Individual Diferences
I.
Pendahuluan
Dalam
berbagai aspek perkembangan individu,
ada dua fakta yang menonjol, yaitu pertama, semua manusia mempunyai
unsur-unsur kesamaan di dalam pola perkembangannya dan kedua, di dalam pola yang bersifat umum
tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda. Perbedaan individu
menurut Landgren (1980: 578) menyangkut variasi yang terjadi,
baik variasi pada aspek fisik-motorik, kognitif, maupun sosio-emosional.
Setiap
manusia mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda. Hal ini dapat
dipengaruhi dari berbagai faktor, yaitu faktor dari dalam (faktor yang ada
dalam diri manusia itu sendiri, faktor hereditas:bawaan/warisan) dan faktor
luar (faktor lingkungan). Dengan faktor bawaan tertentu dan disertai dengan
faktor lngkungan yang tertentu pula maka akan menghasilkan pola pertumbuhan dan
perkembangan tertentu pula.
Masing-masing
individu lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini berarti bahwa,
karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau pemidahan dari
cairan-cairan “germinal’ dari pihak orang tuanya. Di samping itu individu
tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya, baik lingkungan fisik,
lingkungan psikologi, maupun lingkungan social. Setiap pertumbuhan dan
perkembangan yang kompleks merupakann hasil interaksi dari hereditas dan
lingkungan.
Perbedaan
hereditas dan pengaruh lingkungan ini menjadikan seseorang selalu berbeda satu
dengan yang lainnya. Pertimbangan tentang perbedaan individu ini menjadi
pertimbangan penting yang harus diperhatikan dalam dunia pendidikan. Seorang
guru setiap saat selalu menghadapi siswa-siswa yang berbeda satu sama lain.
Siswa-siswa yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorang pun yang
sama. Mungkin sekali dua orang terlihat
hampir sama atau mirip, akan tetapi pada kenyataannya jika diamati
benar-benar tentu terdapat perbedaan.
Perbedaan
yang segera dapat dikenal oleh seorang guru tentang siswanya adalah perbedaan
fisiknya, seperti tinggi badan, bentuk badan, warna kulit, bentuk muka, dan
semacamnya. Dari fisiknya seorang guru cepat mengenal siswa di kelasnya satu
per satu. Ciri lain yang segera dapat dikenal adalah tingkah laku masing-masing
siswa. Ada siswa yang lincah, banyak
gerak, pendiam, dam sebagainya. Ada siswa yang nada suaranya kecil dan ada yang
besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang lambat. Apabila
ditelusuri secara cermat siswa yang satu dengan yang lain memiliki sifat psikis
yang berbeda-beda. Secara lebih cermat dalam dunia pendidikan, perbedaan
individu menjadi tampak dalam hal inteligensi, gaya belajar dan berpikir,
kepribadian dan temperamen, serta budaya (status sosial-ekonomi, bahasa,
gender)
Komponen
utama dalam pendidikan adalah terdapatnya individu sebagai kumpulan subjek yang
melaksanakan kegiatan
pembelajaran formal di dalam kelas. Individu yang ada dalam kelas tentunya memiliki berbagai
macam perbedaan ataupun karakteristik mendasar yang ada dalam diri mereka, baik
berupa Karakteristik bawaan maupun karakteristik yang dihasilkan melalui
interaksi individu dengan lingkungan.
Dalam
makalah sederhana ini, pemakalah akan menguraikan beberapa perbedaan individu
(individual defferences) yang mencakup arti perbedaan individu, faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan individu, inteligensi, kepribadian dan temperamen,
gaya belajar dan gaya berpikir dan budaya dalam kaitannya dengan perbedaan
individu.
II.
Perbedaan Individu (Individual Different)
A. Apa itu
Perbedaan Individu?
Tak dapat disangkal lagi bahwa setiap individu memiliki
aneka kemampuan yang bersifat umum dan juga kemampuan yang bersifat khusus. Hal
ini merupakan suatu hakekat individu, bahwa
setiap orang adalah berbeda. Antara dua anak kembar pun yang bisa
dilihat mirip, tetapi tetap dikatakan mirip tetapi tak sama. Perbedaan itu
menjadi nyata dan tampak dalam berbagai aspek perkembangan yang ada dalam diri
individu. Jadi perbedaan individu (individual differences) dapat diartikan
sebagai cara di mana orang (individu) berbeda satu sama lain secara konsisten
dan tetap (Santrock, 2004:134).
B. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan
Dalam
menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda
pendapat karena sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi
(keberadaan) siswa tidak sama. Berikut, aliran-aliran yang berhubungan dengan
faktor-faktor perkembangan anak/siswa.
1. Aliran
Nativisme
Nativisme
(Nativism) adalah sebuah doktrin filosofi yang berpengaruh besar
terhadap aliran pemikiran psikologi. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur
Scopenhauer (1788-1860) seorang filosof yang memandang segala sesuatu dengan
kaca mata hitam. Mengapa demikian? Karena para ahli penganut aliran ini
berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu
ditentukan oleh pembawaanya,
sedangkan pengalaman dan pendidikan (lingkungan) tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu
pendidikan, pandangan seperti ini disebut pesimisme
pedagogis.
Sebagai
contoh, jika sepasang orang tua ahli musik, maka anak-anak yang mereka lahirkan
akan menjadi pemusik pula. Harimau pun hanya akan melahirkan harimau, tak akan
pernah melahirkan anak domba. Jadi, pembawaan dan bakat orang tua selalu
berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak-anaknya.
Aliran
nativisme hingga saat ini masih berpengaruh di kalangan beberapa ahli, tetapi
sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara ahli yang dipandang sebagai nativisme
ialah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang sangat
terkenal saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada
manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga
(yang lebih penting) oleh adanya biological
predisposition (kecenderungan
biologis) yang dibawa sejak lahir.
2. Aliran Empirisme
Kebalikan
dari aliran nativisme adalah aliran empirisme (empiricism) dengan
tokoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah The School of British Empiricism (aliran empirisme Inggris).
Namun, aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat,
sehingga melahirkan sebuah aliran filasafat bernama environmentalisme (aliran Lingkungan) dan
psikologi bernama Environmental
Psychology (psikologi
lingkungan) yang relative masih baru. (Reber, 1988).
Doktrin
aliran ini yang amat masyur adalah Tabula Rasa sebuah istilah bahasa latin yang
berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (Blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting
pada pengalaman, lingkungan, dan pendidikan. Dalam arti perkembangan manusia
semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan
bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini,
para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam
keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa
seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/ lingkungan yang mendidiknya.
Jika
seorang siswa memperoleh kesempatan yang memadai untuk mempelajari ilmu
politik, tentu kelak ia akan menjadi sorang politisi, ia memiliki pengalaman belajar di bidang
politik, ia tak akan pernah menjadi pemusik, walaupun orang tuanya seorang
pemusik sejati. Memang sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh
besar terhadap proses perkembangan dan masa depan anak. Dalam hal ini,
lingkungan keluarga (bukan bakat pembawaan dari keluarga) dan lingkungan
masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu perilaku dan
masa depan seorang anak.
Kondisi
sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan kumuh dengan kemampuan
ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa fasilitas umum seperti masjid,
sekolah, serta lapangan olahraga telah terbukti menjadi lahan yang subur bagi
pertumbuhan anak-anak nakal. Anak-anak di lingkungan seperti ini memang tak
mempunyai cukup alasan untuk tidak menjadi brutal, lebih-lebih apabila kedua
orangtunya kurang atau tidak berpendidikan.
Faktor
orang tua atau keluarga terutama sifat dan keadaan mereka sangat menetukan arah
perkembangan masa depan para siswa yang mereka lahirkan. Sifat orang tua (parential
trait) yang dimaksudkan ialah gaya khas dalam bersikap, memandang,
memikirkan, dan memperlakukan anak. Contoh kelahiran bayi yang tidak
dikehendaki (misalnya akibat pergaulan bebas) akan menimbulkan sikap dan
perlakuan orang tua yang bersifat menolak (parental rejection).
Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu melindungi anak juga dapat menggangu
perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini, menurut
hasil penelitian Chazen, et.al (1983) ternyata berhubungan erat dengan
penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak di kemudian hari.
Namun
demikian, perlu pula juga dikemukakan sebuah fakta yang ironis, yakni di antara
para siswa yang dijuluki nakal dan brutal khususnya di kota-kota besar ternyata
cukup banyak berasal dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat
beragama. Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan berakhlak baik yang lahir
dari keluarga bodoh dan miskin. Jadi, sejauh manakah validitas doktrin
empirisme yang telah memunculkan optimisme
pedagogis itu dapat
bertahan.
3. Aliran Konvergensi
Aliran
konvergensi (convergence) merupakan gabungan antara aliran nativisme
dan aliran empirisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas
(pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perkembangan manusia. Tokoh utama konvergensi bernama Louis William Stern
(1871-1938), seorang filosof dan psikolog Jerman.
Aliran
filsafat yang dipeloporinya disebut personalisme, sebuah pemikiran filosofi yang
sangat berpengaruh terhadap disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan dengan
manusia. Di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah personologi yang mengembangkan teori yang
komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia (Reber, 1988).
Dalam
menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para ahli
yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan/ pengalaman dan juga
tidak berpegangan pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor
tersebut yang sama pentingnya. Faktor pembawaan tidak akan berarti apa-apa jika tanpa
faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor lingkungan tanpa faktor bakat pembawaan tak akan
mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Para
penganut aliran konvergensi berkeyakinan bahwa baik faktor pembawaan maupun
faktor lingkungan memiliki andil sama besar dalam menentukan masa depan
seseorang. Jadi, seorang siswa yang lahir dari keluarga santri atau kyai,
umpamanya, kelak ia akan menjadi ahli agama apabila ia dididik di lingkungan
keagamaan.
Untuk
lebih kongkretnya, marilah kita ambil sebuah contoh lagi. Seorang anak yang
normal pasti memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi
apabila anak tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya
kalau dia dibuang ke tengah hutan belantara dan tinggal bersama hewan, maka
bakat berdiri yang ia miliki secara turun-menurun dari orang tuanya itu akan
sulit diwujudkan. Jika anak tersebut diasuh oleh sekelompok serigala, tentu, ia
akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia akan merangkak seperti
serigala pula. Jadi, bakat dan pembawaan dalam hal ini jelas tidak ada
pengaruhnya apabila lingkungan atau pengalaman tidak mengembangkannya.
Sampai
sejauh manakah pengaruh pembawaan jika dibandingkan dengan lingkungan terhadap
perkembangan massa depan seseorang? Jawabannya mungkin berbeda antara orang per
orang. Sebagian orang mungkin lebih banyak ditentukan oleh faktor
lingkungannya. Namun dalam hal pembawaan yang bersifat jasmaniah hampir dapat
dipastikan bahwa semua orang sama, yakni akan memiliki berbentuk badan,
mempunyai rambut dan mata yang sama dengan kedua orang tuanya.
Sebagai
contoh anak-anak keturunan eropa umumnya berambut pirang, berkulit putih,
bermata biru, dan berperawakan tinggi besar, karena memang warisan orang tua
dan nenek moyangnya. Akan tetapi, dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah sangat
sulit kita kenali. Banyak orang yang ahli di bidang”X” tetapi anaknya ahli di
bidang “Y”. Anak ini sudah diusahakan agar mempelajari bidang “X” supaya sama
dengan orangtuanya, tetapi ia menolaknya dan menunjukkan kecenderungan bakat
“Y”. ternyata setelah mengikuti pengajaran bidang”Y”, anak yang berasal dari
keturunan yang ahli di bidang “X” itu benar-benar ahli di bidang “Y”, bukan
bidang “X”. apakah anak tersebut telah menyalahi bakat dan pembawaan
keturunannya?
Banyak
bukti menunjukkan,bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orang
tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata watak dan bakat orang tersebut sama
dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan
watak diturunkan langsung pada anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau
anak-anak cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat bersembunyi sampai beberapa
generasi.
Hasil
proses perkembangan seorang siswa dapat dijelaskan hanya dengan menyebutkan
pembawaan dan lingkungan. Artinya, keberhasilan seorang siswa bukan karena
pembawaan dan lingkungan saja, tetapi juga oleh diri siswa itu sendiri. Setiap
orang, termasuk siswa tersebut, memiliki potensi self-direction dan self-discipline
yang memungkinkan dirinya
bebas memilih antara mengikuti atau menolak sesuatu (aturan atau stimulus)
lingkungan tertentu yang hendak mengembangkan dirinya. Alhasil, siswa itu
sendiri memiliki potensi psikologi tersendiri untuk mengembangkan bakat dan
pembawaannya dalam konteks lingkungan tertentu.
Berdasarkan
uraian mengenai aliran-aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan proses
perkembangan ini, kiranya ada dua hal yang menjadi faktor pengaruh dalam
perkembangan individu. Pertama, Faktor
internal, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi
pembawaan dan potensi psikologi tertentu yang turut mengembangkan dirinya
sendiri. Kedua, Faktor eksternal,
yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang meliputi lingkungan
(khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan
lingkungan.
C. Locus dan
fokus individual Differences[1]
Perdebatan tentang perbedaan
individual merupakan salah satu perdebatan seru sepanjang sejarah perkembangan
psikologi, khusunya psikologi pendidikan. Berikut ini akan diuraikan sedikit
mengenai beberapa locus dan fokus dari studi perbedaan individu dalam konteks
pendidikan.
1. Inteligensi
Konsep tentang inteligensi menimbulkan kontrofersi dan debat seru, terlebih
manakala inteligensi diukur dan dikuantifikasi dalam bentuk angka. Hal ini
disebabkan karena inteligensi sendiri merupakan suatu konsep yang abstrak. Istilah intelegensi berasal dari kata Latin intelligence yang berarti menghubungkan atau
menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together)
(Walgoti,1997). Intelegensi menurut David Wecshler (1958) didefinisikan sebagai
“Keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah
serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.
Beberapa pakar mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian untuk
memecahkan masalah. Yang lain mendeskripsikan sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Bila dua definisi
ini digabungkan maka akan didapat bahwa inteligensi merupakan keahlian untuk
memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari,
pengalaman hidup sehari-hari. Dengan perkataan lain, intelegensi adalah kemampuan yang bersifat umum untuk
mengadakan penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah. Kemampuan yang
bersifat umum tersebut meliputi berbagai jenis kemampuan psikis seperti:
abstrak, berpikir mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan
sebagainya.
a.
Tes inteligensi individual
Tes inteligensi individual
pertama kali dikembangkan oleh psikolog Alfred Binet dan dibantu oleh
mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan Simon mengembangkan konsep mental age
(MA) atau usia mental yakni level perkembangan individu yang berkaitan dengan
perkembangan lain. Tak lama kemudian, William Stern menciptakan konsep
Intelligence Quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia
kronologis dikalikan dengan 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis
maka IQ orang itu sama dengan 100. Jika usia mental seseorang lebih dari usia
kronologis maka IQ orang itu lebih dari 100. Jika usia mentalnya kurang dari
usia kronologis maka IQ orang itu akan kurang dari 100. Tes Binet ini
selanjutnya direvisi dan revisi terakhir yang sampai sekarang banyak dipakai
untuk mengukur inteligensi murid adalah Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes
lain yang bisa digunakan untuk mengukur inteligensi seseorang adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh
David Wechsler. Tes ini digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara
keseluruhan juga menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja.
b.
Teori multiple
intelligences
Ada dua teori utama dalam perdebatan
teori multiple intelligence yakni
teori Triarkis Sternberg dan teori multiple
intelligence Gardner. Menurut sternberg, inteligensi muncul dalam bentuk
analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis meliputi kemampuan untuk
menganalisis, menilai, mengevaluasi, membandingkan dan mempertentangkan.
Inteligensi kreatif ialah kemampuan untuk mencipta, mendesain, menemukan, dan
mengimajinasikan. Sedangkan inteligensi praktis meliputi kemampuan untuk
menggunakan, mengaplikasikan, mengimplementasikan, dan mempraktikkan.
Sementara itu Howard Gardner
mengidentifikasi delapan kerangka pikiran berkaitan dengan inteligensi
individu, yakni:
·
Keahlian verbal; kemampuan
untuk berpikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna.
·
Keahlian matematika;
kemampuan untuk menyelesaikan operasi matematika.
·
Keahlian spasial; kemampuan
untuk memahami dunia visual-ruang dengan tepat dan melakukan transformasi
terhadap persepsi awal seseorang.
·
Keahlian tubuh-kinestik;
kemampuan untuk memanipulasi objek dan cerdas dalam hal-hal fisik.
·
Keahlian musik; sensitif
terhadap nada, melodi, irama, dan suara.
·
Keahlian intrapersonal;
kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupannya secara efektif.
·
Keahlian interpersonal;
kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektifdengan orang lain.
·
Keahlian naturalis;
kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam dan sistem
buatan manusia.
c.
Emotional intelligences
Konsep kecerdasan emosional
dikembangkan oleh Daniel Goleman. Goleman percaya bahwa untuk memprediksi
kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur dengan menggunakan tes kecerdasan
ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan emosional. Menurutnya, emotional intelligence terdiri dari
empat area yakni:
·
Developing emotional awarenes; seperti
kemampuan untuk memisahkan perasaan dari tindakan.
·
Managing emotions; seperti mampu untuk
mengendalikan amarah.
·
Reading emotions; seperti memahami
perspektif orang lain.
·
Handing relationship; seperti kemampuan untuk
memecahkan problem hubungan dengan orang lain.
2. Gaya belajar
dan gaya berpikir
a. Gaya
impulsif-reflektif
Gaya impulsif-reflektis
sering dikenal dengan tempo konseptual. Yakni murid cendrung bertindak cepat
dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan
merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif seringkali lebih
banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif. Dibandingkan murid
yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk menentukan sendiri
tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Mereka biasanya
memiliki standar kerja yang tinggi.
b. Gaya
mendalam-dangkal
Maksudnya ialah sejauh mana murid mempelajari materi belajar dengan satu
cara yang membantu mereka untuk memahami materi tersebut (gaya mendalam) atau sekedar
mencari apa yang perlu untuk dipelajari (gaya dangkal). Murid yang belajar
dengan gaya dangkal tidak bisa mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan
kerangka konseptual yang lebih luas. Mereka cendrung belajar secara pasif,
hanya mengingat informasi. Sementara itu murid yang menggunakan gaya belajar
mendalam lebih mungkin untuk secara aktif memahami apa yang mereka pelajari dan
memberi makna pada apa yang perlu untuk diingat. Pelajar mendalam lebih mungkin
memotivasi diri sendiri untuk belajar dibandingkan dengan pelajar dangkal yang
akan termotivasi bila ada penghargaan dari luar seperti pujian dan tanggapan
positif dari guru.
c. Ketergantungan
lapangan versus ketidakbergantungan lapangan
Orang-orang yang bergantung
pada lapangan cenderung melihat pola secara keseluruhan dan mengalami kesulitan
dalam memisahkan aspek-aspek tertentu suatu situasi atau pola. Sedangkan orang
yang tidak bergantung pada lapangan lebih mampu melihat bagian-bagian yang
membentuk suatu pola yang besar. Selain itu, orang yang bergantung pada
lapangan cenderung lebih berorientasi pada orang dan hubungan sosial dari pada
orang-orang yang tidak bergantung pada lapangan (Slavin, 2004: 168).
3. Kepribadian
dan temperamen
a. Kepribadian
Kepribadian atau
personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang menjadi ciri
dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang menjadi
ciri bawaan yang menonjol yakni, openness
(keterbukaan terhadap pengalaman), conscientiousness
(kepatuhan), extraversion (keterbukaan
terhadap orang lain), agreebleness (kepekaan
nurani), neoroticism (stabilitas
emosional).
Dalam konteks pembelajaran,
guru harus dapat mendalami dan memahami keanekaragaman karakteristik
kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran menjadi suatu
kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam situasi yang beragam.
b. Temperamen
Temperamen adalah gaya
perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau respons.
Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang. Beberapa
murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya secara sambil
lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam diri
siswa.
Temperamen dikategorikan
dalam tiga kelompok sebagaimana yang dikelompokkan oleh Chees dan Thomas, yakni:
anak mudah (easy child), anak sulit (difficut child) dan anak lambat bersikap
hangat (slow-to-warm-up child).
Pengelompokkan atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan
Bates yang lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap
dan pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam konteks pembelajaran,
ada beberapa strategi yang berhubungan dengan temperamen murid, yakni memberi
perhatian dan penghargaan pada individualitas, memperhatikan struktur
lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang dapat muncul apabila
memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket program untuk anak
sulit.
4. Diversitas
sosiokultural
a. Kultur
Setiap manusia hidup dan
dibesarkan dalam budaya tertentu. Budaya telah diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi. Semuanya diwariskan dan berurat akar dalam diri dan
kehidupan setiap individu. Hal ini jelas juga akan berpengaruh terhadap
pelaksanaan pendidikan. Setiap siswa yang berasal dari budaya dan kebiasaan
yang berbeda-beda disatukan dalam satu lingkup pendidikan.
Kultur adalah pola perilaku,
keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antarkelompok
orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun. Psikolog Donald combell dan
rekannya menemukan lima (5) pandangan berikut. Pertama, bahwa orang-orang di semua kultur cenderung untuk percaya
bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah sesuatu yang alami dan benar
sedangkan kultur yang lain ialah tidak alami dan tidak benar; Kedua, menganggap bahwa kebiasaan
kultural mereka adalah valid secara universal; Ketiga, berperilaku sesuai dengan kelompok kulturalnya; Keempat, merasa bangga dengan kelompok
kulturalnya; dan Kelima, bermusuhan
terhadap kelompok kultural lainnya.
Perbedaan dalam kultur
dideskripsikan dengan dua istilah yakni individualisme dan kolektivitas.
Individualisme yakni seperangkat nilai yang mengutamakan tujuan personil di atas
tujuan kelompok. Nilai-nilai individualis mencakup perasaan senang, keunikan
personal dan independensi atau kemandirian. Sedangkan kolektivisme ialah
seperangkat nilai yang mendukung kelompok. Tujuan personal digunakan untuk
menjaga integritas kelompok dan keharmonisan hubungan.
Dalam konteks pembelajaran,
seorang guru harus mampu beradaptasi dengan keragaman kultur siswa. Guru harus
mampu mengidentifikasi latarbelakang siswa, apakah termasuk dalam kelompok
dengan masyarakat kolektif atau kelompok masyarakat individualisme. Strategi
untuk murid dengan latarbelakang individualisme dapat berupa, memberi pujian
kepada siswa, tidak membuat siswa merasa dalam ancaman, tidak tampil
merendahkan diri tetaoi juga tidak sombong, menyadari bahwa individualitas tidak
menghargai kesetiaan pada kelompok. Sedangkan untuk kelompok berlatar belakang
kolektivistik dapat berupa memberi perhatian pada banyak kegiatan kelompok,
menekankan kerja sama dalam kelompok, hati-hatilah dalam mengkritik siswa,
memupuk hubungan yang langgeng dengan siswa dan mengajak siswa untuk saling
bekerja sama satu dengan yang lainnya.
b. Etnis
Etnis berasal dari kata
bahasa Yunani “ethnic” yang berarti bangsa. Etnisitas berarti pola umum
karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa.
Setiap orang adalah anggota dari satu atau lebih kelompok etnis. Istilah ini
sebenarnya berbeda dari istilah ras. Istilah ras kini didiskreditkan sebagai
konsep biologis yang berarti klasifikasi orang atau makhluk hidup lainnya
berdasarkan karakteristik psikologis tertentu.
Poin penting yang
dibicarakan dalam kelompok etnis ini ialah bahwa kelompok etnis selalu beragam.
Keragaman dalam kelompok etnis pada tataran tertentu akan menjurus kepada
prasangka, diskriminasi, dan bias etnis. Prasangka merupakan sikap negatif yang
tidak adil terhadap orang lain karena keanggotaan individu dalam suatu
kelompok. Lebih lanjut hal ini akan membuat adanya diskriminasi dalam kelompok
etnis dan juga membias dalam segala kultur kehidupan bermasyarakat. Tentu bias
tersebut akan menjadi pengaruh buruk bagi kelompok etnis minoritas.
Dalam pelaksanaan
pendidikan, hal ini dapat terwujud dalam segregasi pendidikan. Murid yang
berasal dari kelompok etnis minoritas memiliki akses yang amat minim dalam
menikmati pendidikan yang lengkap dan bermutu. Berkaitan dengan hal ini,
seorang guru harus mendalami dengan baik latar belakang etnis siswa, sehingga
dengannya, guru dapat memberi pendampingan yang sama dan merata kepada semua
siswa tanpa membedakan kelompok etnis siswa.
c. Pengaruh
status sosial ekonomi terhadap pencapaian siswa
Patut diakui bahwa dalam
suatu kulutral pasti memiliki subkultural. Salah satu cara paling lazim untuk
mengategorikan subkultural ialah dengan memakai status sosioekonomi. Status
sosio-ekonomi yang didasarkan pada penghasilan, pekerjaan, pendidikan, dan
gengsi sosial sangat mempengaruhi sikap pelajar terhadap sekolah, pengetahuan,
kesiapan belajar, dan pencapaian akademis. Siswa yang berasal dari keluarga
yang berpenghasilan rendah mengalami tekanan yang mempunyai andil bagi praktik
pengasuhan anak, pola komunikasi, dan harapan yang rendah yang mungkin akan
kurang menguntungkan anak-anak ketika mereka memasuki sekolah.
Implikasinya bagi pendidikan
ialah agar memperhatikan kebutuhan semua peserta didik secara adil dan merata.
Dalam artian, perhatian tersebut harus sama terhadap semua siswa tanpa
memandang status sosial orang tua siswa. Namun perlu juga untuk memahami
keberadaan dan perkembangan siswa berdasarkan status sosial orang tua mereka.
Hal ini sangat membantu guru dalam menangani masalah yang dialami oleh peserta
didik.
Adapun strategi yang bisa
dilakukan oleh guru khusunya dalam menghadapi murid yang miskin secara ekonomis
ialah berusaha meningkatkan keterampilan dan cara berpikir anak dengan cara
mengkatifkan kegiatan di luar jam pelajaran; prioritaskan waktu pelajaran untuk
memotivasi murid, jangan memisahkan antara siswa yang miskin dengan siswa dari
keluarga yang mampu, memperhatikan kekuatan anak dari keluarga yang miskin.
d. Isu bahasa
Isu tentang bahasa merupakan
salah satu topik yang tidak pernah luput dari pembicaraan mengenai pelaksanaan
pendidikan. kini, penerapan bilingual education ramai didiskusikan dan
dipraktikkan di banyak lembaga pendidikan. pendidikan bilingual bertujuan untuk
mengajar mata pelajaran kepada anak didik dengan menggunakan bahasa asli
(bahasa ibu) sembari secara bertahap memberikan pengajaran dalam bahasa resmi
suatu negara.
Ada empat jenis penyajian
program pendidikan bilingual yang diterapkan di dunia barat yakni pengajaran
total bahasa Inggris, pendidikan dwibahasa peralihan, pendidikan dwibahasa
berpasangan, dan pendidikan dwibahasa dua arah. Riset terakhir menunjukkan
bahwa pendidikan dwibahasa (bilingual education), khususnya pendidikan
dwibahasa berpasangan dapat memberi manfaat bagi siswa.
Hal ini sangat terasa dalam
konteks pendidikan yang diselenggarakan dalam suatu wilayah yang beragama
bahasa. Guru yang baik dan profesional harus memiliki kemampuan untuk
mempelajari bahasa lokal di mana dia mengabdi.
e. Pengaruh
gender dan ketidakadilan gender terhadap
pengalaman belajar siswa
Jenis
kelamin individu sebagai perempuan dan laki-laki merupakan ciri biologis yang
terlihat jelas dan abadi. Namun demikian, banyak perbedaan peran antara
perempuan dan laki-laki yang merupakan ciptaan masyarakat sosial. Kebanyakan
dalam masyarakat, selalu ada pemisahan dan perbedaan peran yang jelas antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini memang merupakan suatu budaya yang telah
diwariskan turun temurun. Inilah yang dikenal dengan istilah gender. Istilah
ini merujuk pada ekspektasi sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita
seharusnya berpikir, merasa, dan berbuat.
Ada beragam cara untuk
memandang perkembangan gender. Berikut ini akan diuraikan secara singkat
mengenai pandangan-pandangan tersebut
1)
Pandangan biologis
Pakar gender yang menganut paham environmental mengakui
bahwa gadis dan jejaka diperlakukan secara berbeda karena perbedaan fisik dan
peran mereka dalam proses reproduksi. Dengan ini mau ditegaskan bahwa ada pengaruh
langsung dan tidak langsung dari faktor bilogis dan lingkungan. Misalnya
androgen adalah hormon seks dominan dalam diri pria. Jika level androgen yang
tinggi berpengaruh pada fungsi otak, yang pada gilirannya meningkatkan perilaku
seperti agresi atau menaikkan level aktivitas, maka evek biologis ini bersifat
langusng, demikianpun sebaliknya. Namun pandangan ini tidak terlalu menentukan
perilaku dan sikap gender. Pengalaman sosialisasi anaklah yang lebih banyak
mempengaruhinya.
2)
Pandangan sosialisasi
Ada dua pandangan berkaitan dengan pandangan sosialisasi
ini yakni toeri psikoanalisis gender dan teori kognitif sosial gender. Teori
psikoanalisis gender yang berasal dari teori psikoanalisis Sigmund Freud
mengetengahkan bahwa anak-anak prasekolah mengembangkan ketertarikan seksual
pada orang tua yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya, lalu akan
mengalami perkembangan dan akhirnya mengidentifikasi jenis kelamin orang tua
yang sama dengan dirinya. Sedangkan teori kognitif sosial gender menekankan bahwa
perkembangan gender anak terjadi melalui pengamatan dan peniruan perilaku
gender dan melalui penguatan dan hukuman terhadap perilaku gender.
3)
Pandangan kognitif
Ada dua pandangan kognitif terhadap gender yakni teori
perkembangan kognitif dan teori skema gender. Menurut teori perkembangan
kognitif, tipe gender anak terjadi setelah mereka mengembangkan konsep gender,
setelah mereka konsisten menganggap diri mereka sebagai laki-laki atau
perempuan. Sedangkan teori skema gender menyatakan bahwa perhatian dan perilaku
individu dituntun oleh motivasi internal untuk menyesuaikan dengan standar
sosiokultural berbasis gender dan sterotip gender. Skema gender adalah struktur
kognitif atau jaringan asosiasi yang menata dan menuntun perspesi individu
berdasarkan gender.
Lembaga pendidikan sebagai
tempat membina dan mendidik generasi muda juga mengalami imbas bias gender ini.
Sering muncul dalam proses pembelajaran suatu pandangan yang sterotipe dan
perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita, yang biasanya selalu
menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya. Pandangan yang
sterotipe akan membias menjadi diskriminasi gender dan bias gender. Oleh karena
itu diharapkan pendidikan harus mengedepankan pendidikan berperspektif
kesetaraan gender.
Dalam kelas
misalnya, guru harus menghindari sterotipe gender, menumbuhkan integritas
peserta didik tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, dan memperlakukan
perempuan dan laki-laki secara setara.
f. Pendidikan
multikultural
Diversitas
kebudayaan memang tidak dapat disangkal lagi. Harus diakui bahwa setiap orang
senantiasa berada dan dibesarkan, bertumbuh, dan berkembang dalam budaya
tertentu yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, para
pendidik dan juga stakeholders dalam pendidikan harus berusaha untuk
mengedepankan pendidikan multikultural dan menciptakan lingkungan pendidikan
yang kondusif, adil dan peluang yang setara, pembinaan keharmonisan ras dan
pencegahan segregasi (pengucilan, pengasingan, pemisahan).
Pendidikan
multikultural ialah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam
perspektif dari berbagai kelompok kultural. Dengan perkataan lain, pendidikan
multikultural mengharuskan penghargaan terhadap keragaman budaya dan
peningkatan kesetaraan pendidikan dan keharmonisan sosial di sekolah-sekolah. Tujuan
penting dari pendidikan multikultural ialah pemerataan kesempatan bagi semua
murid dalam hal belajar dan juga mempersempit gap dalam prestasi akademik
antara siswa kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas.
Pendidikan multikultural
mengisyaratkan lima hal berikut. Pertama,
pengintegrasian isi pelajaran. Hal ini berkaitan dengan penggunaan contoh,
data, dan informasi lain oleh guru yang diambil dari berbagai budaya. Kedua, konstruksi pengetahuan. Yang
merujuk guru yang membantu anak didik memahami bagaimana menciptakan
pengetahuan dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh kedudukan ras, etnis, dan
kelas sosial individu dan kelompok. Ketiga,
pengurangan prasangka; berupa pengembangan hubungan positif di kalangan siswa
dari latar belakang etnis yang berbeda dan perkembangan sikap yang lebih
demokratis dan toleran terhadap orang lain. Keempat,
pedagogi keadilan yang merujuk pada
penggunaan teknik-teknik pengajaran yang mempermudah keberhasilan akademik
siswa dari kelompok-kelompok etnis dan kelas sosial yang berbeda. Kelima, budaya sekolah yang
memberdayakan yakni budaya sekolah yang membuat organisasi dan praktik sekolah
bersifat kondusif bagi pertumbuhan akademis dan emosional semua siswa.
Langkah
pertama dalam pendidikan multikultural ialah agar guru, pengurus, dan staf
sekolah yang lain belajar belajar tentang budaya para peserta didik dan dengan
saksama mempelajari semua kebijakan, praktik, dan kurikulum yang digunakan di
sekolah guna mengidentifikasi setiap bidang yang mungkin melenceng.
Beberapa hal yang bisa
diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran oleh guru dapat berupa pemberdayaan
murid, menyajikan materi pelajaran yang relevan secara kultural, melaksanakan
pendidikan yang berbasis pada isu, meningkatkan hubungan di antara anak dari
kelompok etnis yang berbeda, mengurangi bias kultural, dan meningkatkan
toleransi dalam pelaksanaan pembelajaran.
III.
Penutup
Perbedaan individu merupakan topik
pembicaraan dalam psikologi pendidikan yang tak akan habis didiskusikan dari
zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep perbedaan individu semakin ramai dibicarakan
dan diperhatikan banyak pihak khususnya dalam bidang pendidikan. betapa tidak,
pengaruh globalisasi dan pesatnya perkembangan telah menggeser pola pikir,
tindak dan karsa manusia. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan sangat perlu
untuk mendalami perbedaan individu para pebelajar.
Dari uraian-uraian yang disampaikan
dalam makalah ini, maka pemakalah dapat
menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan perbedaan individu, sebagai
berikut
1)
Perbedaan individu
merupakan suatu hakikat manusia, karena tidak ada satu pun manusia di dunia ini
yang sama. Walau mirip, namun keduanya tetap tidak sama. Untuk mendalami ini
ialah tugas dari psikologi perkembangan. Dan para psikolog telah menemukan
bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh hereditas (faktor internal)
dan lingkungan (eksternal).
2)
Perbedaan individu
dalam dunia pendidikan tampak dalam perbedaan inteligensi, kepribadian dan
temperamen, budaya (sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial
kemasyarakatan, suku/ras) dan juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar
siswa.
3)
Merupakan
usaha/upaya guru (pendidik) dan juga semua stake-holders dalam dunia pendidikan
agar memperhatikan dan mendalami berbagai gejala dan fakta perbedaan individu
dalam konteks pembelajaran. Pendidikan multikultural dan pendidikan berwawasan
kesetaraan, pendidikan dwibahasa merupakan contoh upaya dalam memajukan
pendidikan yang mampu merangkum semua peserta didik yang berbeda dalam satu
kesatuan kegiatan pembelajaran.
REFERENSI
Allport, G.W., Pola
dan Pertumbuhan dalam Kepribadian. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1961
Dalyono. M., Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta 2007
Depoter, Bobbi & Mike Hernachi. Quantum Learning
Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999
Gale, A. dan Eysenck, M.W., Buku
Pegangan Perbedaan Individu: Perspektif Biologi. Chichester: Wiley, 1991
Hartono S., Perkembangan Peserta Didik, Jakarta:
Rineka Cipta, 1999
Makmun.S.A., Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda
Karya Remaja, 2003
Maltby, J. Day, L. dan MacAskill, A. Kepribadian,
Perbedaan Individu dan Intelijen. Jakarta:
Pearson, 2007
Purwanto, N. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998
Santrock, John W.,
terj. Tri Wibowo. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana, 2008
Semiawan, C. Perspektif
Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo, 1977
Slavin, E.Robert, terj.
Samosir, Marianto. Psikologi Pendidikan,
Teori dan Praktek, ed. Ke-9 jilid 1. Jakarta: PT Indeks, 2008
[1] Pembahasan dalam locus dan fokus
tentang perbedaan individu ini merupakan hasil ringkasan dan studi kombinasi
yang dibuat oleh pemakalah terhadap buku John W. Santrock, terj. Tri Wibowo, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana,
2008, hal. 165. Bandingkan juga pembahasan mengenai keragaman siswa dalam
Robert E. Slavin, terj. Marianto Samosir, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Indeks, 2008, hal. 130-174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar