A. Catatan Pembuka
Tertegun seolah tak percaya, melihat
situasi kehidupan Masyarakat Kampung Naga yang menganut pola tradisional di
tengah modernisasi zaman. Itulah secuil kesan pertama apabila seseorang
dihadapkan dengan situasi hidup dan keberadaan masyarakat di Kampung Naga.
Perkembangan teknologi dan kemajuan yang serba modern dan syarat dengan
permisifitas global rupanya tidak mempan berhadapan dengan corak hidup, pola
pikir, dan folosofi hidup orang Kampung Naga.
Perkampungan
tradisional yang Secara administratif kepemerintahan berada di Desa Neglasari
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya ini merupakan perkampungan adat yang
masih tetap memegang teguh adat
istiadat leluhur, meskipun berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang
modern, dalam kehidupannya mereka masih tetap menjalankan kehidupan tempo
dulu. Masyarakatnya hidup dalam kesahajaan dan kebersamaan penuh dalam segala
bidang kehidupan.
Studi kualitatif sehari yang
dilaksanakan di Kampung Naga menjadikan saya mengamini ketegunan saya terhadap
realita tradisionalisme yang dianut penuh di tengah modernitas zaman. Pola
perkampungan, pola hidup, dan kepatuhan pada tradisi membuat kampung ini menjadi
kampung yang unik bila dibandingkan dengan perkampungan lainnya. Semuanya itu
membawa saya kepada permenungan yang mendalam tentang pentingnya kembali kepada
budaya asli. Membangun kebersamaan dalam segala lingkup kehidupan dengan
memaknai simbol-simbol budaya dan warisan tradisi nenek moyang.
Dalam refleksi sederhana ini, saya
mencoba mengulas indahnya kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kampung Naga.
Khusunya dalam kepatuhan mereka terhadap pemimpin dan kesahajaan hidup bersama
yang berpatok pada tradisi dan filosofi hidup warisan nenek moyang kampung
Naga.
B. Filosofi Hidup Masyarakat Kampung
Naga
Setiap masyarakat tentu memiliki
filosofi hidup yang khas. Bahkan itu menjadi penanda yang membuat mereka
berbeda dengan masyarakat yang lainnya. Tentang hal ini, masyarakat kampung
Naga pun memiliki filosofi hidup yang khas dan terus terlestarikan.
Ketika tatap muka dengan pak Kuncen,
pemimpin di Kampung Naga, saya terkesan dengan ungkapan yang beliau selalu
katakan sebagai dasar dari suatu pentingnya menjaga kelestarian budaya yakni “rusak budayanya, rusak bangsanya”.
Secara pribadi, saya berpikir bahwa ungkapan ini sangat filosofis, dalam arti
memiliki makna yang dalam bagi corak pikir, corak hidup dan pola laku suatu
masyarakat. Budaya sebagai suatu pedoman, panduan hidup, tuntunan hidup,
demikian kata Kuncen harus terus menerus diwariskan dan dijaga kelestarian. Ini
secara praksis nyata dalam pewarisan tradisi yang selalu lestari dari satu
turunan ke turunan yang lain. Tradisi tersebut berkenaan dengan tradisi lisan,
karena tidak satu pun tradisi tertulis yang diwariskan dari nenek moyang
kampung Naga.
Tradisi-tradisi itu seperti
acara-acara adat, ibadat, pedoman pembuatan rumah dan tata letak kampung,
penghormatan terhadap tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat dan
penghormatan terhadap para leluhur, budaya pemali. Semuanya tidak tertulis
dalam semacam buku pusaka atau dokumen tertulis, tetapi masyarakat tetap
menjaga kelestariannya. Semuanya diwariskan secara utuh dari angkatan yang satu
ke angkatan selanjutnya. Semuanya tidak dibiarkan rusak oleh praktik hidup
modern dan pengaruh globalisasi. Sungguh masyarakat adat kampung naga tidak mau
buadayanya hancur, karena kehancuran budaya juga berarti kehancuran hidup suatu
bangsa. Itulah sebabnya, mereka tetap melestarikan corak hidup mereka yang
sangat tradisional, tanpa merasa diri sebagai orang tradisonal yang kolot.
Setiap orang pasti akan kaget,
karena ketika ditanya soal sejarah terbentuknya kampung Naga, tidak ada satu
pun anggota masyarakat kampung naga yang akan menceritakannya. Mereka hanya
katakan saja bahwa itu adalah pemali untuk dikisahkan. Mereka hanya mengatakan
bahwa Kampung Naga, saat pertama dibangun bersama oleh nenek moyang mereka yang
dipimpin oleh Sembah Eyang Singaparna. Eyang Singaparna mewujudkan petunjuk
yang ada dalam mimpinya untuk membangun perkampungan seperti yang ada sekarang
ini. Tentang sejarah rinci bagaimana kampung itu dibangun, siapa-siapa yang
membangun, tahun berapa itu dibangun, dan untuk apa kampung itu dibangun, tidak
diketahui secara pasti dan lagi-lagi, itu pemali bagi mereka untuk dikisahkan.
Sungguh suatu bentuk kearifan lokal yang dijaga kelestariannya. Bagi mereka
tidak penting untuk orang mengetahui secara rinci tentang sejarah, tetapi yang
paling penting adalah bahwa mereka mewujudkan sejarah dalam hidup harian dengan
berpatokkan pada tradisi warisan nenek moyang.
Pada kesempatan lain, saya tertegun
merenungkan ucapan Punduh Kampung, Ki Ma’un yang menggambarkan tentang kepatuhan
dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat di Kampung Naga. Beliau mengatakan
bahwa ada prinsip hidup yang mewarnai kehidupan masyarakat Kampung Naga untuk
selalu bersama dalam segalanya. Prinsip itu ialah: Lakukan kalau diperintah, Berikan kalau diminta!
Prinsip hidup bernada perintah ini
rupanya menjadi semacam imperatif filosofis bagi masyarakat kampung Naga. Hidup
dalam kebersamaan, saling patuh dan saling berbagi. Menikmati secara bersama
hasil jerih lelah bersama. Hal ini menjadikan masyarakat kampung naga selalu
menganut pola hidup sederhana dalam kebersamaan. Mungkin lebih tepat boleh
dikatakan bahwa yang memiliki banyak tidak berkelimpahan, dan yang memiliki
sedikit, tidak berkekurangan. Seseorang memberi bukan karena berkelimpahan, dan
yang lain menerima bukan karena berkekurangan.
Sistem organisasi kampung yang
sangat absolut mengedepankan prinsip ini. Kekuasaan seorang pak Kuncen ialah
kekuasaan penuh, walaupun dalam pelaksanaanya beliau selalu berkonsultasi
dengan punduh adat dan punduh dusun yang berperan sebagai penasihat. Pak Kuncen
merupakan pemimpin tertinggi yang berkuasa untuk memutuskan segala persoalan
hidup dan segala sesuatu yang terjadi di Kampung Naga.
Meskipun memiliki pemimpin dalam
kampung, masyarakat kampung Naga tidak serta merta menolak aturan
kepemerintahan. Mereka sangat patuh terhadap pemimpin pemerintahan, sejauh itu
tidak bertentangan dengan tradisi dan aturan adat warisan nenek moyang di
Kampung Naga. Dari cerita pak Kuncen, punduh, dan masyarakat, diketahui bahwa
telah banyak usaha dari pemerintah agar fasilitas di Kampung Naga seperti
listrik, jalan raya, dan sarana modern lainnya dibangun dengan nuansa modern,
namun masyarakat menolaknya. Mereka lebih memilih hidup sederhana seperti nenek
moyang mereka dahulu kala. Menurut mereka, masyarakat kampung Naga bukanlah
objek yang harus diperhatikan secara khusus oleh pemerintah. Mereka masih sama
seperti masyarakat lainnya.
Situasi hidup dan keberadaan masyarakat
Kampung Naga yang sederhana dan tradisional ini tidaklah menjadikan pola pikir
mereka selalu terbelakang. Mereka juga memiliki corak pikir yang sangat modern
seperti masyarakat di kampung lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan
perekonomian masyarakat. Bercocok tanam, walaupun masih menggunakan sarana
tradisional, seperti sekop, cangkul, tanpa traktor, mesin rontok padi,dan
lain-lain, tetapi mereka memiliki corak bertani yang amat modern. Demikianpun
dalam usaha perikanan air tawar, walaupun sederhana, tetapi hasilnya cukup
memuaskan. Selain itu juga ada kerajinan rakyat, berupa tas, sandal, kalung,
gelang, dan lain-lain merupakan hasil karya sendiri yang sudah sangat modern
bentuknya, walaupun dikerjakan dengan cara yang tradisional, tanpa bantuan
mesin/alat modern.
Untuk mempertahankan perekonomian
bersama, kampung Naga juga memiliki koperasi. Koperasi itu ialah koperasi
bersama yang hasilnya dinikmati semua orang dalam kampung Naga.
C. Kampung Naga, Simbol penuh Makna
demi Kebersamaan yang Lestari
Seperti yang diketahui bahwa sejarah
kampung Naga secara rinci tidaklah menjadi perhatian utama masyarakat kampung
Naga. Bagi mereka menceritakan sejarah itu adalah pemali, yang lebih penting
ialah memaknai sejarah dalam praksis hidup.
Bagi orang yang berasal dari luar
kampung Naga, tidak akan dikisahkan tentang sejarah terbentuknya kampung Naga
dan bagaimana perkembangannya dari era ke era. Untuk itu, sangat menarik bila
orang yang berasal dari luar kampung Naga mempelajari dan memaknai
simbol-simbol budaya yang ada dalam kampung Naga. Saya secara pribadi sangat
tertarik dengan hal ini. Menurut saya, Kampung Naga itu kaya simbol, dan bahkan
Kampung Naga itu sendiri adalah sebuah Simbol budaya yang kaya makna. Hal ini
dapat jelas terlihat dari model tata ruang wilayahnya, bentuk bangunan
rumahnya, dan bahan bangunan rumahnya yang semuanya sama, original, dan tertata
rapi dalam kesederhanaan. Rumah yang berbentuk panggung sangat dekat dengan
kosmologi ruang kehidupan manusia, bawah-tengah-atas yang mengisahkan tentang
buruk-netral-baik. Hal ini juga sama dengan tata letak kampung.
Timur-Tengah-Barat. Bagian timur dihuni oleh para dedemit dan roh jahat yang
mengganggu manusia, Bagian tengah adalah perkampungan dan bagian barat ialah
tempat keramat, Bumi Ageung, hutan lindung, dan makam Sembah Eyang Singaparna.
Tentang tata letak ini, Semuanya terlihat terarah kepada pusat perampungan
yakni Masjid dan Bumi Ageung. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kampung Naga
selalu memusatkan hidupnya pada kuasa yang ilahi dan para leluhur mereka. Agama
dan budaya berjalan bersama dan diterapkan secara seimbang dalam kehidupan
mereka. Letak masjid yang berdampingan dengan Bumi Ageung menunjukkan bahwa ada
keterkaitan yang erat antara budaya, tradisi dengan agama dan kepercayaan
masyarakat kepada yang transendens. Sungguh kosmologi masyarakat Kampung Naga
merupakan suatu kosmologi teologis yang komprehensif, dalam arti bahwa kosmos
merupakan satu kesatuan ruang bagi Tuhan, leluhur, manusia, dan alam yang tidak
bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bila manusia tidak bersahabat dengan
lingkungan hidup (alam) itu sama artinya manusia memutuskan rantai persatuannya
dengan Yang Transendens (Tuhan) dan leluhur. Oleh karena itu, masyarakat
kampung Naga sangat menghormati alam. Pengrusakkan terhadap alam akan
menimbulkan malapetaka bagi manusia, dan itu harus dibuat acara adat untuk
mengembalikkan hubungan itu agar tidak terjadi bencana alam.
Selain tata letak yang menegaskan
kosmologi masyarakat kampung Naga, bentuk rumah yang diwakili oleh Bumi Ageung
merupakan suatu simbol budaya yang syarat makna. Bentuk segi empat, rumah
berpintu satu, searah, bahan dasar yang diambil dari alam, tanpa balutan
teknologi modern, atap yang berbentuk segitiga, bentuk rumah panggung, adanya
penanda mata angin yang ditaruh di depan pintu, merupakan lambang-lambang yang
penuh makna. Sebagai suatu tempat sakral, bumi ageung tidak boleh dimasuki oleh
orang lain, selain pak Kuncen, Punduh, dan seorang pemasak yang dipilih Kuncen
untuk memasak baginya saat acara adat. Ini menunjukkan penghormatan mereka
kepada Eyang Singaparna, leluhur mereka yang diyakini raib dari bumi namun
tetap hidup bersama keturunannya sampai kapanpun. Mereka merasa tidak layak
menginjakkan kakinya di rumah leluhurnya itu.
Rumah-rumah penduduk di kampung Naga
juga dibuat seperti Bumi ageung. Ukuran, bentuk, bahan dasarnya harus sama
untuk setiap rumah. Tidak boleh ada rumah tertentu yang dibuat modern. Semuanya
dijaga kelestariannya secara bersama-sama. Model rumah yang sama ini tidaklah
sekedar simbol yang tak memiliki makna, tetapi menunjukkan kebersamaan penuh
dari seluruh masyarakat kampung naga. Ini secara ekspisit khusus dilambangkan
dengan bentuk sudut atap rumah yang dilengkapi dengan dua kayu silang yang
membentuk seperti huruf V. Oleh masyarakat ini diterjemahkan sebagai Victori
(kemengan). Kemenangan itu adalah kemenangan dalam kebersamaan.
D. Catatan Akhir
Merefleksikan tentang situasi hidup,
tata letak kampung, dan keberadaan masyarakat kampung Naga sungguh merupakan
suatu refleksi penuh makna yang tidak akan berakhir. Saya berpikir itu
merupakan suatu pencarian tak berujung. Ini tidaklah disebabkan oleh kendala
budaya pemali yang menjadi tradisi masyarakat kampung naga, tetapi lebih karena
rasa kagum saya pribadi terhadap situasi hidup masyarakat kampung naga yang
sungguh tradisional dalam era modern. Mereka hidup di era modern dengan aneka
pengaruh modern yang sangat instan tetapi masih berpegang teguh kepada tradisi
warisan nenek moyang.
Decak kagum dan heran yang saya
rasakan itu selalu menghantui pikiran saya, manakala mengingat tentang KEBERSAMAAN
dalam konteks kampung Naga. Kebersamaan itu tidak hanya tampak dalam simbol
tetapi menjadi nyata dalam praksis hidup. Mereka mampu membendung gaya hidup
modern dengan filosofi hidupnya yang telah mentradisi. Tradisi itu mereka tetap
jaga dalam kebersamaan. Bagi mereka sesuatu akan menjadi lestari bila itu
disepakati dan dipatuhi bersama.
Belajar dari pola kebersamaan dan
pemaknaan simbol budaya kampung Naga, saya terus berkutat dalam refleksi saya
tentang situasi yang lebih luas dari sekadar Masyarakat kampung Naga.
Mungkinkah masyarakat kampung lain di Indonesia bisa seperti kampung Naga mampu
mewarisi secara penuh tradisi budaya nenek moyang kepada generasi penerusnya?
Akhir refleksi ini, saya sangat
optimis bahwa sesungguhnya bila banyak orang berguru pada masyarakat kampung
naga, akan ada banyak kampung di Indonesia yang bisa belajar kembali dari
budaya aslinya. Back to Basic, back to natural sangat mungkin bila
semuanya optimis untuk membangun dalam kebersamaan, sehingga akhirnya setiap
orang boleh berbangga memiliki budaya yang tak lekang oleh waktu dan tak luntur
oleh zaman.