Sabtu, 02 Juni 2012

Individual diferences


Individual Diferences
I.              Pendahuluan
Dalam berbagai aspek perkembangan individu,  ada dua fakta yang menonjol, yaitu pertama, semua manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan di dalam pola perkembangannya  dan kedua, di dalam pola yang bersifat umum tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda. Perbedaan individu menurut  Landgren (1980: 578) menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik-motorik, kognitif, maupun sosio-emosional.
Setiap manusia mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda. Hal ini dapat dipengaruhi dari berbagai faktor, yaitu faktor dari dalam (faktor yang ada dalam diri manusia itu sendiri, faktor hereditas:bawaan/warisan) dan faktor luar (faktor lingkungan). Dengan faktor bawaan tertentu dan disertai dengan faktor lngkungan yang tertentu pula maka akan menghasilkan pola pertumbuhan dan perkembangan tertentu pula.
Masing-masing individu lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini berarti bahwa, karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau pemidahan dari cairan-cairan “germinal’ dari pihak orang tuanya. Di samping itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya, baik lingkungan fisik, lingkungan psikologi, maupun lingkungan social. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakann hasil interaksi dari hereditas dan lingkungan.
Perbedaan hereditas dan pengaruh lingkungan ini menjadikan seseorang selalu berbeda satu dengan yang lainnya. Pertimbangan tentang perbedaan individu ini menjadi pertimbangan penting yang harus diperhatikan dalam dunia pendidikan. Seorang guru setiap saat selalu menghadapi siswa-­siswa yang berbeda satu sama lain. Siswa-siswa yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorang pun yang sama. Mungkin sekali dua orang terlihat  hampir sama atau mirip, akan tetapi pada kenyata­annya jika diamati benar-benar tentu terdapat per­bedaan.
Perbedaan yang segera dapat dikenal oleh seorang guru tentang siswanya adalah perbedaan fisiknya, seperti tinggi badan, bentuk badan, warna kulit, bentuk muka, dan semacamnya. Dari fisiknya seorang guru cepat mengenal siswa di kelasnya satu per satu. Ciri lain yang segera dapat dikenal adalah tingkah laku masing-masing siswa.  Ada siswa yang lincah, banyak gerak, pendiam, dam sebagainya. Ada siswa yang nada suaranya kecil dan ada yang besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang lambat. Apabila ditelusuri secara cermat siswa yang satu dengan yang lain memiliki sifat psikis yang berbeda-beda. Secara lebih cermat dalam dunia pendidikan, perbedaan individu menjadi tampak dalam hal inteligensi, gaya belajar dan berpikir, kepribadian dan temperamen, serta budaya (status sosial-ekonomi, bahasa, gender)
Komponen utama dalam pendidikan adalah terdapatnya individu sebagai kumpulan subjek yang melaksanakan  kegiatan pembelajaran formal di dalam kelas. Individu yang ada  dalam kelas tentunya memiliki berbagai macam perbedaan ataupun karakteristik mendasar yang ada dalam diri mereka, baik berupa Karakteristik bawaan maupun karakteristik yang dihasilkan melalui interaksi individu dengan lingkungan.
Dalam makalah sederhana ini, pemakalah akan menguraikan beberapa perbedaan individu (individual defferences) yang mencakup arti perbedaan individu, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu, inteligensi, kepribadian dan temperamen, gaya belajar dan gaya berpikir dan budaya dalam kaitannya dengan perbedaan individu.

II.           Perbedaan Individu (Individual Different)

A.      Apa itu Perbedaan Individu?

            Tak dapat disangkal lagi bahwa setiap individu memiliki aneka kemampuan yang bersifat umum dan juga kemampuan yang bersifat khusus. Hal ini merupakan suatu hakekat individu, bahwa  setiap orang adalah berbeda. Antara dua anak kembar pun yang bisa dilihat mirip, tetapi tetap dikatakan mirip tetapi tak sama. Perbedaan itu menjadi nyata dan tampak dalam berbagai aspek perkembangan yang ada dalam diri individu. Jadi perbedaan individu (individual differences) dapat diartikan sebagai cara di mana orang (individu) berbeda satu sama lain secara konsisten dan tetap (Santrock, 2004:134).

