebagai sebidang tanah berumput, tempat penyusunan strategi demi hidup dan pertahanan diri. Manusia bukan lagi makhluk yang hanya memikirkan keperluan dan kepentingan diri, melainkan makhluk yang senantiasa membuka diri dan menyelami kedalaman makhluk dan unsur ciptaan lain. Dalam diri manusia terjadi proses transformasi rohani yang memperbaharui manusia. Manusia hendaknya memiliki dan menunjukkan kesetiakawanan dengan ciptaan lain. Inilah yang dimaksudkan oleh Macy dengan penghijauan diri.[93]
Senada dengan konsep deep ecology dan penghijauan diri yang digagas oleh Joanna Macy, Jonathan Huges juga menawarkan suatu paradigma baru dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Huges menawarkan suatu etika ekologi yang baru yang disebutnya pendekatan holistik cosmocentrik (Cosmos centered).[94] Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga benda mati merupakan entitas kosmos yang memiliki hak yang sama. Mencederai satu sama lain berarti melukai tatanan kosmos itu sendiri.
Baik Joanna Macy maupun Jonathan Huges sama-sama menawarkan suatu paradigma baru dalam memahami lingkungan hidup. Keduanya menawarkan suatu etika kosmosentris dalam memahami keberadaan manusia dan lingkungan hidup. Paradigma inilah yang hendaknya juga diperhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan aneka persoalan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Huges mengemukakan empat hal penting yang mesti melandasi etika kosmosentris.[95] Pertama, nilai intrinsik interaktif komponen cosmophere perlu dibangun harmonis. Semua komponen kosmos memiliki dalam dirinya suatu nilai intrinsik yang sangat berguna bagi kelangsungan kosmos. Nilai intrinsik masing-masing unsur kosmos hendaknya dihargai dan tetap dilestarikan agar kosmos tetap teratur dan terarah pada tujuannya yang luhur. Kedua, menghargai pluralistik komponen biotik dan abiotik. Pluralistik kemponen-komponen yang terdapat dalam kosmos merupakan daya dukung keindahan dan kelestarian kosmos. Kosmos terdiri dari aneka unsur yang mempunyai keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini justru ada karena masing-masing unsur mempunyai kekhasannya. Kekhasan setiap unsur kosmos inilah yang digunakan untuk saling melengkapi antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Ketiga, tanpa mengecilkan peran manusia sebagai homo faber, manusia mesti menciptakan relasi ramah terhadap kosmos dan kandungannya. Manusia memang mempunyai kedudukan yang istimewa dalam kosmos. Keistimewaan itu memampukan manusia untuk bisa mengatur unsur-unsur kosmos lainnya. Ia hadir sebagai makhluk pekerja yang mampu mengolah kosmos. Peran manusia sangat penting demi kelestarian kosmos. Dalam menjalankan perannya ini manusia hendaknya menciptakan relasi yang ramah terhadap kosmos dan manjalankan perannya secara bertanggung jawab. Keempat, relasi take and give perlu dikembangkan. Relasi yang dikehendaki dalam kosmos adalah relasi saling memberi dan menerima dan menjaga kelestarian masing-masing unsur. Tidak dibenarkan kalau relasi yang dijalankan hanya menguntungkan pihak manusia atau pihak makhluk hidup lainnya dan merugikan unsur kosmos lainnya. Relasi yang dibuat hendaknya mempertimbangkan keuntungan semua unsur kosmos.

4.3.2        Relasi Manusia dengan Lingkungan Hidup yang Bertolak dari Tiga Prinsip Dasar Moral dan Moral Lingkungan Hidup

Masalah lingkungan hidup umumnya terkait dengan krisis moral dalam usaha memahami ciri saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidup. Manusia kurang berminat untuk merenungkan keadaan lingkungan hidupnya. Manusia lebih banyak dipengaruhi oleh pola pikir yang antroposentris yang menempatkan dirinya sebagai pusat dan penguasa lingkungan hidup. Pola pikir seperti ini mesti diubah dengan pemahaman yang baru terhadap lingkungan hidup yang mana di dalamnya manusia mesti menciptakan relasi etis dengan lingkungan hidup. Manusia mesti menempatkan dirinya sebagai bagian dari lingkungan hidup sehingga dia mampu mengembangkan pola relasi yang diwarnai oleh iklim persaudaraan universal. Dalam mengembangkan relasi etis dengan lingkungan hidup, manusia hendaknya memahami tiga prinsip moral dasar dan dua hal utama dalam moral lingkungan hidup. Tiga prinsip moral dasar tersebut menegaskan secara lebih mendalam tentang keberadaan manusia sebagai makhluk individu, sedangkan dua prinsi moral lingkungan hidup menekankan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.

4.3.2.1  Tiga Prinsip Moral Dasar

Ada tiga prinsip dasar moral yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan relasi dengan lingkungan hidup yakni prinsip sikap baik, prisip keadilan dan prinsip pengembangan diri manusia.[96]
Prinsip sikap baik menegaskan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu baik. Prinsip ini juga berlaku juga bagi lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu sesungguhnya baik dan menyenangkan. Lingkungan hidup adalah sahabat bagi manusia dan bukan musuh. Karena lingkungan hidup sebagai sahabat, maka relasi antara manusia dengan lingkungan hidup harus merupakan relasi yang saling menghargai dan mendukung, bukan saling bemusuhan
Prinsip keadilan mau mempertajam nilai moral yakni bahwa prinsip sikap baik tidak boleh melanggar hak orang lain. Dalam pembicaraan tentang relasi manusia dengan lingkungan hidup, prinsip ini berarti menghormati hak orang lain dan seluruh unsur kosmos yang membutuhkan keseimbangan. Lingkungan membantu manusia untuk menjalakan hidupnya, tetapi manusia juga harus bersikap adil terhadap hak hidup spesies lain dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Sedangkan prinsip pengembangan diri  manusia mau menegaskan bahwa prinsip sikap baik dan adil harus mendukung kualitas hidup manusia. Manusia tidak boleh menjadi korban dari penghormatan besar terhadap alam/lingkungan. Satu hal yang ditegaskan di sini ialah bahwa dalam relasi etis dituntut kepekaan batin manusia untuk sanggup merasakan atau melihat apakah sikap dan tindakannya memberikan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan atau tidak, dan menilai apakah sikap dan tindakan itu masih disebut etis atau tidak.

4.3.2.2  Dua Prinsip Moral Lingkungan Hidup

Moral lingkungan hidup yang baru menekankan dua sasaran pokok yakni nilai moral intrinsik dan nilai moral sosial.[97] Nilai moral intrinsik adalah nilai yang terdapat dalam diri segala sesuatu. Semua unsur yang terdapat dalam alam semesta memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Nilai tersebut berfungsi untuk mengatur fungsi alamiah, seperti keseimbangan, kependudukan. Sasaran kedua yang ditekankan dalam moral lingkungan hidup ialah moral sosial, seperti kebaikan yang perwujudannya tergantung pada tujuan dan kepentingan komunitas manusia.
Nilai moral intrinsik dan moral sosial saling terkait dan manusia tidak bisa memutlakkan diri sebagai makhluk tunggal penyandang nilai intrinsik dan mengabaikan nilai intrinsik ciptaan lainnya. Manusia dan lingkungan hidup serta unsur-unsur kosmos yang lainnya memiliki nilai intrinsik dan senantiasa berada dalam suatu relasi yang bersahabat dan harmonis. Nilai moral intrinsik dan moral sosial memungkinkan manusia dan unsur lainnya saling berelasi dalam suatu kesetiakawanan universal. Manusia memandang lingkungan/alam sebagai sahabat dan bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup.
4.3.3        Relasi Manusia yang Bertolak dari Keberadaan Manusia Sebagai Imago Dei

Kitab Kejadian 1: 26-29 memberikan gambaran yang jelas tentang manusia sebagai imago Dei. Dasar biblis yang digunakan penulis dalam memahami manusia sebagai imago Dei ini ialah kitab Kejadian. Sebagai imago Dei, manusia adalah representan dari kekuasaan Allah atas ciptaan. Manusia memiliki kekuasaan atas alam ciptaan, namun kekuasaan tersebut bukanlah kekuasaan mutlak, melainkan kekuasaan yang berasal dari Allah dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan sendiri. Dari semua ciptaan Tuhan hanya manusia saja yang bisa berkomunikasi/berdialog dengan-Nya. Manusia sungguh menjadi wakil Allah di dunia.
Sebagai wakil Allah, keberadaan manusia di dalam alam semesta hendaknya menghadirkan kebijaksanaan dan kebaikan hati Allah kepada seluruh ciptaan.  Peran manusia sebagai pengejawantahan kebijaksanaan dan kebaikan hati Allah terwujud dalam panggilannya untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan. Manusia adalah co-operator dan co-creator dari sang pencipta. Manusia selalu mengambil bagian dalam tindakan kreatif sang pencipta untuk mentransformasikan, membentuk kembali dan memelihara alam semesta. Di sinilah nampak keistimewaan manusia dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Penulis Kitab Kejadian menulis bahwa manusia mempunyai kuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan segala binatang melata, hewan serta segala sesuatu yang ada di alam semesta ( Bdk. Kej 1:28). Pada bagian lain kitab yang sama ditulis Allah juga memberi kutukan kepada ular karena menggoda manusia (Bdk. Kej 3 :14). Ular mewakili ciptaan lainnya selalu berada dalam pengawasan manusia, karena manusialah yang mampu menggunakan akal, pikiran dan kehendaknya untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
Konsep manusia sebagai imago Dei ini hendaknya tidaklah diterjemahkan dalam paradigma antroposentris, tetapi dalam paradigma kosmosentris. Keberadaan manusia yang istimewa ini hendaknya merupakan berkat bagi ciptaan lainnya. Kehadiran manusia dalam suatu lingkungan hendaknya membuat sesama ciptaan lainnya merasakan kebaikan dan cinta kasih Sang Pencipta. Manusia hendaknya menyadari diri sebagai bagian dari penghuni komos. Manusia bukanlah pemilik tunggal dan penguasa atas kosmos. Penguasa dan pemilik kosmos adalah sang pencipta sendiri. Sebagai bagian dari penghuni kosmos, manusia mesti berelasi dengan sesama penghuni kosmos yang lainnya. Karena itu adalah tidak benar kalau manusia bertindak sewenang-wenang terhadap lingkungan hidup atau juga unsur kosmos lainnya.

4.4  Relasi Persaudaraan Etis Universal: dari Kesadaran Berfilsafat Menuju Praksis Hidup yang Kosmosentris

Relasi manusia dengan lingkungan hidup dewasa ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting. Dikatakan demikian karena hal ini sangat menentukan bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan keberadaan lingkungan hidup. Usaha mencari dan menemukan konsep untuk menjalin relasi antara manusia dengan lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh cara pandang manusia itu sendiri dalam melihat diri dan lingkungannya. Tak dapat disangkal lagi kalau dikatakan bahwa cara pandang yang terlampau antroposentris telah membawa lingkungan hidup/alam ke dalam suatu persoalan global yang memprihatinkan.
Dalam paradigma baru terhadap lingkungan, manusia melihat lingkungan hidup sebagai sahabat dalam kosmos yang saling berelasi. Relasi ini tentu harus digagas oleh manusia, karena manusialah yang merupakan imago Dei yang berpikiran, berperasaan, dan berkehendak. Walaupun demikian manusia tidak boleh mengobjekan alam, melihat dan memandang alam sebagai objek pemuas keinginannya, tetapi harus memandang alam sebagai sesama sahabat, karya sang pencipta. Lebih dari itu, manusia juga mesti tampil sebagai wakil Allah yang menampakkan kemuliaan, kebijaksanaan dan kebaikan hati Sang Pencipta bagi sesama ciptaan lainnya. Di sinilah manusia dan seluruh unsur kosmos terjalin dalam suatu relasi universal sebagai rekan kerja, sesama saudara ciptaan sang Pencipta yang senantiasa bekerja sama demi kelangsungan kosmos.
Relasi yang diharapkan terjalin dalam kosmos adalah suatu relasi etis yang melihat semua unsur kosmos sebagai sesama ciptaan. Relasi tersebut merangkum semua pluralitas komponen biotik dan abiotik dan semua unsur merasa diri bagian dari alam dan bukannya sebagai penguasa yang lalim dan penghuni tunggal atas kosmos. Entah manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga benda mati merupakan entitas kosmos yang mempunyai hak yang sama atas hidup dan keberadaannya.
Persoalan lingkungan hidup dewasa ini lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab atas alam/lingkungan serta semua unsur kosmos yang lainnya. Itulah sebabnya, manusia kini harus mengubah paradigmanya terhadap lingkungan. Manusia harus melihat lingkungan hidup dalam paradigma yang baru. Tepatnya manusia mesti meninggalkan pandangan hidup yang antroposentris, biosentris dan economic-sentris yang sangat kaku, dan menggantikannya dengan pendekatan yang holistik cosmosentrik. Pendekatan ini mengajak manusia untuk melihat bahwa relasi dengan lingkungan hidup mesti bertolak dari suatu etika kosmosentris.
Perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan tidak akan berdaya guna kalau tidak disertai tindakan nyata. Relasi etis antara manusia dan lingkungan hidup perlu dikonkretisasikan dalam upaya rehabilitasi dan gerakan sadar lingkungan.[98] Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan penghijauan atau reboisasi. Gerakan sadar lingkungan dapat dilakukan melalui edukasi dan pembiasaan-pembiasaan perilaku tertentu yang sederhana dan biasa dalam hidup sehari-hari. Edukasi yang dimaksudkan di sini ialah pendidikan sadar lingkungan kepada masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, penjelasan-penjelasan tertentu yang praktis agar bergaya hidup selaras dengan alam dan menghindari upaya pembakaran dan pembasmian hutan.
Selain melalui edukasi, gerakan sadar lingkungan juga berupa perilaku-perilaku yang dibiasakan dan akhirnya membudaya dalam masyarakat. Masyarakat dibiasakan untuk menyadari pengaruh buruk dari pembakaran hutan seperti pencemaran udara, menipisnya lapisan ozon. Masyarakat juga dibiasakan menyadari bahaya banjir yang disebabkan oleh erosi, penggundulan hutan. Masyarakat juga dibiasakan untuk solider dengan para korban bencana alam dan juga alam itu sendiri.
Isi dari gerakan sadar lingkungan ini antara lain berupa pengolahan sampah yang ramah lingkungan, penghematan pemakaian air, memotong rumput di halaman secara teratur, penanaman pohon-pohon berbiji dan buah-buahan, tidak merokok di sembarang tempat, penghematan pemakaian listrik, mengurangi pemakaian bahan kemasan dari plastik, dan lain-lain.[99] Gerakan sadar lingkungan ini pada prinsipnya mengajak manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan.
Gerakan sadar lingkungan merupakan tanggung jawab semua orang. Dalam relasi persaudaraan yang universal, gerakan ini menyadarkan manusia akan suatu tanggung jawab global manusia terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu gerakan ini hendaknya dijalankan oleh semua orang tanpa kecuali. Lembaga pemerintahan, LSM, lembaga-lembaga keagamaan, masyarakat dan orang perorangan hendaknya bersemangat dalam gerakan sadar lingkungan ini. Kerja sama antar lembaga-lembaga ini juga sangat mempengaruhi keberadaan kosmos dan keberlangsungan semua unsur yang ada di dalamnya, dan berguna baik generasi sekarang maupun generasi mendatang.






BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Manusia sejak awal diciptakan oleh pencipta sebagai wakilnya yang bertugas untuk mengarahkan seluruh kosmos kepada persatuan hidup bersama-Nya. Manusia dengan itu sebenarnya tidak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hasil karya Allah lainnya. Manusia memiliki keistimewaan justru terletak pada keberadaannya sebagai makhluk yang bisa berpikir dan sadar bahwa ia sadar. Kesadaran inilah yang membuatnya berfilsafat-berpikir tentang keseluruhan realitas yang ada.
Keberadaan manusia yang direfleksikannya sendiri akan berarti apabila manusia juga mampu berpikir tentang realitas lain di luar dirinya. Alam merupakan salah satu realitas yang berada di luar diri manusia dan amat menentukan keberadaan manusia. Alam (lingkungan hidup) merupakan tempat untuk manusia boleh hidup dan mengembangkan dirinya. Tentu manusia dapat hidup dan berada aman dalam lingkungan bila lingkungan hidup berkondisi aman dan kondusif. Keadaan lingkungan hidup seperti ini merupakan kehendak sang pencipta sejak saat pertama Dia menciptakan sampai selama-lamanya. Manusia pun ditempatkan oleh sang Pencipta dalam lingkungan alam ciptaan-Nya untuk menjaga dan melestarikannya. Manusia diberi-Nya kuasa atas kosmos untuk mengarahkan seluruh kosmos kepada tujuan akhir keberadaannya yakni Tuhan sendiri yang adalah alfa dan omega.
Sayangnya, tugas dan tanggung jawab manusia yang luhur ini seringkali dilalaikan secara sengaja oleh manusia demi kepentingan dirinya. Manusia mengklaim dirinya sebagai penguasa tunggal atas kosmos. Lingkungan hidup dan segala kandungan yang ada di dalamnya dikuasai dan dikuras habis demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Lingkungan bukan lagi menjadi rumah yangaman bagi manusia, demikianpun lingkungan tidak lagi memandang manusia sebagai rekan dan raja yang bijaksana. Beraneka macam persoalan mulai menggerogoti kosmos. Pemanasan global dan efek rumah kaca, perubahan iklim bumi, penipisan lapisan ozon, penebangan hutan secara besar-besaran, dan pencemaran lingkungan hidup merupakan sederatan masalah yang kini terjadi pada lingkungan hidup. Kosmos seakan-akan diarahkan menuju chaos karena aneka persoalan lingkungan hidup kini kian menjamur.
Persoalan lingkungan hidup yang kini mengglobal, telah memaksa manusia yang adalah raja atas kosmos untuk secepat mungkin dan terus menerus mencari jalan keluar dari kosmos yang kini bermasalah. Sebenarnya usaha ini telah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman ionia pertama telah ada konsep yang berusaha memberikan penghormatan atas alam. Orang –orang Yunani kuno sangat menghargai alam dan menjalin hubungan yang akrab dengan alam. Demikianpun pada zaman Yunani modern, zaman Bapa Gereja, Skolastik, dan juga dunia modern dewasa ini. Semua orang banyak yang berusaha  menyelamatkan kosmos dari kehancuran.
Lahirnya moral Ekologi pada tahun 1930-an Yang diprakarsai oleh Aldo Leopold merupakan kelahiran baru dalam kesadaran manusia. Di sini manusia tidak hanya berpikir tentang bagaimana dia bisa hidup tetapi mulai sadar bahwa dirinya bisa hidup bersama unsur lainnya dalam alam semesta. Manusia mulai menyadari bahwa dirinya hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kosmos. Kesadaran ini selanjutnya membawa manusia kepada permenungan yang amat mendalam tentang bagaimana melestarikan lingkungan hidup. Manusia mencari upaya agar alam/lingkungan hidup tetap lestari dan menjadi tempat yang aman bagi kehidupan dan keberadaan seluruh unsur kosmos.
Pola pikir manusia terhadap lingkungan hidup ini lebih lanjut terarah pada bagaimana menemukan relasi antara manusia dengan lingkungan hidup. Relasi antara manusia dengan makhluk hidup memiliki dasar pada hakikat keduanya sebagai karya Sang Pencipta. Namun melebihi karya ciptaan lainnya manusia ditetapkan oleh Sang Pencipta sebagai wakil-Nya di dunia. Manusia ditetapkan Allah sebagai wakil-Nya yang bertugas untuk menggembalakan ciptaan yang lainnya. Tugas kegembalaan yang diembankan oleh manusia merupakan representasi dari kekuasaan Allah. Allah mempunyai kekuasaan mutlak atas seluruh ciptaan-Nya, sedangkan manusia mempunyai kuasa partisipatif yakni mengambil bagian dalam kuasa Allah.
Dalam menjalankan kekuasaan ini, manusia hadir sebagai raja yang bijaksana. Kebijaksanaan manusia dalam menguasai alam semesta akan terwujud bila manusia mengarahkan alam semesta kepada keteraturan. Hal ini berarti bahwa manusia hadir sebagai gembala yang mengarahkan seluruh kosmos kepada Penciptanya. Kisah penciptaan yang ditulis dalam kitab kejadian sangat jelas menguraikan bagaimana seharusnya posisi/kedudukan manusia di tengah kosmos dan bagaimana semestinya manusia berelasi dengan unsur-unsur kosmos seperti lingkungan hidup.
Kebijaksanaan manusia dalam mengatur dan mengarahkan alam semesta terwujud dalam sikapnya yang harus menjalin suatu relasi etis dengan alam. Relasi etis manusia dengan lingkungan hidup tesebut mesti bercorak kosmosentris, artinya bahwa relasi tersebut harus memperhatikan kelangsungan hidup dan keberadaan seluruh unsur kosmos. Paradigma lama terhadap lingkungan hidup yang bercorak antroposentris, biosentris, ekonomik-sentris harus diganti dengan paradigma baru yang menawarkan suatu pemahaman yang mendalam tentang lingkungan hidup yakni paradigma cosmosentris-holistik.
Dalam terang kosmologi Kristen, perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan hidup juga bertolak dari nilai moral dasar, moral lingkungan hidup dan juga keberadaan manusia sebagai imago Dei. Keberadaan manusia sebagai imago Dei tidak dimaksud untuk menekankan kekuasaan manusia yang semena-mena atas alam/lingkungan hidup tetapi pertama-tama dan paling utama menegaskan kedudukan dan peran manusia yang khas di tengah kosmos. Kekhasan tersebut dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi, manusia mengatasi alam/lingkungan hidup karena mempunyai kemampuan memberi warna kepada lingkungan hidup dan sebagai raja atas alam. Pada sisi lain, manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup. Manusia sama dengan lingkungan hidup yakni sebagai sama-sama sebagai entitas kosmos ciptaan Tuhan yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan hidup tidak akan berdaya guna apabila tidak diikuti oleh tindakan nyata. Upaya rehabilitasi dan gerakan sadar lingkungan merupakan konkretisasi dari perubahan paradigma manusia terhadap lingkungan hidup. Dengan upaya ini, manusia menganggap dan memahami lingkungan hidup dan segala unsur yang ada di dalamnya sebagai sahabat yang saling membutuhkan dan menghargai satu sama lain.membuang sampah pada tempatnya, tidak membakar hutan, menanam tanaman berbunga dan berbuah, mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, penghematan pemakaian energi,membeli dan menggunakan barang secukupnya, secara rutin memotong rumput di halaman. Semuanya itu merupakan contoh tindakan manusia yang memandang lingkungan sebagai sahabat.
Akhirnya, entah perubahan paradigma maupun perubahan pola laku manusia yang mengarah pada tindakan ramah terhadap lingkungan hidup merupakan bentuk tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dan tanggung jawab iman kepada Sang Pencipta. Terjalinnya relasi antara manusia dengan lingkungan hidup merupakan kehendak sang pencipta sendiri. Kelanggengan relasi manusia dengan lingkungan hidup akan mengarahkan kosmos kepada suatu keindahan yang teratur sebagaimana kehendak Sang Pencipta yang melihat bahwa “semuanya sungguh amat baik”.  

5.2 Saran

Relasi etis antara manusia dengan lingkungan hidup merupakan relasi yang bersifat eksistensial. Seruan untuk mengembangkan relasi etis tersebut merupakan sebuah seruan moral yang diikuti dengan tindakan nyata. Hal ini dapat memberi jaminan kepada keutuhan kosmos, sehingga kosmos tetap menjadi suatu kosmos yang teratur dan indah.
Pembahasan tentang kosmologi mengajak manusia untuk menyadari kedudukan atau keberadaannya dalam alam semesta yakni sebagai wakil Sang Pencipta. Oleh karena itu, penulis hendak menegaskan hal-hal berikut ini sebagai rekomendasi akhir dari tulisan ini.
Pertama, masyarakat umum hendaknya membiasakan diri untuk bersikap ramah terhadap lingkungan, mulai dari diri sendiri, keluarga sampai ke lingkungan masyarakat yang lebih luas. Menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya, mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, membersihkan halaman di sekitar rumah dan masih banyak lagi kebiasaan lain yang bisa dilakukan agar kosmos tetap lestari.
Kedua, Gereja sebagai persekutuan umat yang percaya bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah rekan pencipta, agar semakin menyadari keberadaannya sebagai wakil Sang Pencipta yang berkewajiban untuk menghadirkan kebijaksaan Allah bagi ciptaan lainnya.
Ketiga, kerja sama antarelemen dalam masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan lingkungan hidup yang kini telah rusak. Pemerintah, LSM, lembaga-lembaga keagamaan dan masyarakat seluruhnya hendaknya bekerja sama dalam menyelamatkan lingkungan hidup dari ulah oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Keempat, secara khusus bagi lembaga-lembaga pendidikan agar senantiasa membekali para peserta didik dengan pengetahuan yang memadai tentang lingkungan hidup, serta relasi yang mesti dikembangkan antara manusia dengan lingkungan hidup.

End note:

[1] Th. Huijbers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982) p. 93
[2] Ibid., p. 96
[3] Dion Pare, “Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan Hidup” dalam Vox seri 37/3-4 (Maumere:STFK Ledalero, 1992) pp.44-45
[4] Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1996) pp. 47-48
[5] Surip Stanislaus, Harmoni Kehidupan (Yogyakarta: Kanisius, 2008) p. 47
[6] Freddy Buntaran, Op. Cit., p. 47
[7] Crispino Hermanto Jebarus, “Etika Ekologi” dalam Akademika Vol. 1 No. 1 Desember 2002, p. 7
[8] William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001) p. 26
[9] Soemitro Djojohadikusumo, “Aspek Ekonomi Dan Politik Seputar Masalah Ekologi dan Lingkungan Hidup,” dalam: M. T. Zen (Edit.), Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup ( Jakarta: Gramedia, 1980) p. 67
[10] Hendrikus H. Atasoge, “Menggumuli Sepak Terjang Animale Rationale dalam Arena Lingkungan Hidup,” dalam: Akademika, Op. Cit., pp. 50-51
[11] Louis Leahy, Manusia di Hadapan Allah: Kosmos, Manusia dan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982)  p. 74
[12] Soegono Soemargono (Penerj.), Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) pp. 75-76
[13] Ibid
[14] George Kirchberger, Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia (Maumere: Ledalero, 2002) p. 7
[15] Soegono Soemargono (Penerj.), Op. Cit., pp. 263-264 
[16] Thomas Hidya Tjaya, Kosmos:Tanda Keagungan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2002) pp. 54-55
[17] Ibid
[18] Soegono Soemargono (Penerj.), Op. Cit. pp. 265-266. Walaupun Demiurgos mampu menciptakan sesuatu, tetapi ia bukanlah pencipta seperti Tuhan yang diyakini oleh agama-agama samawi. Demiurgos menciptakan sesuatu dari unsur yang telah ada; sama seperti seorang tukang kayu yang membuat meja atau kursi dari kayu yang diambil dari hutan. Ia bukan pencipta yang mencipta dari ketiadaan. 
[19] Ibid
[20] Ibid p. 267
[21] Ibid
[22] Konferensi Waligereja IndonesiaIman Katolik  (Yogyakarta: Kanisius, 1996) p.150
[23] Surip Stanislaus, Op. Cit., pp. 23-24
[24] Dion Pare,”Dari Kesadaran Baru ke Spritualitas untuk Memelihara: Memahami Bumi dalam Teran Ciptaan” dalam Vox seri 37/3-4 (Maumere: STFK Ledalero, 1992) p. 76. Tulisan ini merupakan saduran bebas terhadap “Enveromental care: a pssoble way to Restore God’s Image to the Earth” karya Fr. Rob Clobus, SMA, seorang teolog dan ahli ekologi
[25] Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004) p. 43
[26] George Kirchberger, Op. Cit., pp. 10-11
[27] Surip Stanislaus, Op.Cit., p. 16
[28] George Kirchberger, Loc. Cit.
[29] Alfa dan omega merupakan huruf awal dan akhir dalam abjad Yunani. Allah sebagai alfa dan omega berarti bahwa Allah merupakan awal dan akhir kehidupan manusia. Dialah yang diimani sebagai pengada manusia dan juga Dialah pula yang akan memanggil manusia kepada kepenuhan hidup bersama-Nya
[30] William Chang, Op. Cit., p. 49
[31] Niko Syukur Dister, Op. Cit., p. 43
[32] Dion Pare, Loc. Cit.
[33] William Chang, Op. Cit., p. 47
[34] Ibid., pp. 49-50
[35] Ibid., pp. 50-51
[36] Freddy Buntaran, Op. Cit., p. 48
[37] William Chang, Op. Cit., pp. 51-52
[38] Thomas Hidya Tjaya, Op. Cit.,p. 86
[39] Bdk. Yohanes 3:16
[40] William Chang, Op. Cit., p.52
[41] Ibid., pp. 52-57
[42] Bdk. Kol 1:16-17
[43] Bdk. Kol 2:16-3:17
[44] Niko Syukur Dister, Op. Cit., p. 49
[45] William Chang, Op. Cit., pp. 57-58
[46] Bdk. Niko Syukur Dister, Op. Cit., pp. 49-54
[47] Ibid. Pantokrator ialah Dia yang mempertahankan, memimpin dan memerintah segala sesuatu, Sang Mahakuasa.
[48] William Chang, Op. Cit., 56
[49] Ibid.
[50] Ibid., p. 61
[51] Niko syukur Dister, “Thomas, Scotus dan Ochkam: Menyelaraskan Iman dan Akal Budi” dalam F.X. Mudjisutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.),  Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992 )  p. 45
[52] Ibid., p. 46
[53] Chrispino Hermanto Jebarus, “Ilmu Sosial Budaya Daerah” (Manuskrip) (Ruteng: STKIP St. Paulus, 2008) p. 3
[54] Soejono Soemargono (Penerj.), Op. Cit.,pp. 406-420
[55] Chrispinus H. Jebarus, Op. Cit., pp. 3-4
[56] George Kirchberger, Op. Cit., p. 32
[57] Niko Syukur Dister, Op. Cit., p. 47
[58] Ibid
[59] Thomas J. Tanto (Penyad.), “Imago Dei, Imaginasi dan Tanggung Jawab Ekologis”, dalam Musafir Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001, p. 20. Tulisan ini disadur dari David J. Bryant, “Imago Dei”, Imaginasi and ecological Rsponsibility 
[60] Bdk. J. B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius,2003)  pp. 214-216
[61] Broto Semedi Wiryotenoyo, “Manusia Makhluk Membudaya” dalam Johanes Mardimin (edit.), Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994) p. 29
[62] Gaudium et Spes, art. 12, Hardawiryana, R. (Penerj.) Dokumen Konsili Vatikan II ( Jakarta: Obor, 1993) p. 522. Bdk juga dengan teks Kej 1:26; Keb 2:23; Sir 17:3-10.
[63] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,2002) p. 675
[64] Ibid.
[65] R.E. Suryaatmadja, “Peta dan Masalah Dasar Ekologi” dalam J. B. Banawiratma, dkk. (edit.) Iman, Ekonomi dan Ekologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996) p. 41.
[66] Philip Kristanto, Ekologi Industri (Yogyakarta: Andi, 2002) p. 14
[67] Konradus Jurman,”Taman Eden: Inspirasi Pastoral Berwawasan Lingkungan” dalam Musafir, Op. Cit., p. 68
[68] Ibid.   
[69] Tujuan utama setiap manusia dan seluruh kosmos ialah kebahagiaan surgawi. Kebahagiaan inilah yang dilukiskan dalam cerita tentang taman Eden. Bdk.Servulus Isaak, “Eksegese Perjanjian Lama” (Manuskrip) (Maumere: STFK Ledalero, 1996) seperti dikutip Konradus Jurman, Op. Cit., p.70
[70] Bdk. Freddy Buntaran, Op. Cit.,pp. 14-15
[71] Ibid.
[72] Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia (KOPTARI) dan Widyamartaya (Penerj. ), Buku Pegangan Bagi Para Promotor Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Yogyakarta: Kanisius, 2001) p. 247
[73] Ibid.
[74]Dion Pare, “Kisah Bumiku Terjajah: Meneropong Interaksi Manusia dengan Lingkungannya” dalam Vox, Op. Cit. p. 22
[75] KOPTARI dan A. Widyamartaya, Op. Cit., p. 75
[76] Dion Pare, Op. Cit., p. 23
[77] Ibid.
[78] KOPTARI dan A. Widyamartaya, Log.cit.

[79] Ibid.
[80] KOPTARI dan A. Widyamartaya, Op. Cit., p. 74
[81] Dion Pare, Op. Cit., p. 26
[82] Bdk. Ibid.         
[83] KOPTARI dan A. Widyamartaya, Op. Cit., p. 75
[84] William Chang, Op. Cit., p. 21
[85] Bdk. Dion Pare, “Kampanye Menyelamatkan Bumi” dalam Vox, Op. Cit., p.7
[86]Opini, Pos Kupang, (Kupang), 16 Mei 2008, p. 14. Opini yang berjudul “Kosmosentris” ini ditulis oleh Fidel Harjo, staf televisi TBN Asia, tinggal di Manila. Pendekatan yang pincang terhadap lingkungan hidup ini menurutnya telah membuat alam rusak dan rakyat semakin sengsara. Pada gilirannya alam siap merusak manusia.
[87] William Chang, Op. Cit., p. 42
[88] Ibid.
[89]Chrispino H. Jebarus, Op. Cit., p. 8
[90] Bdk. Dion Pare, “Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan” dalam Vox, Op. Cit., pp. 47-48
[91] William Chang, Op. Cit., p. 77
[92] Bdk. Ibid. p. 28
[93] Bdk. Ibid
[94] Bdk. Opini, Pos Kupang, Op. Cit., p. 14
[95] Ibid
[96] Bdk. Dion Pare, ”Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan” dalam Vox, Op. Cit. pp. 50-51
[97] William Chang, Op. Cit., pp. 81-82
[98] Bdk. Egis Rada Masri, ”Solidaritas Gereja dengan Alam”, dalam Musafir, Op. Cit., pp. 8-9
[99] Jhon M. Prior, “Kelembutan yang Membebaskan: Gereja Baru dalam Masyarakat Baru pada Awal Milenium Baru” dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu (edit.), Gereja Milenium Baru (Maumere: Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, 2000) p. 45
















DAFTAR PUSTAKA


A. ALKITAB 


B. KAMUS DAN DOKUMEN – DOKUMEN GEREJA


Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Hardawiryana, R. (Penerj.) Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993


C. BUKU – BUKU


Banawiratma, J. B. dan J. Muller, Berteologi Lintas Ilmu. Yogyakarta: Kanisius,2003

Buntaran, Freddy. Saudari Bumi Saudara Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1996

Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001

Dister, Niko Syukur Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius,2004

Huijbers,Th. Manusia Mencari Allah. Yogyakarta: Kanisius, 1982

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996

Kirchberger,George. Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia. Maumere: Ledalero, 2002

Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia (KOPTARI) dan Widyamartaya (Penerj.), Buku Pegangan Bagi Para Promotor Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius, 2001

Leahy, Louis. Manusia di Hadapan Allah: Kosmos, Manusia dan Allah. Yogyakarta: Kanisius, 1982

Kristanto, Philip Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi, 2002

Soemargono, Soegono (Penerj.), Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992

Surip, Stanislaus. Harmoni Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 2008

Tjaya,Thomas Hidya. Kosmos: Tanda Keagungan Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2002


D. MAJALAH, ARTIKEL, SURAT KHABAR DAN MANUSKRIP


Atasoge, Hendrikus H. “Menggumuli Sepak Terjang Animale Rationale dalam Arena Lingkungan Hidup,” dalam: Akademika, Vol. 1 No. 1 Desember 2002

Dister, Niko Syukur “Thomas, Scotus dan Ochkam: Menyelaraskan Iman dan Akal Budi” dalam F.X. Mudjisutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.),  Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius,1992

Jebarus, Chrispino Hermanto. “Etika Ekologi” dalam Akademika Vol. 1 No. 1 Desember 2002

                 . “Ilmu Sosial Budaya Daerah” (Manuskrip). Ruteng: STKIP St. Paulus, 2008

Jhon M. Prior, “Kelembutan yang Membebaskan: Gereja Baru dalam Masyarakat Baru pada Awal Milenium Baru” dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu (edit.), Gereja Milenium Baru. Maumere: Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, 2000

Jurman, Konradus. ”Taman Eden: Inspirasi Pastoral Berwawasan Lingkungan” dalam Musafir, Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001

Masri, Egis Rada. ”Solidaritas Gereja dengan Alam”, dalam Musafir, Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001

Opini, Pos Kupang, (Kupang), 16 Mei 2008

Pare, Dion “Mengembangkan Relasi Etis dengan Lingkungan Hidup” dalam Vox seri 37/3-4, Maumere:STFK Ledalero, 1992

                 .”Dari Kesadaran Baru ke Spritualitas untuk Memelihara: Memahami Bumi dalam Teran Ciptaan” dalam Vox seri 37/3-4. Maumere: STFK Ledalero, 1992

                 . “Kisah Bumiku Terjajah: Meneropong Interaksi Manusia dengan Lingkungannya” dalam Vox seri 37/3-4. Maumere: STFK Ledalero, 1992

                 . “Kampanye Menyelamatkan Bumi” dalam Vox seri 37/3-4. Maumere: STFK Ledalero, 1992

Soemitro, Djojohadikusumo, “Aspek Ekonomi Dan Politik Seputar Masalah Ekologi dan Lingkungan Hidup,” dalam: M. T. Zen (Edit.), Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup Jakarta: Gramedia, 1980

Suryaatmadja, R.E. “Peta dan Masalah Dasar Ekologi” dalam J. B. Banawiratma, dkk. (edit.) Iman, Ekonomi dan Ekologi . Yogyakarta: Kanisius, 1996

Tanto, Thomas J. (Penyad.), “Imago Dei, Imaginasi dan Tanggung Jawab Ekologis”, dalam Musafir  Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001

Wiryotenoyo, Broto Semedi. “Manusia Makhluk Membudaya” dalam Johanes Mardimin (edit.), Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta: Kanisius, 1994