B.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
Dalam menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda pendapat karena sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi (keberadaan) siswa tidak sama. Berikut, aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor perkembangan anak/siswa.
 1.    Aliran Nativisme
Nativisme (Nativism) adalah sebuah doktrin filosofi yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologi. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Scopenhauer (1788-1860) seorang filosof yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam.  Mengapa demikian? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaanya,  sedangkan pengalaman dan pendidikan (lingkungan) tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut pesimisme pedagogis.
Sebagai contoh, jika sepasang orang tua ahli musik, maka anak-anak yang mereka lahirkan akan menjadi pemusik pula. Harimau pun hanya akan melahirkan harimau, tak akan pernah melahirkan anak domba. Jadi, pembawaan dan bakat orang tua selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak-anaknya.
Aliran nativisme hingga saat ini masih berpengaruh di kalangan beberapa ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara ahli yang dipandang sebagai nativisme ialah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang sangat terkenal saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga (yang lebih penting) oleh adanya biological predisposition (kecenderungan biologis) yang dibawa sejak lahir.

2. Aliran Empirisme
Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran empirisme (empiricism) dengan tokoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah The School of British Empiricism (aliran empirisme Inggris). Namun, aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filasafat bernama environmentalisme (aliran Lingkungan) dan psikologi bernama Environmental Psychology (psikologi lingkungan) yang relative masih baru. (Reber, 1988).
Doktrin aliran ini yang amat masyur adalah Tabula Rasa sebuah istilah bahasa latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (Blank slate/blank tablet).  Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pada pengalaman, lingkungan, dan pendidikan. Dalam arti perkembangan manusia semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/ lingkungan yang mendidiknya.
Jika seorang siswa memperoleh kesempatan yang memadai untuk mempelajari ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi sorang politisi,  ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik, ia tak akan pernah menjadi pemusik, walaupun orang tuanya seorang pemusik sejati. Memang sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan anak. Dalam hal ini, lingkungan keluarga (bukan bakat pembawaan dari keluarga) dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu perilaku dan masa depan seorang anak.
Kondisi sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa fasilitas umum seperti masjid, sekolah, serta lapangan olahraga telah terbukti menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Anak-anak di lingkungan seperti ini memang tak mempunyai cukup alasan untuk tidak menjadi brutal, lebih-lebih apabila kedua orangtunya kurang atau tidak berpendidikan.
Faktor orang tua atau keluarga terutama sifat dan keadaan mereka sangat menetukan arah perkembangan masa depan para siswa yang mereka lahirkan. Sifat orang tua (parential trait) yang dimaksudkan ialah gaya khas dalam bersikap, memandang, memikirkan, dan memperlakukan anak. Contoh kelahiran bayi yang tidak dikehendaki (misalnya akibat pergaulan bebas) akan menimbulkan sikap dan perlakuan orang tua yang bersifat menolak (parental rejection). Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu melindungi anak juga dapat menggangu perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini, menurut hasil penelitian Chazen, et.al (1983) ternyata berhubungan erat dengan penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak di kemudian hari.
Namun demikian, perlu pula juga dikemukakan sebuah fakta yang ironis, yakni di antara para siswa yang dijuluki nakal dan brutal khususnya di kota-kota besar ternyata cukup banyak berasal dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat beragama. Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan berakhlak baik yang lahir dari keluarga bodoh dan miskin. Jadi, sejauh manakah validitas doktrin empirisme yang telah memunculkan optimisme pedagogis itu dapat bertahan.

3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi (convergence) merupakan gabungan antara aliran nativisme dan aliran empirisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan manusia. Tokoh utama konvergensi bernama Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof dan psikolog Jerman.
Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut personalisme, sebuah pemikiran filosofi yang sangat berpengaruh terhadap disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah personologi yang mengembangkan teori yang komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia (Reber, 1988).
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan/ pengalaman dan juga tidak berpegangan pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor tersebut yang sama pentingnya.   Faktor pembawaan tidak akan berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor lingkungan tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Para penganut aliran konvergensi berkeyakinan bahwa baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan memiliki andil sama besar dalam menentukan masa depan seseorang. Jadi, seorang siswa yang lahir dari keluarga santri atau kyai, umpamanya, kelak ia akan menjadi ahli agama apabila ia dididik di lingkungan keagamaan.
Untuk lebih kongkretnya, marilah kita ambil sebuah contoh lagi. Seorang anak yang normal pasti memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi apabila anak tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya kalau dia dibuang ke tengah hutan belantara dan tinggal bersama hewan, maka bakat berdiri yang ia miliki secara turun-menurun dari orang tuanya itu akan sulit diwujudkan. Jika anak tersebut diasuh oleh sekelompok serigala, tentu, ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia akan merangkak seperti serigala pula. Jadi, bakat dan pembawaan dalam hal ini jelas tidak ada pengaruhnya apabila lingkungan atau pengalaman tidak mengembangkannya.
Sampai sejauh manakah pengaruh pembawaan jika dibandingkan dengan lingkungan terhadap perkembangan massa depan seseorang? Jawabannya mungkin berbeda antara orang per orang. Sebagian orang mungkin lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungannya. Namun dalam hal pembawaan yang bersifat jasmaniah hampir dapat dipastikan bahwa semua orang sama, yakni akan memiliki berbentuk badan, mempunyai rambut dan mata  yang sama dengan kedua orang tuanya.
Sebagai contoh anak-anak keturunan eropa umumnya berambut pirang, berkulit putih, bermata biru, dan berperawakan tinggi besar, karena memang warisan orang tua dan nenek moyangnya. Akan tetapi, dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah sangat sulit kita kenali. Banyak orang yang ahli di bidang”X” tetapi anaknya ahli di bidang “Y”. Anak ini sudah diusahakan agar mempelajari bidang “X” supaya sama dengan orangtuanya, tetapi ia menolaknya dan menunjukkan kecenderungan bakat “Y”. ternyata setelah mengikuti pengajaran bidang”Y”, anak yang berasal dari keturunan yang ahli di bidang “X” itu benar-benar ahli di bidang “Y”, bukan bidang “X”. apakah anak tersebut telah menyalahi bakat dan pembawaan keturunannya?
Banyak bukti menunjukkan,bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak diturunkan langsung pada anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau anak-anak cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat bersembunyi sampai beberapa generasi.
Hasil proses perkembangan seorang siswa dapat dijelaskan hanya dengan menyebutkan pembawaan dan lingkungan. Artinya, keberhasilan seorang siswa bukan karena pembawaan dan lingkungan saja, tetapi juga oleh diri siswa itu sendiri. Setiap orang, termasuk siswa tersebut, memiliki potensi self-direction dan self-discipline  yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti atau menolak sesuatu (aturan atau stimulus) lingkungan tertentu yang hendak mengembangkan dirinya. Alhasil, siswa itu sendiri memiliki potensi psikologi tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam konteks lingkungan tertentu.
Berdasarkan uraian mengenai aliran-aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan proses perkembangan ini, kiranya ada dua hal yang menjadi faktor pengaruh dalam perkembangan individu. Pertama, Faktor internal, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologi tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri. Kedua, Faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungan.

C.      Locus dan fokus individual Differences[1]
Perdebatan tentang perbedaan individual merupakan salah satu perdebatan seru sepanjang sejarah perkembangan psikologi, khusunya psikologi pendidikan. Berikut ini akan diuraikan sedikit mengenai beberapa locus dan fokus dari studi perbedaan individu dalam konteks pendidikan.

1.      Inteligensi
Konsep tentang inteligensi menimbulkan kontrofersi dan debat seru, terlebih manakala inteligensi diukur dan dikuantifikasi dalam bentuk angka. Hal ini disebabkan karena inteligensi sendiri merupakan suatu konsep yang abstrak. Istilah intelegensi berasal dari kata Latin intelligence yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (­to organize, to relate, to bind together) (Walgoti,1997). Intelegensi menurut David Wecshler (1958) didefinisikan sebagai “Keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.
Beberapa pakar mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian untuk memecahkan masalah. Yang lain mendeskripsikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Bila dua definisi ini digabungkan maka akan didapat bahwa inteligensi merupakan keahlian untuk memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Dengan perkataan lain, intelegensi adalah kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah. Kemampuan yang bersifat umum tersebut meliputi berbagai jenis kemampuan psikis seperti: abstrak, berpikir mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan sebagainya.

a.      Tes inteligensi individual
Tes inteligensi individual pertama kali dikembangkan oleh psikolog Alfred Binet dan dibantu oleh mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan Simon mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni level perkembangan individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian, William Stern menciptakan konsep Intelligence Quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis dikalikan dengan 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis maka IQ orang itu sama dengan 100. Jika usia mental seseorang lebih dari usia kronologis maka IQ orang itu lebih dari 100. Jika usia mentalnya kurang dari usia kronologis maka IQ orang itu akan kurang dari 100. Tes Binet ini selanjutnya direvisi dan revisi terakhir yang sampai sekarang banyak dipakai untuk mengukur inteligensi murid adalah Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes lain yang bisa digunakan untuk mengukur inteligensi seseorang adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara keseluruhan juga menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja.

b.      Teori multiple intelligences
Ada dua teori utama dalam perdebatan teori multiple intelligence yakni teori Triarkis Sternberg dan teori multiple intelligence Gardner. Menurut sternberg, inteligensi muncul dalam bentuk analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis meliputi kemampuan untuk menganalisis, menilai, mengevaluasi, membandingkan dan mempertentangkan. Inteligensi kreatif ialah kemampuan untuk mencipta, mendesain, menemukan, dan mengimajinasikan. Sedangkan inteligensi praktis meliputi kemampuan untuk menggunakan, mengaplikasikan, mengimplementasikan, dan mempraktikkan.
Sementara itu Howard Gardner mengidentifikasi delapan kerangka pikiran berkaitan dengan inteligensi individu, yakni:
·      Keahlian verbal; kemampuan untuk berpikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna.
·      Keahlian matematika; kemampuan untuk menyelesaikan operasi matematika.
·      Keahlian spasial; kemampuan untuk memahami dunia visual-ruang dengan tepat dan melakukan transformasi terhadap persepsi awal seseorang.
·      Keahlian tubuh-kinestik; kemampuan untuk memanipulasi objek dan cerdas dalam hal-hal fisik.
·      Keahlian musik; sensitif terhadap nada, melodi, irama, dan suara.
·      Keahlian intrapersonal; kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupannya secara efektif.
·      Keahlian interpersonal; kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektifdengan orang lain.
·      Keahlian naturalis; kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam dan sistem buatan manusia.
c.       Emotional intelligences
Konsep kecerdasan emosional dikembangkan oleh Daniel Goleman. Goleman percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur dengan menggunakan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan emosional. Menurutnya, emotional intelligence terdiri dari empat area yakni:
·        Developing emotional awarenes; seperti kemampuan untuk memisahkan perasaan dari tindakan.
·        Managing emotions; seperti mampu untuk mengendalikan amarah.
·        Reading emotions; seperti memahami perspektif orang lain.
·        Handing relationship; seperti kemampuan untuk memecahkan problem hubungan dengan orang lain.

2.      Gaya belajar dan gaya berpikir
a.      Gaya impulsif-reflektif
Gaya impulsif-reflektis sering dikenal dengan tempo konseptual. Yakni murid cendrung bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif seringkali lebih banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif. Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Mereka biasanya memiliki standar kerja yang tinggi.
b.      Gaya mendalam-dangkal
Maksudnya ialah sejauh mana murid mempelajari materi belajar dengan satu cara yang membantu mereka untuk memahami materi tersebut (gaya mendalam) atau sekedar mencari apa yang perlu untuk dipelajari (gaya dangkal). Murid yang belajar dengan gaya dangkal tidak bisa mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan kerangka konseptual yang lebih luas. Mereka cendrung belajar secara pasif, hanya mengingat informasi. Sementara itu murid yang menggunakan gaya belajar mendalam lebih mungkin untuk secara aktif memahami apa yang mereka pelajari dan memberi makna pada apa yang perlu untuk diingat. Pelajar mendalam lebih mungkin memotivasi diri sendiri untuk belajar dibandingkan dengan pelajar dangkal yang akan termotivasi bila ada penghargaan dari luar seperti pujian dan tanggapan positif dari guru.

c.       Ketergantungan lapangan versus ketidakbergantungan lapangan
Orang-orang yang bergantung pada lapangan cenderung melihat pola secara keseluruhan dan mengalami kesulitan dalam memisahkan aspek-aspek tertentu suatu situasi atau pola. Sedangkan orang yang tidak bergantung pada lapangan lebih mampu melihat bagian-bagian yang membentuk suatu pola yang besar. Selain itu, orang yang bergantung pada lapangan cenderung lebih berorientasi pada orang dan hubungan sosial dari pada orang-orang yang tidak bergantung pada lapangan (Slavin, 2004: 168).

3.      Kepribadian dan temperamen
a.      Kepribadian
Kepribadian atau personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang menjadi ciri dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang menjadi ciri bawaan yang menonjol yakni, openness (keterbukaan terhadap pengalaman), conscientiousness (kepatuhan), extraversion (keterbukaan terhadap orang lain), agreebleness (kepekaan nurani), neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam konteks pembelajaran, guru harus dapat mendalami dan memahami keanekaragaman karakteristik kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam situasi yang beragam.
b.      Temperamen
Temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau respons. Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang. Beberapa murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya secara sambil lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam diri siswa.
Temperamen dikategorikan dalam tiga kelompok sebagaimana yang dikelompokkan oleh Chees dan Thomas, yakni: anak mudah (easy child), anak sulit (difficut child) dan anak lambat bersikap hangat (slow-to-warm-up child). Pengelompokkan atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan Bates yang lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap dan pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam konteks pembelajaran, ada beberapa strategi yang berhubungan dengan temperamen murid, yakni memberi perhatian dan penghargaan pada individualitas, memperhatikan struktur lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang dapat muncul apabila memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket program untuk anak sulit.
4.      Diversitas sosiokultural
a.      Kultur
Setiap manusia hidup dan dibesarkan dalam budaya tertentu. Budaya telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Semuanya diwariskan dan berurat akar dalam diri dan kehidupan setiap individu. Hal ini jelas juga akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan. Setiap siswa yang berasal dari budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda disatukan dalam satu lingkup pendidikan.
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antarkelompok orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun. Psikolog Donald combell dan rekannya menemukan lima (5) pandangan berikut. Pertama, bahwa orang-orang di semua kultur cenderung untuk percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah sesuatu yang alami dan benar sedangkan kultur yang lain ialah tidak alami dan tidak benar; Kedua, menganggap bahwa kebiasaan kultural mereka adalah valid secara universal; Ketiga, berperilaku sesuai dengan kelompok kulturalnya; Keempat, merasa bangga dengan kelompok kulturalnya; dan Kelima, bermusuhan terhadap kelompok kultural lainnya.
Perbedaan dalam kultur dideskripsikan dengan dua istilah yakni individualisme dan kolektivitas. Individualisme yakni seperangkat nilai yang mengutamakan tujuan personil di atas tujuan kelompok. Nilai-nilai individualis mencakup perasaan senang, keunikan personal dan independensi atau kemandirian. Sedangkan kolektivisme ialah seperangkat nilai yang mendukung kelompok. Tujuan personal digunakan untuk menjaga integritas kelompok dan keharmonisan hubungan.
Dalam konteks pembelajaran, seorang guru harus mampu beradaptasi dengan keragaman kultur siswa. Guru harus mampu mengidentifikasi latarbelakang siswa, apakah termasuk dalam kelompok dengan masyarakat kolektif atau kelompok masyarakat individualisme. Strategi untuk murid dengan latarbelakang individualisme dapat berupa, memberi pujian kepada siswa, tidak membuat siswa merasa dalam ancaman, tidak tampil merendahkan diri tetaoi juga tidak sombong, menyadari bahwa individualitas tidak menghargai kesetiaan pada kelompok. Sedangkan untuk kelompok berlatar belakang kolektivistik dapat berupa memberi perhatian pada banyak kegiatan kelompok, menekankan kerja sama dalam kelompok, hati-hatilah dalam mengkritik siswa, memupuk hubungan yang langgeng dengan siswa dan mengajak siswa untuk saling bekerja sama satu dengan yang lainnya.

b.      Etnis
Etnis berasal dari kata bahasa Yunani “ethnic” yang berarti bangsa. Etnisitas berarti pola umum karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa. Setiap orang adalah anggota dari satu atau lebih kelompok etnis. Istilah ini sebenarnya berbeda dari istilah ras. Istilah ras kini didiskreditkan sebagai konsep biologis yang berarti klasifikasi orang atau makhluk hidup lainnya berdasarkan karakteristik psikologis tertentu.
Poin penting yang dibicarakan dalam kelompok etnis ini ialah bahwa kelompok etnis selalu beragam. Keragaman dalam kelompok etnis pada tataran tertentu akan menjurus kepada prasangka, diskriminasi, dan bias etnis. Prasangka merupakan sikap negatif yang tidak adil terhadap orang lain karena keanggotaan individu dalam suatu kelompok. Lebih lanjut hal ini akan membuat adanya diskriminasi dalam kelompok etnis dan juga membias dalam segala kultur kehidupan bermasyarakat. Tentu bias tersebut akan menjadi pengaruh buruk bagi kelompok etnis minoritas.
Dalam pelaksanaan pendidikan, hal ini dapat terwujud dalam segregasi pendidikan. Murid yang berasal dari kelompok etnis minoritas memiliki akses yang amat minim dalam menikmati pendidikan yang lengkap dan bermutu. Berkaitan dengan hal ini, seorang guru harus mendalami dengan baik latar belakang etnis siswa, sehingga dengannya, guru dapat memberi pendampingan yang sama dan merata kepada semua siswa tanpa membedakan kelompok etnis siswa.

c.       Pengaruh status sosial ekonomi terhadap pencapaian siswa
Patut diakui bahwa dalam suatu kulutral pasti memiliki subkultural. Salah satu cara paling lazim untuk mengategorikan subkultural ialah dengan memakai status sosioekonomi. Status sosio-ekonomi yang didasarkan pada penghasilan, pekerjaan, pendidikan, dan gengsi sosial sangat mempengaruhi sikap pelajar terhadap sekolah, pengetahuan, kesiapan belajar, dan pencapaian akademis. Siswa yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah mengalami tekanan yang mempunyai andil bagi praktik pengasuhan anak, pola komunikasi, dan harapan yang rendah yang mungkin akan kurang menguntungkan anak-anak ketika mereka memasuki sekolah.
Implikasinya bagi pendidikan ialah agar memperhatikan kebutuhan semua peserta didik secara adil dan merata. Dalam artian, perhatian tersebut harus sama terhadap semua siswa tanpa memandang status sosial orang tua siswa. Namun perlu juga untuk memahami keberadaan dan perkembangan siswa berdasarkan status sosial orang tua mereka. Hal ini sangat membantu guru dalam menangani masalah yang dialami oleh peserta didik.
Adapun strategi yang bisa dilakukan oleh guru khusunya dalam menghadapi murid yang miskin secara ekonomis ialah berusaha meningkatkan keterampilan dan cara berpikir anak dengan cara mengkatifkan kegiatan di luar jam pelajaran; prioritaskan waktu pelajaran untuk memotivasi murid, jangan memisahkan antara siswa yang miskin dengan siswa dari keluarga yang mampu, memperhatikan kekuatan anak dari keluarga yang miskin.

d.      Isu bahasa
Isu tentang bahasa merupakan salah satu topik yang tidak pernah luput dari pembicaraan mengenai pelaksanaan pendidikan. kini, penerapan bilingual education ramai didiskusikan dan dipraktikkan di banyak lembaga pendidikan. pendidikan bilingual bertujuan untuk mengajar mata pelajaran kepada anak didik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa ibu) sembari secara bertahap memberikan pengajaran dalam bahasa resmi suatu negara.
Ada empat jenis penyajian program pendidikan bilingual yang diterapkan di dunia barat yakni pengajaran total bahasa Inggris, pendidikan dwibahasa peralihan, pendidikan dwibahasa berpasangan, dan pendidikan dwibahasa dua arah. Riset terakhir menunjukkan bahwa pendidikan dwibahasa (bilingual education), khususnya pendidikan dwibahasa berpasangan dapat memberi manfaat bagi siswa.
Hal ini sangat terasa dalam konteks pendidikan yang diselenggarakan dalam suatu wilayah yang beragama bahasa. Guru yang baik dan profesional harus memiliki kemampuan untuk mempelajari bahasa lokal di mana dia mengabdi.

e.       Pengaruh gender dan ketidakadilan gender  terhadap pengalaman belajar siswa
      Jenis kelamin individu sebagai perempuan dan laki-laki merupakan ciri biologis yang terlihat jelas dan abadi. Namun demikian, banyak perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang merupakan ciptaan masyarakat sosial. Kebanyakan dalam masyarakat, selalu ada pemisahan dan perbedaan peran yang jelas antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memang merupakan suatu budaya yang telah diwariskan turun temurun. Inilah yang dikenal dengan istilah gender. Istilah ini merujuk pada ekspektasi sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berpikir, merasa, dan berbuat.
      Ada beragam cara untuk memandang perkembangan gender. Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai pandangan-pandangan tersebut
1)      Pandangan biologis
            Pakar gender yang menganut paham environmental mengakui bahwa gadis dan jejaka diperlakukan secara berbeda karena perbedaan fisik dan peran mereka dalam proses reproduksi. Dengan ini mau ditegaskan bahwa ada pengaruh langsung dan tidak langsung dari faktor bilogis dan lingkungan. Misalnya androgen adalah hormon seks dominan dalam diri pria. Jika level androgen yang tinggi berpengaruh pada fungsi otak, yang pada gilirannya meningkatkan perilaku seperti agresi atau menaikkan level aktivitas, maka evek biologis ini bersifat langusng, demikianpun sebaliknya. Namun pandangan ini tidak terlalu menentukan perilaku dan sikap gender. Pengalaman sosialisasi anaklah yang lebih banyak mempengaruhinya.

2)      Pandangan sosialisasi
            Ada dua pandangan berkaitan dengan pandangan sosialisasi ini yakni toeri psikoanalisis gender dan teori kognitif sosial gender. Teori psikoanalisis gender yang berasal dari teori psikoanalisis Sigmund Freud mengetengahkan bahwa anak-anak prasekolah mengembangkan ketertarikan seksual pada orang tua yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya, lalu akan mengalami perkembangan dan akhirnya mengidentifikasi jenis kelamin orang tua yang sama dengan dirinya. Sedangkan teori kognitif sosial gender menekankan bahwa perkembangan gender anak terjadi melalui pengamatan dan peniruan perilaku gender dan melalui penguatan dan hukuman terhadap perilaku gender.
3)      Pandangan kognitif
            Ada dua pandangan kognitif terhadap gender yakni teori perkembangan kognitif dan teori skema gender. Menurut teori perkembangan kognitif, tipe gender anak terjadi setelah mereka mengembangkan konsep gender, setelah mereka konsisten menganggap diri mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan teori skema gender menyatakan bahwa perhatian dan perilaku individu dituntun oleh motivasi internal untuk menyesuaikan dengan standar sosiokultural berbasis gender dan sterotip gender. Skema gender adalah struktur kognitif atau jaringan asosiasi yang menata dan menuntun perspesi individu berdasarkan gender.

      Lembaga pendidikan sebagai tempat membina dan mendidik generasi muda juga mengalami imbas bias gender ini. Sering muncul dalam proses pembelajaran suatu pandangan yang sterotipe dan perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita, yang biasanya selalu menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya. Pandangan yang sterotipe akan membias menjadi diskriminasi gender dan bias gender. Oleh karena itu diharapkan pendidikan harus mengedepankan pendidikan berperspektif kesetaraan gender.
      Dalam kelas misalnya, guru harus menghindari sterotipe gender, menumbuhkan integritas peserta didik tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, dan memperlakukan perempuan dan laki-laki secara setara.

f.       Pendidikan multikultural
      Diversitas kebudayaan memang tidak dapat disangkal lagi. Harus diakui bahwa setiap orang senantiasa berada dan dibesarkan, bertumbuh, dan berkembang dalam budaya tertentu yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, para pendidik dan juga stakeholders dalam pendidikan harus berusaha untuk mengedepankan pendidikan multikultural dan menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, adil dan peluang yang setara, pembinaan keharmonisan ras dan pencegahan segregasi (pengucilan, pengasingan, pemisahan).
      Pendidikan multikultural ialah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural. Dengan perkataan lain, pendidikan multikultural mengharuskan penghargaan terhadap keragaman budaya dan peningkatan kesetaraan pendidikan dan keharmonisan sosial di sekolah-sekolah. Tujuan penting dari pendidikan multikultural ialah pemerataan kesempatan bagi semua murid dalam hal belajar dan juga mempersempit gap dalam prestasi akademik antara siswa kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas.
      Pendidikan multikultural mengisyaratkan lima hal berikut. Pertama, pengintegrasian isi pelajaran. Hal ini berkaitan dengan penggunaan contoh, data, dan informasi lain oleh guru yang diambil dari berbagai budaya. Kedua, konstruksi pengetahuan. Yang merujuk guru yang membantu anak didik memahami bagaimana menciptakan pengetahuan dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh kedudukan ras, etnis, dan kelas sosial individu dan kelompok. Ketiga, pengurangan prasangka; berupa pengembangan hubungan positif di kalangan siswa dari latar belakang etnis yang berbeda dan perkembangan sikap yang lebih demokratis dan toleran terhadap orang lain. Keempat,  pedagogi keadilan yang merujuk pada penggunaan teknik-teknik pengajaran yang mempermudah keberhasilan akademik siswa dari kelompok-kelompok etnis dan kelas sosial yang berbeda. Kelima, budaya sekolah yang memberdayakan yakni budaya sekolah yang membuat organisasi dan praktik sekolah bersifat kondusif bagi pertumbuhan akademis dan emosional semua siswa.
      Langkah pertama dalam pendidikan multikultural ialah agar guru, pengurus, dan staf sekolah yang lain belajar belajar tentang budaya para peserta didik dan dengan saksama mempelajari semua kebijakan, praktik, dan kurikulum yang digunakan di sekolah guna mengidentifikasi setiap bidang yang mungkin melenceng.
      Beberapa hal yang bisa diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran oleh guru dapat berupa pemberdayaan murid, menyajikan materi pelajaran yang relevan secara kultural, melaksanakan pendidikan yang berbasis pada isu, meningkatkan hubungan di antara anak dari kelompok etnis yang berbeda, mengurangi bias kultural, dan meningkatkan toleransi dalam pelaksanaan pembelajaran.

III.        Penutup
            Perbedaan individu merupakan topik pembicaraan dalam psikologi pendidikan yang tak akan habis didiskusikan dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep perbedaan individu semakin ramai dibicarakan dan diperhatikan banyak pihak khususnya dalam bidang pendidikan. betapa tidak, pengaruh globalisasi dan pesatnya perkembangan telah menggeser pola pikir, tindak dan karsa manusia. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan sangat perlu untuk mendalami perbedaan individu para pebelajar.
            Dari uraian-uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka pemakalah  dapat menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan perbedaan individu, sebagai berikut
1)        Perbedaan individu merupakan suatu hakikat manusia, karena tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang sama. Walau mirip, namun keduanya tetap tidak sama. Untuk mendalami ini ialah tugas dari psikologi perkembangan. Dan para psikolog telah menemukan bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh hereditas (faktor internal) dan lingkungan (eksternal).
2)        Perbedaan individu dalam dunia pendidikan tampak dalam perbedaan inteligensi, kepribadian dan temperamen, budaya (sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial kemasyarakatan, suku/ras) dan juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar siswa.
3)        Merupakan usaha/upaya guru (pendidik) dan juga semua stake-holders dalam dunia pendidikan agar memperhatikan dan mendalami berbagai gejala dan fakta perbedaan individu dalam konteks pembelajaran. Pendidikan multikultural dan pendidikan berwawasan kesetaraan, pendidikan dwibahasa merupakan contoh upaya dalam memajukan pendidikan yang mampu merangkum semua peserta didik yang berbeda dalam satu kesatuan kegiatan pembelajaran.


REFERENSI

Allport, G.W., Pola dan Pertumbuhan dalam Kepribadian. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1961

Dalyono. M., Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 2007

Depoter, Bobbi & Mike Hernachi. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999

Gale, A. dan Eysenck, M.W., Buku Pegangan Perbedaan Individu: Perspektif Biologi. Chichester: Wiley, 1991

Hartono S., Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta,  1999

Makmun.S.A., Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003

Maltby, J. Day, L. dan MacAskill, A. Kepribadian, Perbedaan Individu dan Intelijen. Jakarta: Pearson, 2007

Purwanto, N. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998

Santrock, John W., terj. Tri Wibowo. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008

Semiawan, C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo, 1977

Slavin, E.Robert, terj. Samosir, Marianto. Psikologi Pendidikan, Teori dan Praktek, ed. Ke-9 jilid 1. Jakarta:  PT Indeks, 2008


[1] Pembahasan dalam locus dan fokus tentang perbedaan individu ini merupakan hasil ringkasan dan studi kombinasi yang dibuat oleh pemakalah terhadap buku John W. Santrock, terj. Tri Wibowo, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 165. Bandingkan juga pembahasan mengenai keragaman siswa dalam Robert E. Slavin, terj. Marianto Samosir, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Indeks, 2008, hal. 130-174

Tidak ada komentar: